Ketika BI masih dalam koridor pemerintah,
kita punya KORPRI, dan ketika independensi lahir, muncul jugalah IPEBI. Apakah
IPEBI lalu menjadi serikat pekerja seperti umumnya serikat buruh pada
perusahaan? Tidak juga. “Platform politik” IPEBI dari sejak awal tidak berada
dalam jargon dialektika buruh versus majikan, yang melawan tesis kekuasaan
majikan dengan anti tesis kepentingan buruh yang bertolak belakang. Manajemen
BI tidak berada dalam konteks maksimisasi profit pada sisi majikan yang salah
satunya dengan menekan upah pekerja. Pekerja BI tidak dalam posisi yang terus
menerus memperjuangkan kenaikan gaji, karena pada kenyataannya sudah sangat sejahtera
dibandingkan dengan rakyat kebanyakan. Dalam pola hubungan de-dialektika itu,
keduanya ingin memaksimalkan peran BI dalam mensukseskan perannya bagi
masyarakat. Dalam spektrum serikat buruh atau OSIS, IPEBI juga tidak
sesederhana OSIS yang hanya memperjuangkan wilayah kegiatan ekstra kulikuler di
luar pekerjaan rutin. Dalam spektrum itu, ia berada di antaranya.
IPEBI memperjuangkan kepentingan pegawai.
Sebagai payung yang melindungi para pegawai, keberpihakan IPEBI bagi pegawai
yang mungkin mendapatkan perlakuan tidak adil menjadi fungsi utama. Pegawai
harus merasa sangat nyaman kepada IPEBI sebagai tempat berkeluh-kesah, lalu
bersama IPEBI mengusahakan solusinya. Mewakili kepentingan pegawai dalam
berhubungan dengan organisasi semacam YKKBI dan DAPENBI yang sangat penting.
Perbaikan pola hubungan sudah terlihat, tetapi penguatan governance khususnya
transparansi, masih harus diperjuangkan. Bagaimanapun, YKK adalah kependekan
dari Yayasan Kesejahteraan KARYAWAN. Di situ, karyawan harus benar-benar
menjadi pusatnya. IPEBI harus menjaring aspirasi karyawan, memperjuangkannya,
kemudian mengkomunikasikannya secara transparan.
Area lain yang juga penting adalah
pemberdayaan pegawai. Dibanding peer group kita di pemerintahan, kami tidak
ragu pegawai BI punya kualitas lebih baik. Tetapi kenapa selama ini kualitas
yang baik itu tidak dikenal? Kenapa otokritik lama bagi kita yang jago kandang
masih saja valid? Bisakah suara kita lebih terdengar demi kepentingan Republik?
IPEBI bisa menggalang intelektualitas pegawai yang luar biasa itu, tetapi tidak
melulu dalam koridor kebanksentralan. Pemberdayaan pegawai tidak melulu
bersifat perbaikan diri, tetapi sekaligus juga bermanfaat buat lingkungan.
Pada konteks ke-Indonesia-an itu, IPEBI
bahkan bisa menyumbangkan pemikirannya untuk mengurai isu “galau ekonomi” (Vicki’s style!) yang sangat relevan bagi Republik. Selain
intelektualitas, kita punya jaringan kantor perwakilan di seantero Indonesia
sebagai saluran yang luar biasa. IPEBI untuk Indonesia: kenapa tidak? Pemberdayaan
pegawai sekaligus pemberdayaan Indonesia. Pegawai BI yang juga golongan
menengah Indonesia harus lebih punya kiprah sosial. Ada banyak yang bisa kita
lakukan di sini. IPEBI bisa bermitra dengan program CSR yang nyata atau program
beasiswanya BI dan masuk ke dunia pendidikan. Bentuk-bentuk kegiatan sosial
lain yang kongkrit juga sangat terbuka. Kami di kantor pusat bisa belajar banyak kepada
teman di kantor perwakilan. Bayangkan tagline seperti ini: BI mengajar, BI
menanam, BI menulis, BI goes to campus... Akan lebih baik lagi jika
program sosial semacam ini juga melibatkan keluarga, khususnya anak-anak kita.
Selain bermanfaat buat lingkungan sekitar, kegiatan sosial penting buat
mengasah kepeduliaan sosial. Kesan kepada orang BI yang masih sering dinilai
elitis harus kita permak menjadi BI yang peduli.
Selanjutnya, area kesejahteraan tidak
sesempit tuntutan kenaikan upah pada kasus serikat pekerja. Konon statistik
ke(tidak)sehatan pegawai BI meningkat, khususnya penyakit terkait gaya hidup.
Bisa jadi itu terkait peningkatan jam kerja yang tidak diimbangi pola makan dan
kegiatan jasmaniah yang sehat. Keduanya harus diperbaiki. Ke(tidak)sehatan
rohani konon juga meningkat, seperti misalnya terlihat pada meningkatnya angka
perceraian. Pada area kesehatan jasmani dan rohani tersebut, peningkatan
kualitas pengobatan menjadi penting, tetapi lebih penting lagi upaya
pencegahannya. IPEBI dapat memainkan peran pentingnya di sini. Penyediaan
fasilitas olah raga yang memadai (fitness center atau sarana yang lain),
mengkampanyekan dan mengedukasi pola hidup sehat, olah raga bersama, kegiatan
yang melibatkan keluarga, bahkan menyalakan kembali romansa suami-istri yang
mungkin sedang redup, merancang pendidikan anak, adalah contoh-contoh kegiatan
yang sangat penting tapi juga doable dilakukan IPEBI. Jika pegawai lebih sehat
jasmani dan rohani, toh sebagai lembaga BI juga sangat diuntungkan. A win-win
solution.
Isu sangat penting yang akan dihadapi
kepengurusan ini adalah migrasi pegawai ke OJK. Sejarah akan mencatat ini
dengan tinta emas jika berhasil, atau sebaliknya dengan tinta buram nan kusam
jika gagal. Gagal di sini adalah jika dua institusi ini lahir dan kemudian
“musuhan”. Siapapun yang menang, perang saudara akan selalu menyisakan luka
mendalam. Atau bahkan tidak ada pemenang. Keduanya kalah, termasuk kemaslahatan
Indonesia yg diperjuangkan keduanya. Memang bakal musuhan? Mudah-mudahan hanya
kami saja yang lebay. Tapi ungkapan BI versus OJK, atau kita dan mereka semakin
sering kita dengar. Pada sisi OJK kita dengar ada perasaan tidak didukung penuh
sebagaimana org Kemenkeu yg mendukung sepenuh hati kepindahan pegawainya, ada
perasaan “dibuang”, ada juga rumors yang berkembang BI tidak mau lagi bayarin
gaji pegawainya yang ditugaskan ke sana, lalu isu tentang ketidakpastian opsi
untuk balik lagi ke BI jika pegawai memutuskan utk kembali. Masih pada sisi
OJK, ada juga kegamangan menghadapi budaya kerja baru yang belum tentu cocok,
sudah kalah set dgn org eks-keuangan dr sisi posisi, ketidakpastian karir,
kesehatan, perumahan... dan pada saat akumulasi kegalauan itu memuncak,
teman-teman perbankan merasa sendirian, karena saudaranya di sektor lain
“acuh-beibeh”. Pada sisi BI, harus juga diakui ada sedikit kecemburuan ketika
membayangkan “top up” atau mobil dinas beserta bensin dan sopir, dan lalu
menganggap semua kegalauan tadi itu sebagai “lebay” semata.
Perasaan tentu bisa sangat berbeda dengan
kenyataan. Kita juga tahu sudah ada banyak yg dipikirkan dan dikerjakan
“manajemen” untuk mengatasi kegalauan itu seperti yang kita lihat dalam
beberapa hari terakhir. Tapi ketika komunikasi dari manajemen tidak menjangkau
khalayak, perasaan itu berkembang liar dan membola-salju. Dan ketika suasana kebatinan
yg beraura negatif itu bertahan lama, itu juga yang keluar ketika kedua pihak
–orang BI dan (calon) orang OJK—bertemu membahas pekerjaan. Ada isu besar soal
akses data, tentang rebutan wilayah “kekuasaan”, tentang interpretasi hukum,
dan lain sebagainya yang dibahas dengan aura negatif. Lalu polarisasi
berkembang cepat: kita dan mereka. Pada saat itu kegalauan bertransformasi
menjadi kecurigaan dan selanjutnya virus permusuhan yang berpotensi epidemik.
Kami ingin mengganti suasana itu. Kami ingin
memulainya dengan sebuah analogi keluarga. Jika manajemen itu orang tua,
pegawai adalah anak-anaknya –dengan Ipebi yang memayunginya. For some
reasons –yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami anak-anak, sang orang tua
berpisah. Katakanlah sang ibu harus ke luar dari rumah dan kawin lagi dengan
orang lain. Lalu anak-anak dibagi: ikut bapak atau ibu. Situasinya memang agak
kacau, dan bertambah kacau ketika anak-anak itu ikut membahas harta gono-gini
(btw, kenapa ya disebut gono-gini?). Perceraian orang tua lalu menjadi
perceraian anak-anak. Persaudaraan menguap ditiup angin perpisahan.
Kami merasa Ipebi punya posisi sangat penting
di sini. Ia harus bisa menyatukan saudara-saudara kandung itu, dan bersama-sama
mengatakan ini kepada ayah dan juga ibu: “Jika perceraian sudah diputuskan,
kami bisa menerimanya. Jika harta gono-gini harus dibagi, silakan. Tapi kami
tetap ingin jadi saudara kandung. Dan kami juga harus menanyakan kepastian
apakah besok masih akan ada makanan di meja makan, dan apakah uang SPP akan dibayarkan?”
Komunikasi harus dibuka lebar-lebar, kecurigaan sudah saatnya dibuang-jauh,
permusuhan sama sekali tidak relevan pada kasus saudara kandung.
Selanjutnya, jika persaudaraan itu dapat
dijaga, bukankah bagi pegawai BI secara keseluruhan OJK itu sebuah peluang
ketimbang ancaman? Sebagai bank sentral, BI sulit untuk ekspansi. Dengan
tingkat perputaran pegawai (turnover) yang nyaris nol, persaingan karir di BI
secara natural sangat tajam. Dalam konteks ini, OJK bisa dilihat sebagai
perluasan kesempatan kerja, perluasan lahan karir. Agar ancaman menjadi
peluang, kita justru harus mengembangkan BI connection. Lebih awal dari itu,
persaudaraan harus ditingkatkan ketimbang mengipas permusuhan. Kami ingin
memperjuangkan itu. Paling tidak menghalau aura negatif yang berkembang saat
ini, dan menggantinya dengan yang positif. Bukankah agama juga mengajarkan
kalau silaturahmi itu memperpanjang umur? Kami rasa, sebaliknya, menghilangkan
silaturahmi itu memperpendek umur entah umur BI atau OJK atau keduanya.(Erwin Haryono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar