Sudah lama nggak menginjak bumi Minangkabau,
sudah kangen pula ama masakan yang selalu membuat lidah terbuai. Kebetulan
tengah bulan lalu ada dinas ke kantor perwakilan yang di Padang, so aku
nyempetin singgah ke Pasar Balai baru di Pariaman. Dipasar ini jika waktu
sarapan tersedia menu yang sangat kutunggu-tunggu, yaitu “katupek gulai
tunjang”. Gulai yang bahan dasarnya kaki sapi.
Gulai ini sangat berbeda dengan gulai lain
yang dimasak di hampir semua restoran Padang yang ada, baik itu di Sumatera
Barat sendiri apalagi dengan yang di Jawa.
Aku bisa ngebedain taste ini
karena aku cukup lama tinggal di Padang, sekitar 8 tahun. Jadi menu masakan
Padang yang dibikin orang Padang asli buat selera urang awak nggak sama dengan
menu Padang yang ditawarkan buat lidah daerah lainnya.
Di Pariaman gulai tunjangnya jelas hasil
karya kuliner ninik mamak, karena
dari kekentalan kuah dan ketajaman bumbunya sangat awak bana. Apalagi pedesnya, asli pedes cabe merah
keriting, bukan pedes lada. Pada bumbu nggak ada campuran gulanya, jadi kalau
dimakan bisa bikin badan berkeringat menanggung beban kepedesan. Disini dibikin
pedes karena memang hampir semua pelanggannya yang asli urang awak itu
berselera pedas.
Selain dimakan pakai ketupat, terus ditemani salalauk tahu nggak campuran pada
gulainya itu apa..? “Cubadak…!” Ya betul cubadak alias nangka muda. Nangka
dimasukan dalam campuran gulai, setelah direbus. Sehingga nangkanya menjadi
empuk dan lunak selembut tunjang yang digulai. Kalau nggak teliti pasti
penggila kuliner nggak bisa ngebedain yang mana nangka muda, yang mana kulit
kaki sapi. Satu lagi yang bikin nikmat
yaitu kuku kaki sapi yang empuk-empuk gimana gitu…
Di Pasar Balai baru ini jika pagi sudah
banyak orang yang antri untuk sarapan, mereka kebanyak para petani yang akan
pergi kesawah dan ladang, tapi ada juga beberapa pegawai kantoran yang
nyempetin singgah. Sehingga pagi itu suasana di tempat makan sangat riuh,
apalagi ditimpali Bahasa minang yang aksennya agak aneh. Sebab aksen minang
orang Pariaman agak beda dengan aksen minang kota Padang. Dibeberapa kalimat
ada penekanan kata yang jarang kudengar.
Disini pun anak laki-laki dipanggil ajo kalau di Padang dipanggil buyung,
sedangkan anak perempuan di panggil cukniang, jika di Padang dipanggil upik.
Makanya dari rasa pun gulai ini sangat berbeda
dengan daerah lainnya, baik gulai kapau di Bukittinggi, atau gulai ampera yang
ada dikebanyakan resto minang. Oleh karena itu invasi segala menu franchise yang ada di kota Pariaman ini
nggak laku. Kalupun ada yang laku itu bukan karena rasa menunya yang enak tapi
karena tempatnya buat nongkrong atau ngobrol lama-lama, sebab tempatnya sejuk
ber AC dan ada wifi.
Sekali-sekali kunjungi dong Pariaman, cobain
gulai tunjangnya. Itu berarti kita sudah dapat membuktiin filsapatnya orang
minang yaitu “Mato condong ka nan rancak,
salero condon ka nan lamak” (mata cenderung ke yang bagus, selera cenderung
ke yang enak). Jadi datang jauh dari Jakarta, sampai di Pariaman puasin deh salero
lidah yang nggak ada duanya di jagad raya ini.