Ketika
pertama kali mengenal Tina, sebut saja gadis berpotongan rambut pendek seleher
itu begitu, keunikannya adalah yang paling menarik hati. Ia seorang gadis yang
sudah melewati usia ketigapuluhnya tahun kemarin. Kalau gadis lain yang sudah
melewati umur tersebut akan merasa malu dan mungkin bingung, Tina justru tak
canggung mengucap, “I
am single but I am happy.”
Terlepas
dari sifat Tina yang unik, gadis bermata bayi itu sebenarnya luar biasa pintar.
Dia sudah memiliki dua gelar akademis, namun masih tertarik untuk mengenal
dunia psikologi dan akhirnya kuliah di kampus yang sama dengan saya. Banyak
yang bilang Tina cantik. Saya pun beranggapan sama. Hidungnya mencuat indah di
wajahnya yang berkulit terang namun pipinya bersemu merah muda. Tak ada jerawat
atau noda-noda hitam, bersih terawat. Rambutnya pendek, dicat warna coklat
dengan highlight
sedikit warna pirang di poninya. Tapi yang paling menarik adalah lesung pipinya
yang ada di sebelah kanan, berlawanan dengan saya yang memiliki lesung di
sebelah kiri. Satu kesamaan yang membuat kami sering dianggap seperti dua
bersaudari. Tingginya pun setinggi diri saya, hingga tak membuat salah satu
dari kami merasa terintimidasi karena perbedaan tinggi badan.
Tak
banyak mahasiswi berumur melewati tigapuluhan di kampus, maka kami berdua yang
hanya berjarak enam tahun pun segera menjadi dua sahabat. Karena kesendiriannya
itu, saya sering menggodanya dan tentu saja menjodoh-jodohkannya dengan teman
satu kelas ataupun teman kampus yang rata-rata para calon dokter berbagai
spesialis yang memiliki masa depan menjanjikan.
Tapi
bukan itu yang paling menarik dalam dirinya. Seperti anggapan saya, keunikan
Tina justru terletak pada kebiasaannya yang menurut saya tak biasa.
“Tin,
kemarin makan siang saya kan kamu bayarin? Berapa?” tanya saya suatu ketika.
“Ah,
segitu aja. Gak usah, Mbak In. Lagian aku lupa,” jawabnya tanpa melepaskan
tatapan dari handphone ‘berkulit’ ungu miliknya.
“Eh,
kemarin kan saya gak minta ditraktir. Makanan di situ kan mahal. Gak enak, ah.
Berapa?” tanyaku lagi sambil mengeluarkan dompet, bersiap menarik lembaran uang
yang ada di dalamnya.
Tina
tertawa kecil. “Hadeeeh, Mbak In. Aku kan orang kaya, Mbak. Sejak kapan orang
kaya inget berapa yang harus dia bayarkan. Sudah ah, Mbak In bantuin aja deh.
Aku pengen ngebahas jawaban kuis kemarin.” Lalu gadis itu mengeluarkan folder catatannya,
membuka dan mulai membacakan pertanyaan.
Saat
itu, saya hanya bisa menghela napas lega. Sejujurnya, kemarin saya sempat
melihat tagihan makan siang itu. Harganya lumayan mahal. Tina memaksa untuk
membayar memakai uangnya dulu tanpa mempedulikan saya yang sibuk meminta
tagihan itu dibagi sesuai yang kami makan dan minum masing-masing. Memang dia
juga yang mengajak, tapi bukan berarti saya memintanya membayar apa yang saya
santap saat itu.
Di
lain hari, saya tak sengaja membawa ponsel Tina di dalam tas. Karena tidak di-charge, ponselnya
mati. Saya baru sadar kalau di dalam tas ada ponsel setelah keesokan harinya di
ruang kuliah membuka tas dan melihat ponsel titipan itu di dalam tas. Seperti
biasa Tina hanya tertawa dan berkata, “sejak kapan orang kaya kayak aku peduli
ponsel ada atau tidak, Mbak. Kalau udah waktunya ilang ya ilang aja, tabungan
orang kaya kan pasti banyak. Tinggal beli aja kok. Mbak In gak usah ngerasa
bersalah gitu deh.”
Kata-kata
‘Aku kan orang kaya’ itu terus digunakan Tina selama kami bersahabat dua tahun
terakhir ini. Saat ia tanpa diminta mengisi pulsa ponsel saya setelah meminjem
sebentar, saat ia membelikan pertamax full
tank untuk motor saya yang dipinjam hanya sekitar 10 menit untuk
membeli makan siang kami berdua, saat ia menraktir putri saya yang terpaksa
saya titipkan padanya karena dipanggil dosen cukup lama hingga membuatnya
terpaksa membatalkan janji penting di kantor, saat kami belajar dan bahkan saat
kami mengobrol di bbm.
Tapi
itu juga bukan hanya pada saya, ia juga mengucapkannya pada teman-teman yang
lain. Entah itu di kampus, di kantor bahkan ketika berada di tempat umum. Ia
tak canggung memamerkan dirinya yang orang kaya.
“Lo
mau gak ikut bazaar, Tin?” celetuk salah satu teman di depan kami berdua saat
membagikan flyer
tentang bazaar mahasiswa.
“Iih
sejak kapan orang kaya jualan buat nyari uang. Orang kaya itu kerjanya ngebeli
barang. Lo aja deh yang jualan. Entar besok aku beli deh,” katanya dengan bibir
membentuk senyum puas.
“Bener
ya, Tin? Awas kalo gak beli jualanku!” ucap teman kami itu sambil menyodorkan flyer pada saya.
Saya menunduk dan membacanya. Rupanya ini bazaar mahasiswa yang rutin diadakan
setiap peringatan hari kemerdekaan, yang kemarin sempat diperdebatkan di
meeting BEM.
“Emang
lo jualan apa besok?” selidik Tina sambil mengipas-ngipas flyer di wajahnya
yang mulai berkeringat.
“Baju
bayi, beli selusin bonus satu,” jawab teman kami itu dengan seringai licik
menghiasi wajahnya yang juga berpeluh kepanasan.
“Asem
lo, Ri! Tau aku belum bersuami ditawarin baju bayi!” Dan mereka berdua asyik
bercanda di depanku, berbalas kata saling menggoda, membuat saya pun
tersenyum-senyum simpul. Sampai akhirnya teman kami yang menawari bazaar itu
menyadari kalau saya juga berdiri memperhatikan mereka.
“Bu
Indah gak mau ikut bazaar? Biasanya ibu-ibu kan suka tuh.”
Ide
iseng pun muncul. Sambil tetap tersenyum simpul, saya pun berkata kalem,
“Engga, Mba. Kan saya sahabatnya orang kaya. Kalau mau jualan tinggal nyuruh
dia aja yang borong, selesai deh gak perlu jualan.”
“Hahahahaha!“
Keduanya langsung terbahak keras membuat orang-orang yang berdiri di lorong
kampus pun menoleh ke arah kami. Saya juga tertawa tapi terlalu malu untuk
memperlihatkannya terang-terangan.
Saya
tak pernah bertanya alasan Tina mengucapkan kata-kata itu. Saya mengira itu
bagian dari kepribadiannya yang ceria dan suka bercanda. Lagipula, dia memang
terlihat kaya. Setiap hari ke kampus memakai mobil merah bermerk produk Jepang
yang terbaru. Pakaiannya memang hanya jins berbagai warna dan kaos tangan
panjang yang ditambah topi di kepala. Tapi sebagai seorang wanita yang sudah
menjadi istri dan ibu belasan tahun, tentu bukan hal yang sulit membedakan
barang mahal atau barang murahan. Saya tahu benar, semua pakaiannya itu pasti
dibeli di outlet-outlet
terkemuka. Memang tak banyak sampai saya hafal mana baju baru dan mana baju
lama miliknya. Tapi itu cukup meyakinkan kalau dia memang pantas menyebut
dirinya orang kaya.
Berteman
dengannya membuat saya melihat banyak hal berbeda dari sisi orang kaya. Setiap
hari ia selalu membawa berbagai jenis makanan dan minuman, kadang-kadang
menurutku dibeli hanya karena iseng. Makanan dan minuman, bahkan sesekali
mainan itu malah diberikan pada orang lain termasuk untuk anakku yang masih
kecil. Entah mengapa ia membelinya, mungkin saking banyaknya uang yang punya.
Begitulah tiap kali saya berusaha menjawab pertanyaan di kepala tentang
kebiasaan unik Tina.
Dua
tahun berlalu tanpa terasa. Seiring waktu bergulir, Tina menjadi salah satu
sahabat terbaik saya. Kebiasaannya menyombongkan diri menjadi tak berarti
karena Tina adalah teman yang bisa memahami dan juga mudah dipahami. Anak-anak
pun menjadi akrab dengan Bibi Tina yang royal tiap kali datang ke rumah. Pizza
berukuran jumbo
selalu dibawanya ke rumah hingga membuat Tina menjadi bibi kesayangan
anak-anak. Sesekali saya mengajaknya ikut makan dan bermain bersama anak-anak
di mal, Tina selalu menerima ajakan itu sesibuk apapun dia di kantornya yang
bergerak di bisnis entertainment
televisi itu. Menurutnya, menghabiskan waktu bersama anak-anak
membawa banyak keuntungan, salah satunya adalah tidak kehabisan ide kreatif.
Saatnya
kami berhasil menyelesaikan kuliah berbarengan. Sayangnya saya tak bisa ikut
wisuda karena di saat bersamaan harus menyelesaikan sebuah proyek kerja di luar
kota. Saat itu saya mengira persahabatan kami akan berakhir karena kami akan
jarang bertemu. Apalagi saya tahu rencana Tina untuk pindah ke kota lain
setelah wisuda karena tawaran itu terlalu bagus untuk dilewatkan. Tawaran yang
berarti perubahan besar dalam hidupnya. Setulus hati saya berharap dia mendapatkan
jodoh terbaik di kota tersebut. Di balik kebiasaan buruknya, Tina benar-benar
wanita yang pantas mendapatkan lelaki yang baik dan menyayanginya.
Hanya
saja, sebagai sahabat saya ingin mengingatkannya tentang kebiasaan itu.
Kebiasaan menyebut dirinya orang kaya menurutku bisa menjadi bumerang untuknya.
Bagaimana kalau seorang laki-laki mendengar kata-kata itu? Mungkin saja ada
laki-laki yang suka padanya lalu setelah mendengar kata-katanya itu akan
menganggapnya sebagai perempuan mata duitan dan memilih mengundurkan diri.
“Aku
kira Mbak In gak akan pernah bertanya,” ujarnya setelah saya mulai menyinggung
kebiasaanya itu. Ada nada sedikit kecewa terdengar. Namun, ia menyembunyikannya
dengan cepat.
Saya
menghela napas, beginilah kalau mengkritik sahabat baik, terkadang ada rasa
berat namun itulah yang harus dilakukan. “Bukannya saya gak paham kalau itu
hanya bercanda, Tin. Tapi saya kuatir kalau ada yang salah paham karena
mendengar kata-kata itu. Kamu itu anak baik banget, pantesnya dapat cowok baik
juga.”
“Aku
tidak bercanda kok, Mba. Aku serius. Aku memang ingin selalu jadi orang kaya
dan saya berusaha untuk itu.” Matanya menatap saya penuh keyakinan.
“Eh?
Kamu… “ Saya benar-benar kehabisan kata-kata. Tina yang baik hati itu ternyata…
Saya hanya bisa menelan ribuan kata nasehat yang tadinya siap meluncur untuk
perempuan cantik di hadapan saya ini. Mulut seperti terkunci, tak percaya tapi
saya mendengarnya sendiri. Seperti biasa, saya tak mampu menyembunyikan
perasaan. Jadi meski diam, saya tahu wajah saya sudah berubah drastis dan
menunjukkan apa yang saya rasakan dengan sangat jelas. Kecewa.
Tapi
Tina tak bergeming. Tak mungkin dia tak melihat perubahan ekspresi itu. Anehnya
dia malah tersenyum penuh arti.
“Mbak
In, tahu gak kalau surga itu mahal?” tanyanya enteng.
“Mahal?
Maksudmu apa sih?” tanya saya balik dengan nada yang sudah berubah ketus. Saya
sudah kehilangan minat berbicara dengannya.
“Kalau
misalnya nih Mba dikasih satu… eh engga sepuluh milyar sama suami Mbak terus
uangnya itu ngambil diam-diam dari kantornya, gimana menurut mba?” tanya Tina
begitu serius.
“Eh,
enak aja! Ya gak mau lah saya! Uang korupsi kan itu namanya,” sergah saya
secepat kilat.
“Tuh
kan!! Baru juga mau membeli jujur harganya sudah tak bisa diukur. Bagaimana
kalau membeli ikhlas, sabar, amanah, soleh dan semua yang kita berikan ke Allah
tanpa ada price tagnya
itu? Belum membayar waktu yang kita habiskan untuk sholat, untuk ibadah dan
semua yang kita kerjakan hanya untukNya? Kita harus menjadi orang kaya untuk
semua itu, Mbak In sayang,” ujar Tina panjang lebar.
Saya
terdiam, berusaha mencerna kata-kata Tina. Saya mulai memahami maksudnya.
Ingatan tentang hal-hal yang terjadi selama dua terakhir ini kembali datang.
Bagaimana Tina yang selalu ringan tangan membantu, bagaimana gadis itu selalu
menganggap enteng berapapun uang yang ia keluarkan selama itu bisa membantu
orang lain, sikap spontannya yang mengejutkan saat berbelanja di pasar membeli
beberapa pasang sandal dan pulangnya saat di lampu merah ia membagikan sandal
itu pada anak-anak jalanan yang tak beralas kaki, dan mengapa ia tak pernah
terlihat kuatir apalagi sedih kalau bantuannya ternyata dianggap tak ada. Yang
ia maksud selama ini bukanlah karena ia kaya secara harfiah… tapi kaya dalam
makna yang berbeda.
“Ada
banyak hal yang tak bisa diukur nilainya, Mbak In. Sahabat seperti Mbak, Mbak
Yuni, Mbak Marlin, Terri adalah sekian dari sahabatku yang harganya tak
ternilai. Aku tak punya anak karena tak bisa membeli suami. Tapi karena
anak-anak mbak In, Mbak Yun, dan Terri, saya gak ngerasa kekurangan itu. Buat aku
sama saja. Aku sendiri, tapi aku bisa merasakan jadi orangtua. Berkat mbak dan
teman-teman yang sudah berumah tangga, aku jadi tahu rasanya jadi Ibu, sebentar
berkeluh tentang anak-anak tapi lebih banyak mengajari aku betapa
menyenangkannya punya anak. Karena anak-anak kalian, aku tak pernah kehilangan
ide saat bekerja. Kalau tidak mana mungkin aku bisa bertahan selama dua tahun
ini di program seputar ibu dan anak. Itu juga sebabnya aku ingin selalu merasa
betapa kayanya diriku ini dengan mengingatnya setiap saat.”
“Aku
gak tau dulunya kalau jadi orang yang selalu merasa kaya itu justru sangat
menguntungkan. Aku bisa ngutang dalam jumlah yang gak kecil dan gak pernah
ditagih Mbak Yun waktu sibuk praktek kemarin, bahkan gak ada yang tahu saking
rapinya Mbak Yun nyembunyiin aibku. Aku bisa nanya kapanpun sama Mbak In dan
selalu dijawab dengan baik. Padahal kunciku cuma nanya kabar kalian rutin dan
maen ke rumah sesekali. Itu belum seberapa loh, Mbak. Gara-gara kue yang tiap
pagi aku beli karena kasian sama Ibu-ibu tua yang nawarin, parkiran mobilku
selalu tersedia di parkiran kampus dan waktu pohonnya ditebang eh… Mas-mas
tukang parkirnya malah gak pernah lupa nutupin pake kardus biar mobilku gak
terlalu panas kena matahari walaupun aku gak pernah minta. Jangan tanya berapa
kali aku keluar gak bayar parkiran karena gak punya uang kecil. Itu semua
kekuatan sakti kue-kue yang tiap pagi kubawakan untuk mereka, Mbak. Karena aku
tiap pagi beli kue, eh si ibu-ibu jadi suka nawarin aku duduk dulu, nawarin
sekalian sarapan di situ. Dan tahukah Mbak apa yang terjadi? Aku dapet kenalan
Bapak-bapak duda baik hati yang nawarin aku kerja di Kualalumpur itu.”
Lidah
saya ini terasa kelu. Tak bisa membantah dan bisa merasakan kalau sahabat saya
ini memang benar.
“Makanya
aku gak ngerasa kuatir kalau barangku ilang. Enak lagi. Pertanggungjawabannya
selesai. Tau kan mbak kalau semua yang kita pakai bakal ditanya di hari kiamat
nanti. Yah paling ganti baru kalo masih baru. Kalo gak kebeli, ya beli aja yang
baru. Gak bisa beli yang lama, ya udah beli yang murah aja. Siapa tahu nih Mba,
kalau yang ngambil atau ngedapetin barang kita yang ilang eh sama dia malah
jadi lebih berguna daripada waktu aku yang pakai kan lebih manfaat. Yah kalo
dipake gak baik yaa…. paling aku doain semoga setelah dapet dan ngerasain,
dianya dikasih hidayah sama Allah,” ucap Tina masih dengan ringan.
Lalu
ia melanjutkan, “Banyak, Mba… banyak sekali pengalamanku sejak selalu
mengingatkan diriku bahwa harta yang kelihatan mata itu tak ada artinya
dibandingkan harta yang sebenarnya hanya bisa dirasakan, bahwa uang sebanyak
apapun di dunia kalau digunakan tidak untuk kebaikan takkan ada artinya. Kalau
kusebut apa aja pengalamanku, entar disangka nih orang kaya sombong bener sih…
haha haha… “
Tawa
Tina menguap di udara, memecah kesunyian restoran yang akhirnya ikut membuat
saya ikut tertawa. Bukan karena lucu, tapi menertawakan diri sendiri yang
bisa-bisanya meragukan sahabat sendiri. Tina adalah calon psikiater yang sudah
beberapa kali menulis berbagai artikel kesehatan jiwa. Dibanding diri saya, dia
tentu lebih memahami makna kehidupan sedalam dirinya. Meski usianya lebih muda,
Tina memang selalu berpikir sangat jauh ke depan.
Ketika
saya bertemu teman-teman yang lain, mereka justru menertawakan saya. Mereka
mengira saya sudah tahu sebelumnya. Mereka bilang, mereka juga belajar dari
Tina dan mulai menyebut diri mereka juga orang kaya seperti Tina. Tak cuma
uang, mereka juga belajar membagi senyum dan kebaikan, menegur tanpa malu-malu
dan bahkan bercanda meski tak tahu siapa nama yang diajak bicara.
Saya
pun tertarik ikut mencoba. Bukan untuk langsung berkata saya orang kaya, tapi
memulainya dengan selalu mensugesti diri betapa kayanya saya. Tak disangka,
segelas cappucino mengubah
kepanikan saya menjadi keberuntungan hingga bisa mendapat nilai sempurna di
salah satu mata kuliah sastra yang paling sulit di kampus saya yang lain.
Kebiasaan menegur lebih dulu tanpa pilih-pilih membuat saya tak pernah merasa
kekurangan teman dan selalu dengan mudah menghadapi para pengawas saat ujian.
Hanya dengan memberi barang bekas tak terpakai di rumah, tukang sampah bahkan
membersihkan tempat sampah di rumah setelah mengangkutnya. Bahkan ada sahabat
yang tak pernah menagih seberapa banyaknya pun saya berhutang pulsa padanya.
Yang lebih menyenangkan adalah perasaan terlepas dari beban, karena kejujuran
yang selalu berusaha saya dan suami jaga setiap hari telah berkali-kali
menyelamatkan kami sekeluarga dari badai fitnah dan kesirikan orang lain.
Akhirnya saya memang harus berterima kasih pada Tina. Gadis pintar yang
mengajarkan saya tentang arti kaya yang sebenarnya.
Itulah
mengapa, kebiasaan Tina kini mulai menulari saya. Saya mulai berani
menyombongkan diri… Saya kan orang kaya. Saya ingin menjadi orang kaya, yang
akan memanfaatkan waktunya yang mahal sebaik mungkin, orang kaya yang akan
sebanyak mungkin membantu siapapun di sekelilingnya, orang kaya yang tak merasa
perlu menulis harga kebaikannya dan orang kaya yang takkan peduli apa kata
orang asalkan dia tetap bisa menjaga kejujurannya, keikhlasannya,
ketawakalannya dan orang kaya yang akan selalu berusaha berbagi pada siapapun
di sekelilingnya.
Dan
orang kaya pertama yang mengajarkan saya itu kini sudah bekerja di negara lain.
Dia memberi saya izin berbagi soal cerita kami ini. Kini, saya merasakan maksud
Tina itu. Kini saya pun berkesimpulan, berarti mereka yang paling miskin di
dunia bukanlah mereka yang tidur di jalanan atau tak memiliki rumah. Tapi
sebaliknya, mereka yang mendapatkan harta karena korupsi adalah orang-orang
termiskin di dunia. Mereka tak hanya menjual kejujuran, tapi juga amanah,
ikhlas dan harga sebagai seorang umat beragama. Betapa murahnya harga mereka…
hanya seharga harta dunia yang masih bisa dihitung jari. Kemiskinan yang
akhirnya membuat mereka tak bisa tidur lelap dan tak bisa makan dengan hati
riang. Saya tak mau jadi seperti mereka, saya ingin jadi orang kaya yang tiap
bangun di pagi hari merasa beruntung karena setiap hari menghabiskan waktu yang
tak sia-sia.(Sumber : Blog Bunda IIn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar