Ada
kenalan menceritakan sedihnya ketika “tidak menjabat lagi”. Salah seorang pejabat
di sebuah Satker (Departemen) dihampiri petugas keamanan ketika memarkir
mobilnya di tempat biasa. Petugas menyatakan bahwa tempat parkir tersebut
diperuntukkan pejabat baru, dan beliau dipersilakan menggunakan tempat parkir
umum.
Hal-hal
ini tentu menyakitkan hati, apalagi bila kita tidak siap untuk
mengantisipasinya. Di situasi lain, ada orang yang sudah diperlakukan
baik-baik, dengan program pensiun yang jelas, tetap uring-uringan dan merasa
tidak nyaman berkepanjangan. Kita, yang tidak merasakan situasi ini dengan
mudah menertawakan sang individu dan tidak bisa mengerti mengapa yang
bersangkutan seolah-olah tidak rela melepas jabatannya itu.
Beberapa
orang tampak sangat siap untuk menjalani kehidupan barunya selepas menjabat.
Seperti halnya mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anis Baswedan, yang
naik sepeda motor mengantar anaknya sekolah. Orang-orang seperti ini tampak
tidak menderita secara fisik, mental, dan sosial. Sementara beberapa lainnya
tampak berusaha menggapai-gapai status sosial yang dulu pernah ditempatinya.
Situasinya
menjadi lebih buruk bila mereka mulai bersikap reaktif terhadap situasi
sekitar. Kita tahu bahwa di Indonesia, jabatan atau kedudukan berakhir di
kisaran 60 tahun. Pada usia yang demikian, fisik manusia pada umumnya masih
sehat. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para senior ini? Apakah betul rasa
tidak nyaman ini lazim dan tidak perlu kita tanggulangi. Bukankah kita semua
akan menghadapi situasi seperti ini? Sudah siapkah kita?
Orang
yang mengalami kecemasan seusai masa jabatannya, lalu tidak bisa move on, seolah berpegang pada kejayaan
masa lampau dan bereaksi mengganggu, seperti marah-marah tidak bisa mengukur
situasi, cepat tersinggung, tidak bisa beradaptasi dengan situasi terkini, dan
menyerang pendapat maupun kebijakan pengganti-penggantinya. Ada rasa tidak
“selesai” ketika meninggalkan jabatannya.
Tidak
selesai secara emosional, individu tidak bersiap untuk bergerak dari keadaan full power menjadi, mungkin, no power. Untuk orang-orang tertentu,
hal ini bukanlah masalah besar. Namun ada individu-individu yang tetap
berpegang pada masa lalunya dan tidak bisa melepaskannya dengan legowo.
Individu
yang pada masa jabatannya tidak pernah melakukan refleksi diri, terfokus pada
prestasi, dan menggunakan banyak power untuk mencapainya, bisa-bisa lupa
membuat langkah mundur. Amatlah penting untuk menghitung, kapan masa jabatan
selesai, apa yang sudah dipersiapkan ketika fasilitas dan kuasa tidak ada lagi,
dan bagaimana meninggalkan legacy
yang baik.
Power
memang sering memabukkan dan rangkulannya susah dilepaskan. Individu seperti
ini biasanya akan mengupayakan agar ia tetap memegang kendali, di luar
jabatannya, dan menyiapkan pengganti-pengganti yang bisa ia kendalikan. Hal ini
sering kita lihat pada dunia politik. Bila upaya ini dilakukan untuk meneruskan
misi tertentu, tidak seharusnya individu berfokus pada power, tetapi ia
sebaiknya berfokus pada misi organisasi, lembaga atau negaranya, dan
mengupayakan agar para penerus bisa mengemban misi yang sama.
Sangatlah
manusiawi bila kita merasa sedih apabila sebelumnya kita dielu-elukan lalu
sekarang harus survive sendiri di
lingkungan sosial. Selayaknya kita senantiasa mengingatkan bahwa jabatan dan
pekerjaan hanyalah tugas yang dibebankan pada kita. Kita perlu menjaga nama
baik dan meninggalkan karya-karya yang bisa dimanfaatkan penerus kita.
Prof
Sedyatmo penemu fondasi cakar ayam, merupakan salah satu contoh individu yang
tidak perlu berkoar-koar mengenai karyanya. Cukup dipakai saja. Mantan CEO
Mandiri Agus Martowardojo mungkin tidak pernah menciptakan produk yang khas.
Namun keyakinan beliau bahwa yang beliau tinggalkan akan berjalan lancar, baik
tim maupun dalam bentu kerja, membuat beliau tidak perlu sering-sering menengok
ke belakang, dan mengulang-ulang apa yang terjadi di masa lalu.
Bagaimana
bila kita memang tidak mempunyai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang signifikan di pekerjaan kita? Kita bisa
mengkaji dan menantang diri untuk menguatkan daya adaptasi kita karena setiap
manusia dibekali akal budi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Kuatkan “self esteem”
Salah
satu cara menguatkan diri kita dalam situasi yang tidak kondusif adalah
menguatkan penghargaan kepada diri sendiri, alias self esteem. Berdasarkan teori Maslow, manusia yang semula mencari
kepuasan fisik, rasa aman dan sosial pada saatnya akan mengarahkan dirinya
kepada kebutuhan menghargai prestasi diri sendiri, dan menikmatinya.
Orang-orang
yang tidak sempat memikirkan penghargaan dirinya sendiri ini dan tetap berkutat
pada materi, serta kuasa, akan merasa lebih sakit bila situasi berubah. Upaya
menguatkan esteem dapat dilakukan dengan memulai hobi baru atau bergerak di
lembaga-lembaga sosial, atau keagamaan. Yang paling penting, individu bisa
menemukan kebahagiaan lebih dari dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar