“Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu!”
Tyas mengangkat wajahnya, menatap sahabatnya
yang duduk di hadapannya. Gelas yang hampir sampai di mulut Tyas terhenti di
udara, sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke atas meja. Wajah Nola sudah
berubah. Tak ada lagi senyum apalagi tawa di sudut bibirnya yang biasa
melengkung dengan cantik itu. Ia pasti marah.
Tiap kali Tyas berkata ingin bercerai dengan
suaminya, Nola selalu seperti itu. Ia akan mendengarkan semua keluhan Tyas
tentang suaminya, ia juga akan tetap diam dan terus begitu sampai airmata Tyas
akhirnya menetes. Saat itulah, Nola akan memeluk Tyas masih tanpa berkata
apa-apa. Hanya saja, Nola akan berubah marah setiap kali Tyas mengucapkan
keinginannya itu.
“Jangan bercerai! Jangan pernah menjadi
janda, Yas! Jangan! Kamu akan sangat menyesal!”
“Kenapa sih, La? Aku heran sama kamu. Mau
dengerin aku ngeluh panjang lebar, tapi giliran aku ngebahas soal perceraian,
kamu selalu marah kayak begitu. Setelah menikah, sahabatku ya cuma kamu.
Sekarang pernikahanku udah kayak neraka begini, aku mau bertahan bagaimana
lagi? Kalau bukan sama kamu, sama siapa aku ngebahasnya? Setidaknya denganmu
kan aku bisa tahu prosedur perceraian. Kau kan sudah pernah bercerai,” keluh
Tyas.
“Karena aku sudah menjadi janda, makanya aku
tahu rasanya, Yas.”
“Nah! Why
not? Kamu keliatan baik-baik saja setelah bercerai. Sudah berapa
lama? Enam tahun? Tujuh tahun?” tanya Tyas enteng. Kali ini ia benar-benar
meminum teh jasmine-nya.
“Tujuh tahun lima bulan,” jawab Nola sedikit
mendesah. Ia menghela nafas panjang sebelum kembali berkata, “dan sakitnya,
pedihnya, masih sangat terasa.”
“Ah, yang benar?”
“Nola yang ada di depanmu, adalah Nola yang
berusaha keras menyembunyikan sakit itu, Yas,” gumam Nola. Wangi kopi yang ada
di hadapannya, membuat Nola mengambil gelasnya. Seteguk kopi pahit meluncur
masuk ke dalam tenggorokannya.
“Tapi kau baik-baik saja kan?”
“Dulu aku sepertimu. Berpikir bahwa ada
jutaan janda di luar sana, hidup baik-baik saja. Mereka bisa menjadi orangtua
tunggal untuk anaknya, bisa menghidupi hidupnya dan anak-anak mereka, bisa
hidup di lingkungan mereka. Sama seperti hari-hari saat mereka menikah. Malah
aku melihat mereka hidup dengan gembira. Sesuatu yang kulihat hanya di
permukaan,” ujar Nola lirih.
“Tapi itu berbeda ketika aku sendiri yang
mengalaminya. Menjadi janda itu saja sudah berat, Yas. Orang-orang akan menilai
kalau kita ini adalah manusia gagal, manusia yang tak bisa memahami orang lain
dan manusia yang tak bisa hidup dengan orang lain. Lalu mereka akan mulai
menghakimi, tanpa mengerti duduk masalahnya. ‘Ah, pasti dia kurang pandai melayani suaminya’,
‘ah, dia pasti tidak sabaran’, ‘dia mah gampang dibodohi jadi suaminya
selingkuh kali’ dan ribuan penghakiman lain yang akan membuat dada
seakan ingin meledak. Belum lagi harus menghadapi mata yang curiga, mata yang
mengintimidasi seakan-akan kehadiran seorang janda akan menjadi virus yang
mematikan bagi masyarakat di sekelilingnya. Saat kita hidup dengan cukup,
mereka akan berkata ‘yah
pasti mantan suaminya yang ngasih tunjangan tuh,’ atau ketika kita
hidup dengan berlebih, mereka akan berkata ‘heran
kok jadi janda hidupnya malah senang, kerjanya apaan tuh? Jangan-jangan dicerai
karena selingkuh dan suka nyari cowok lagi’ tapi anehnya ketika
kita hidup susah, malah mereka juga mencemooh ‘sudah tahu gak bisa nyari uang, kenapa cerai?
Dasar bodoh!’ dan lingkaran setan itu takkan pernah berhenti
melingkupi kehidupan seorang janda. Sampai kapanpun.”
Tyas terdiam. Nola memang tak pernah berkata
apa-apa selama ini tentang perasaannya soal perceraian yang terjadi dulu. Dulu
ketika bercerai, Nola hanya menangis dan Tyas hanya mampu memeluk serta
menguatkannya dengan memintanya sabar. Namun, Tyas juga tahu kata-kata Nola
benar. Dia juga sempat mendengar kata-kata sejenis itu. Dari ibunya sendiri
yang pernah mengatakan, “Temanmu itu bodoh sekali, Yas. Suami kaya dan ganteng
seperti itu kok digugat cerai. Kalau laki-laki selingkuh harusnya diselidiki
dulu masalahnya. Jangan apa-apa main cerai! Siapa tahu hanya informasi palsu.”
Saat itu Tyas langsung meminta Ibu untuk tak
menyalahkan Nola. Kalau bukan karena melihat sendiri, tentu Nola takkan mungkin
menceraikan Rafli. Ibu masih membela mantan suami Nola, tapi Tyas meminta Ibu
untuk tak mengucapkan apapun lagi tentang perceraian sahabatnya itu. Seperti
Tyas yang juga tak pernah berani menyinggungnya… sampai saat ini.
“Apalagi kalau sudah punya anak-anak. Itu
yang paling… paling terberat. Ada saat aku pengen kembali pada mantan suamiku
hanya untuk mengatakan apapun yang terjadi aku memaafkannya asal dia kembali
menjadi ayah sepenuhnya untuk anak-anak. Ada saat aku berpikir untuk menikahi
siapapun yang melamarku saat itu, asalkan dia punya gaji yang cukup untuk
menyekolahkan anak-anakku. Memang masalahnya bukan hanya uang. Anak-anak
membutuhkan segalanya, Yas. Tidak hanya uang untuk sekolah dan hidup mereka,
tapi juga kasih sayang yang lengkap dari orangtuanya. Bagaimana itu bisa
terjadi ketika mereka harus hidup terpisah dengan salah satunya?” lanjut Nola.
“Aku memilih mengambil raport anak-anak,
lebih cepat atau lebih lambat dari waktu seharusnya. Pekerjaan kujadikan alasan
dan untunglah guru anak-anak selalu mengerti. Kamu tahu kenapa alasannya?” Mata
Nola berkaca-kaca. “Karena aku iri, iri melihat orangtua yang datang
berpasangan, memuji prestasi anaknya sementara anak-anakku….”
“Bukankah Mas Rafli beberapa kali datang ke
sekolah, La? Setahuku kalau soal urusan anak, Mas Rafli selalu bekerja sama
denganmu,” tukas Tyas.
Nola tersenyum samar. “Itu setelah putri kami
tidak naik kelas dan ia masuk rumah sakit karena depresi. Kalau Nurul tak
memberitahu perasaannya soal perceraian kami ke psikiater yang menanganinya,
mungkin kami takkan pernah sadar kalau perceraian itu tak hanya mempengaruhi
kami berdua, tapi juga anak-anak. Sekarang Mas Rafli sepakat untuk ikut serta
dalam pendidikan anak-anak, dengan syarat kami tidak datang berdua. Istrinya
yang sekarang akan keberatan.”
Tyas kembali terdiam. Nola meraih gelasnya
dan meminum beberapa teguk. Tenggorokannya terasa kering setelah mengisahkan
seluruh derita yang selama ini ia simpan dalam-dalam.
“Tak ada yang tahu sakitnya menjadi janda,
sampai ia menjadi janda. Tapi tak ada salahnya mendengarkan sahabatmu ini, Yas.
Cukup aku yang mengalaminya. Cobalah untuk memperjuangkan pernikahanmu. Clear-kan masalahmu
sejelas-jelasnya. Jangan berasumsi negatif apalagi bercerai karena asumsi tanpa
bukti itu. Mintalah pendapat dari berbagai pihak, jika pikiranmu buntu. Mungkin
saja, pendapat itu akan lebih membantumu. Pikirkanlah dengan matang, sejauh
mungkin andaikan kata kau bercerai. Akan ada banyak kata ‘sanggup’ yang harus
kau lakukan dan itu mungkin termasuk… “
“Apa?” sambar Tyas cepat.
“Memperbaiki genteng atau bahkan mengganti
sekring. Kamu sudah bisa?” tanya Nola dengan dahi bergerak naik. Ia tahu benar
sifat manja sahabatnya ini. Sifat yang sering dikeluhkan suaminya dulu saat
mereka belum menikah dan masih teman kuliah.
Pertanyaan Nola membuat Tyas terdiam lagi.
Bagaimana mungkin? Jangankan memperbaiki genteng atau mengganti sekring yang
putus, selama ini kalau ada kecoa lewat saja dia sudah teriak-teriak memanggil
suaminya. Tyas baru ingat, sepanjang pernikahan ia sangat bergantung pada
suaminya. Bahkan sebelum bertemu Nola tadi, Tyas minta diantar jemput oleh
suaminya. Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
“Pikirkan ya… pikirkan baik-baik, temanku
sayang. Pikirkan anak-anakmu, dan dirimu sendiri. Kalau suamimu menyakiti
fisikmu, akulah orang pertama yang akan memintamu menceraikanmu. Tapi tidak
kan? Cobalah mencari solusi lain selain bercerai. Katanya, kalau satu pasangan
bisa berbaikan lagi, hubungan mereka akan lebih baik daripada sebelumnya.
Cobalah! Lakukan yang tidak kulakukan dulu!”
Tyas tak menjawab, ia hanya mengangguk. Ia
memahami kini apa yang dimaksud Nola. Kalau memang Mas Karim menduakannya, ia
akan tetap berjuang sekeras mungkin mempertahankan pernikahannya dengan mencari
solusi yang lebih baik selain berpisah. Bukan karena takut menjadi janda, tapi
karena ia tak ingin menyesali keputusannya seperti Nola. Kalau memang harus
berakhir, Tyas akan menerimanya sekaligus berusaha menghadapi konsekuensinya.
Tanpa ada penyesalan.
Menjadi janda bukanlah pilihan, tapi satu
solusi. Solusi yang pahit. Solusi yang memiliki banyak konsekuensi. Konsekuensi
yang harus diperhitungkan dengan sebaik mungkin.(Sumber Blog : Bunda Iin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar