Jika visi anda tetap, hidup anda akan berubah. Namun bila visi anda
berubah-ubah, hidup anda akan tetap! Dalam mengarungi hidup ini, apakah
anda punya visi? Apakah anda menuliskannya? Apakah anda sering melihat
(atau membacanya)?
Seberapa kuat visi anda? Apakah anda sering “memberi makan” visi anda? Atau
jangan-jangan anda hanya merasa sudah punya visi, padahal samar-samar saja?
Sehingga tanpa disadari visi anda sering “berubah-ubah”? Salah satu “faktor
pembeda” orang-orang sukses dengan mereka yang tidak sukses adalah visi.
Mereka yang sukses biasanya punya visi, artinya ia punya kemampuan melihat
jauh ke depan.
Bukan dalam arti secara gaib ataupun ramalan, namun memang bersifat
imaginatif. Seorang penulis George Barna mengatakan,”Visi adalah gambaran
didalam mata bathin anda mengenai bagaimana nantinya suatu hal akan atau
bakal terjadi.” Mereka yang sudah punya visi merasa dunia ini seakan-akan
terbuka lebar di hadapan mata batinnya. Visi itu membuat ia begitu
bergairah memperjuangkan apa yang “dilihatnya”.
Ia mampu melihat makna tersirat di balik yang ada, yang boleh jadi tak
terlihat oleh orang lain. Inilah yang disebut kemampuan melihat peluang.
Contohnya Walt Disney. Ia memiliki visi yang luar biasa. Ia mampu
mewujudkan suatu tempat dengan bantuan daya khayalannya. Ia mengkhayalkan
adanya suatu tempat dimana anak-anak serta keluarganya bisa bergembira
bersama memasuki dunia yang sama sekali baru bagi mereka.
Di dalam dunia baru itu, mereka bisa menyaksikan secara nyata tempat-tempat
dan tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya mereka kenal melalui dongeng saja.
Visi yang luar biasa itu sudah menjadi kenyataan. Diawali dengan Disneyland
di California, Amerika Serikat. Lalu disneyland-disneyland baru
bermunculan, seperti Disneyland di Orlando, Disneyland di Jepang dan di
Perancis.
Hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang tidak punya visi. Ia hanya
melihat apa yang ada di depan matanya saja dan apa-apa yang bisa diraih
secara mudah saja. Selain itu mereka juga sering membayangkan hal-hal
negatif tentang masa depan mereka. Dunia ini terasa begitu ‘sempit’ dan
sering mengeluhkan nasib buruknya. Bahkan tak jarang mempertanyakan
keadilan Tuhannya.
Lha, ini nggak ada kaitan sama sekali dengan jabatan, gelar, pangkat, atau
turunan. Keadaan ini bisa dialami siapa saja, kalangan manapun juga. Mulai
dari para supir truk, petani sampai para bankir, bahkan profesor sekalipun.
Jadi ... agaknya, orang yang paling pantas dikasihani sebenarnya bukanlah
orang yang miskin keuangannya, seperti anggapan kebanyakan orang, melainkan
justru orang-orang yang tidak punya visi sama sekali dalam hidup ataupun
dalam pekerjaannya.
Punya visi itu penting. Visi akan memberitahu kita apa yang BISA menjadi
milik kita, sehingga kita tergerak melakukan sesuatu. Kita akan berusaha
keras mewujudkannya. Visi membuat kita tak mudah menyerah. Visi
membangunkan kembali semangat kita tatkala kita jatuh. Visi memberi kita
keuntungan besar dan membuka lebar pintu peluang. Visi juga akan
meningkatkan kemampuan seseorang. Makin luas visinya, makin besar pula
potensi yang berkembang di dalam dirinya.
John C. Maxwell mengatakan, visi akan membuat semua pekerjaan kita terasa
jadi lebih menyenangkan. Tak ada yang lebih membahagiakan selain perasaan
berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan setelah bekerja keras. Puas sekali
tentunya! Lebih-lebih lagi bila keberhasilan-keberhasilan kecil itu
merupakan jalan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi. Tiap tugas yang
kita lakukan akan terlihat seperti tiang-tiang yang akan menyangga "proyek"
besar kita.
Bila kita menganggap bahwa hasil pekerjaan itu adalah perolehan yang kita
dapatkan melalui visi kita, setiap pekerjaan akan memiliki nilai tinggi
bagi kita. Bahkan hasil pekerjaan yang paling sederhana sekalipun akan bisa
memberikan kepuasan, sebab dari sana sudah terlihat pekerjaan besar yang
akan dicapai selanjutnya.
Ini seperti kisah seseorang yang sedang berbincang-bincang dengan dengan
tiga tukang batu tatkala mereka sedang membangun sebuah gedung pencakar
langit. Orang ini bertanya pada tukang batu pertama, "Apa yang sedang
anda kerjakan?" tukang batu itu menjawab, "Saya sedang mencari
nafkah."
Ketika ia menanyakan pertanyaan yang sama pada tukang batu kedua, jawabnya:
"Saya sedang menyusun batu bata untuk membuat tembok." Namun saat
ia bertanya pada tukang batu ketiga, ia menjawab dengan bersemangat,
"Saya sedang membangun sebuah gedung paling hebat yang belum pernah
ada sampai saat ini."
Ketiga tukang batu tadi sedang melakukan pekerjaan yang sama. Namun dalam
hal ini hanya tukang batu ketiga yang didorong oleh suatu visi. Ia melihat
suatu gambaran besar, yang pasti akan menambah nilai pekerjaannya.
Pertanyaannya, sekali lagi, apakah anda SUDAH punya visi? Kalau belum,
mengapa? Apa yang menghalangi anda untuk segera menyusun visi Anda?
Pengalaman masa lalu, menurut Jim Dornan & John C. Maxwell dalam
bukunya “Strategi Menuju Sukses”, memiliki visi tidak dipengaruhi oleh
faktor keturunan. Anda tidak mesti terlahir sudah punya kemampuan melihat
berbagai peluang dan mampu memvisualisasikan masa depan. Visi adalah suatu
hal yang perlu dibentuk dan dipupuk, dan terus dikembangkan.
Namun tanpa sadar kita sering menghalangi, membatasi berkembangnya visi
ini. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu kita. Tanpa sadar kita
sering mengukur masa depan kita didasarkan pada riwayat kesuksesan atau
kegagalan kita di masa lalu. Kita jadi “korban” keterbatasan yang kita
ciptakan sendiri. Ketika yakin kita tidak akan berhasil, sesungguhnya kita
membuat batasan pada visi kita dan memenjarakannya dalam “kotak penjara”
ciptaan pikiran kita.
Ya memang mungkin saja ada faktanya di masa lalu kita pernah atau bahkan
sering menghadapi berbagai kegagalan, bahkan berkali-kali, berulang-ulang.
Tapi itu bukan berarti nasib masa depan kita seperti “sudah ditulis Tuhan”
sebagai orang yang gagal. Masa depan tak ada hubungannya dengan masa lalu,
ujar motivator ulung Skipp Ross dalam salah satu Dynamic Living
Seminar-nya. Kita tak perlu membuat garis proyeksi dari masa lalu ke masa
yang akan datang. Masa lalu itu adalah history, sudah jadi bagian sejarah
kita.
Seperti apa masa depan kita sungguh hanya bergantung pada apa keputusan
kita hari ini. Syaratnya ya kita harus “belok”. Mengapa nasib kita hari ini
sama dengan kemaren? Mengapa hasil pekerjaan bulan ini kita nggak jauh beda
dengan bulan kemaren? Mengapa keuangan kita masih nggak naik-naik?
Pasti kita belum “belok”! Apakah kebiasaan-kebiasaan kita masih sama dengan
bulan kemaren? Apakah cara kerja kita masih sama, nggak berubah-berubah?
Apakah item-item yang kita lakukan sama saja setiap hari? Kalau ya, berarti
memang kita belum “belok”.
“Bila kita ingin hasil yang berbeda, lakukanlah dengan cara yang berbeda.”
Bila kita dari bandung, sudah tahu bahwa jalan yang sedang kita tempuh
adalah jalan menuju bogor, padahal kita mau ke purwakarta, ya jangan
teruskan berada di jalan itu. Beloklah! Ganti arah. Masukilah jalan ke
purwakarta. Kalau nggak belok, ya Anda tahu sendiri jawabannya, kemana kita
akan sampai.
Bila kita tahu kebiasaan-kebiasan masa lalu kita membuat “kita hari ini”
jadi begini, menjadi orang yang bahkan “kita pun membencinya” …. ya
berubahlah! Ubahlah satu atau dua kebiasaan lama kita. Pasti “diri kita di
masa nanti” tidak akan sama dengan “diri kita hari ini”.
Selain itu rintangan yang juga pada membatasi visi kita adalah
“tekanan-tekanan” orang lain, komentar orang lain, “nasehat” orang lain
atau pengalaman orang lain. Ada satu cerita seorang ayah bersama anaknya
suatu hari membawa seekor keledai ke pasar membeli makanan. Sang ayah duduk
dipanggung keledai dan anaknya berjalan kaki. Dalam perjalanan, orang-orang
yang mereka lalui berkata, “Kasihan sekali anak itu. Ia harus berjalan
kaki, sementara ayahnya yang bertubuh besar dan kuat enak saja mengendarai
keledai.“
Maka sang ayah turun dari punggung keledai dan menyuruh anaknya yang
menunggangi. Lalu mereka berjalan beberapa saat. Tiba-tiba ada lagi
orang-orang lain komentar, “Benar-benar tidak punya rasa hormat pada orang
tua. Ayahnya berjalan kaki sedangkan si anak enak saja mengendarai
keledai.“ Mendengar itu, lalu mereka kedua-duanya duduk di punggung keledai
tadi. Setelah berjalan beberapa saat ada lagi komentar orang-orang, “
Betapa kejamnya! Dua orang sekaligus mengendarai seekor keledai”.
Maka mereka berdua pun turun dari punggung keledai itu dan berjalan
bersama. Lalu diperjalanan berikutnya, orang-orang pun komentar, “Alangkah
bodohnya mereka! Mereka berdua berjalan kaki, sedang keledai mereka yang
sehat dan tidak membawa barang apapun tidak dipergunakan.”
Akhirnya mereka tiba terlambat di pasar. Ketika sampai disana semua orang
heran melihat seorang pria dan anaknya sedang menggotong seekor keledai!
Sama halnya seperti kedua orang dan keledainya itu, kita pun bisa menjadi
terlalu memperhatikan tekanan dan komentar orang lain sehingga kita lupa
arah dan tujuan kita yang sebenarnya. Urusan yang sepele serta olok-olok
yang tak berarti dapat memenuhi pikiran kita sehingga tak ada lagi tempat
yang tersedia untuk visi dalam benak kita. Jangan biarkan hal ini terjadi
pada diri kita .
Hal lain yang juga bisa membuat hidup dan visi kita terasa sempit ialah
masalah-masalah yang datang bertubi-tubi pada kita. Entah itu masalah fisik
kita yang cacat, keluarga kita yang berantakan, bisnis kita yang tak
keruan, atau apapun juga. Berbagai masalah itu memang begitu kuat
‘menarik’cita-cita kita melorot turun ke bawah. Disinilah bedanya
orang-orang sukses dengan orang-orang gagal sebenarnya.
“Mereka punya masalah yang sama, kesulitan yang sama, tekanan dan rintangan
yang datang pun sama-sama stres menghadapinya. Namun inilah bedanya, mereka
yang sukses mampu mengatasi dan mengalahkannya, sedang mereka yang gagal
sebaliknya. Memang mereka tak mau dan akhirnya (terbukti dengan otomatis)
tak berhasil mengatasinya."
Orang-orang sukses selalu fokus pada solusi. Ia pikirkan apa dan bagaimana
jalan keluar dari masalah. Sedangkan orang-orang gagal selalu terfokus pada
masalahnya. Ia pasti lebih sering berkeluh kesah pada masalahnya,
menggerutu, memaki keadaan, menyalahkan situasi. Seperti pada masa sekarang
ini, begitu banyak orang yang berkeluh kesah. Sedikit sekali orang yang
lebih fokus pada solusi.
Mereka yang sukses siap menerima situasi yang paling jelek sekalipun, lalu
ia berpikir keras dan berjuang bagaimana menemukan solusi. Ia akan terus
mencari peluang. Karena itu beranikan diri untuk terus bercita-cita tinggi.
Lindungi dan jaga impian jangan sampai terkubur oleh situasi. Tak perlu
pedulikan datangnya rintangan berupa masalah, keadaan maupun kondisi yang
tak diinginkan.
Sejarah membuktikan banyak orang besar yang bisa meraih sukses meski banyak
masalah yang juga mereka hadapi. Contohnya adalah Demosthenes, seorang ahli
pidato terbesar pada jamannya, yang ternyata penderita penyakit gagap. Saat
pertama kali pidato di depan umum, ia ditertawakan. Namun ia memiliki visi
untuk menjadi orator besar. Konon kabarnya ia sampai mau memasukkan
beberapa butir kerikil ke dalam mulutnya dan berlatih pidato di tepi pantai
sambil melawan kerasnya debur ombak.
Begitulah orang-orang sukses. Keadaan apapun tak mampu menahan visinya.
Setiap orang memiliki masalah, beberapa diantaranya merupakan kekurangan
yang terbawa sejak lahir, sedangkan yang lainnya adalah masalah-masalah
yang kita ciptakan sendiri. Apapun masalah yang dihadapi, jangan biarkan
visi anda ke masa depan jadi terhalangi. Miliki visi, dan jangan lupa
menuliskannya. Gantungkan tulisan tentang visi anda itu di tempat-tempat
yang sering terlihat mata anda. Ingatkan terus “otak” anda dengan visi itu.
Insyallah hidup kita akan bergerak kesana.(Nilna Iqbal)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar