Hidup
ini diwarnai berbagai nilai yang terkadang bisa harmonis dan sinkron satu sama
lain, tetapi terkadang bertentangan dengan sangat mencengangkan. Ayah saya
adalah seorang yang sangat simpel. Menjabat sebagai kepala cabang sebuah BUMN
selama puluhan tahun, ia berprinsip untuk tidak memanfaatkan sepeserpun uang,
barang ataupun fasilitas milik negara. Tidak sulit baginya untuk menentukan
mana pemberian yang berbau gratifikasi, mana yang bukan. Semua pemberian dan kemudahan
ditolak, titik. Hidupnya aman, tentram, tetapi tidak berkecukupan. Isteri
dan anak-anak perlu menerima konsekuensi dengan lapang dada, mencari
tambahan sendiri sebisa- bisanya.
Saat
ini, hidup tidak sesederhana itu. Kita dikejutkan dengan kasus-kasus
sogok-menyogok, di kalangan pemain, pelatih dan pengurus klub sepak bola. Tidak
hanya terjadi di negara sendiri saja tetapi sudah sampai tingkat dunia di mana
14 gembong FIFA, termasuk pemimpinnya, Sepp Blater, mengaku menerima sogokan
sebanyak 150 juta dollar AS.
Belum
lagi berita di media massa belakangan ini, mengenai perempuan karier, anggota
dewan, yang pada dasarnya sudah sangat berkecukupan, tertangkap tangan menerima
uang. Sementara slogan-slogan anti korupsi diteriakkan, praktik korupsi tetap
berjalan lancar, tanpa rasa malu ataupun bersalah, seolah-olah ini adalah hal
yang normal, senormal matahari terbit di ufuk timur.
Korupsi
adalah sebuah pilihan, walaupun bukan pilihan yang sederhana. Banyak perusahaan
yang masih tergoda untuk menggunakan jasa importir gelap, yang notabene berarti
melakukan penyelundupan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memilih cara ini
akan membuat bisnis lebih kompetitif dan akhirnya lebih menguntungkan. “Kalau
saya saja yang tidak melakukannya sementara kompetitor melakukan, saya akan
kalah bersaing“ begitu argumen para pebisnis. Apakah pemimpin dan pelaku bisnis
ini tidak ingin praktik-praktik yang lebih bersih?
Banyak
orang menginginkan perubahan, tetapi di dalam kenyataannya, tidak banyak yang
mau memerangi korupsi secara ekstrim. Berapa banyak dari kita yang ketika
tertangkap melanggar peraturan lalu lintas, akhirnya mengeluarkan sogokan dari
koceknya dengan dalih agar “tidak berbelit-belit” mengingat masih banyak hal
penting lain yang perlu diurus. Bahkan, kadang sambil juga menyalahkan lembaga
yang mau menerima sogokan. Ada yang bahkan merasa bahwa kegiatan ngobyek di
luar pekerjaan, atau menggunakan fasilitas kantor untuk mengerjakan pekerjaan
sampingan sebagai sesuatu hal yang wajar, bahkan dengan bangga bercerita pada
rekan-rekan kerjanya yang lain. Ada yang menjadi pimpinan lembaga antikorupsi,
namun merasa tidak berdaya untuk memeranginya. Terlalu banyak apel busuk dalam
keranjang, yang kalau disingkirkan semua, siapa yang tersisa untuk bekerja
nanti?
Menyetop korupsi: perjuangan seumur
hidup
Kita
tidak mungkin menyerah kalah menjaga moral kita. Kita telah memenjarakan
menteri beserta beberapa pimpinan lembaga penting terkait, yang berkuasa dan
dihormati karena terbukti melakukan korupsi. Lembaga-lembaga yang tadinya sakti
dan berpengaruh dalam menentukan harga minyak di negara kitapun, akhirnya bisa
dihentikan operasinya. Bukankah ini pertanda bahwa kalau mau, kita memang bisa
memerangi korupsi? Proses demi proses memang harus kita lakukan, tidak bisa asal
terabas, dan membasmi. Semua detil harus ditelaah dengan seksama. Jadi, selain
berkampanye, seorang pemimpin harus berjuang tanpa lelah dan melakukan tindakan
korektif yang tidak ada habisnya.
Sampai di mana kita?
Demikian
juga kita tidak bisa menyalahkan orang yang menerima sogokan saja. Yang
menyogok, dan yang mengetahui terjadinya sogokan, juga memiliki derajat
kesalahan yang sama. Kita perlu mengakui bahwa korupsi adalah penyakit kronis
masyarakat secara sosial dan ekonomis. Pembenaran-pembenaran seperti
kelumrahan, stereotip ke lembaga tertentu maupun keboborokan mental perlu kita
cermati dengan hati-hati, dan bertanya pada diri sendiri: ”Bagaimana dengan
kita?” Siapkah kita untuk tidak melakukan sogokan yang paling kecil sekalipun,
baik kepada pejabat pemerintah, politisi, maupun pengambil keputusan pembelian
di perusahaan klien kita? Walaupun kita yakin bahwa semua orang dalam
organisasi harus mempraktikkannya, pemimpin harus memulai dan memberi contoh.
Dalam
pesan tahunannya, Sudirman Said menulis, “Pangkat, jabatan, dan kekuasan adalah
sementara yang dapat hilang kapan saja. Yang permanen adalah perilaku kita jika
kita mampu membangun nilai-nilai: jujur, profesional, melayani, inovatif, dan
berarti. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi banyak
orang. Mari kita berikhtiar menjadi sebaik baiknya manusia, dengan membangun
sikap dan perilaku; bukan mengandalkan kekuasaan dan jabatan.“ Pesan yang
mendalam mengenai pembentukan karakter ini akan sangat ampuh bila dalam
keseharian semua orang menjadi polisi bagi orang lain, semua orang ingin
menjaga dan menegakkan kebenaran, semua orang tidak mengambil jarak dari
kesalahan atau penyelewengan, tetapi perlu merasa terluka bila kesalahan
sekecil apapun terjadi. Ingat anak cucu.(Expert)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar