Beberapa tahun silam yang lalu saya pernah
berkunjung ke beberapa universitas di Malaysia diantaranya Universitas
Kebangsaan Malaysia (UKM), Universitas Malaya (UM), Universitas Teknologi
Malaysia (UTM) dan terakhir ke Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia atau
International Islamic University Malaysia (IIUM).
Pada suatu kesempatan, Rektor IIUM pernah
berpidato tentang kisah anak unta. Alkisah dua ekor unta bercengkerama, Ibu
unta dan anak unta. Anak Unta itu bertanya kepada ibunya, ”Ibu, Mengapa bulu
mataku lebat dan lentik sekali ?. ”Dengan lembutnya Ibunya menjawab. “Itu untuk
menghalau pasir ketika melewati padang pasir, nak.”
“Lalu bu, mengapa kakiku besar dan berkuku
tiga ?” Sang ibu dengan sabarnya, menjulurkan lidahnya lalu membelai lembut si
anak dengan kasih sayangnya. “Anakku kakimu yang besar dan berkuku tiga itu
sebenarnya, saat kau berjalan melewati padang pasir. Dirimu mampu melewatinya,
bahkan saat kau berlari sekalipun. Kau akan bisa berlari lebih cepat
dibandingkan hewan-hewan lainnya di padang pasir.”
Sang anak sesaat berpikir dan terdiam.
Kemudian dia bertanya lagi. “Kalau punukku ini mengapa besar, bu ?” Ibu Unta
itu tersenyum, “itu untuk cadangan makanan kita agar tahan dalam perjalanan
yang jauh dan lama, nak”. Mendengar jawaban sang ibu, ekspresi anak unta
berubah menjadi pilu. Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa remuk
tercabik-cabik.
Ibunya terlihat bingung melihat anaknya yang
menangis sesenggukan. “Kenapa kamu menangis, nak?”. “Aku ingin bertanya satu
lagi, bu. Hal itu yang membuatku menangis…” suara anak unta itu terdengar parau
sambil sesenggukan. “Tentu saja boleh. Apa yang kau tanyakan lagi, nak?”
“Dengan semua kehebatan yang kita miliki.
Lalu untuk apa semua itu bu? Kalau kita ‘terpenjara’ hanya hidup di kebun
binatang ini?” Mendengar pertanyaan anak unta tersebut. Sang ibupun tak kuasa
untuk menahan tangisnya. Dia tak bisa menjawab. Mulutnya jadi kaku. Otaknya pun
jadi beku. Namun hatinya mendidih. Hati sang ibu unta itu terasa lebih sakit
daripada yang dirasakan anaknya.
Sobat, kisah
ini sebenarnya memiliki pesan yang kuat. Kalau seandainya kita renungkan bahwa
kedua unta itu, kita analogikan pada diri kita yang dianugerahi potensi besar,
namun kenyataannya terpenjara oleh ‘kebun binatang’. Yaitu lingkungan
dan pikiran kita sendiri. Padahal seperti halnya unta tersebut semestinya dapat
melangkah jauh, dan memiliki potensi yang luar biasa. Bicara tentang potensi
unta, sedikit saya berbagi fakta mengenai unta. Unta tidak terpengaruh oleh
kondisi alam paling keras sekalipun.
Unta dapat bertahan hidup selama 8 hari tanpa
air dan makanan, mampu mengangkut beban ratusan kilogram selama berhari-hari,
unta mampu menutup lubang hidungnya sehingga pasir tidak dapat masuk. Bulu
tebal yang tidak tertembus pada tubuh unta mencegah matahari padang pasir yang
terik (suhu 50o) mencapai kulitnya bahkan unta dapat bertahan pada suhu
serendah 50o .
Tapi, kemampuan hebat yang sesungguhnya
tersebut tidak akan pernah keluar bilamana tidak digunakan pada habitanya yang
keras. Kehidupannya telah dibatasi oleh lingkungannya. Begitu juga pada diri
kita ini. Potensi kita yang luar biasa ini tidak akan pernah muncul. Apabila
kita tidak terlibat langsung pada habitat yang keras. Atau kita tak pernah
menghadirkan lingkungan yang cadas dalam kehidupan kita.
Memilih pada
kehidupan aman dan nyaman. Hal itu sama halnya, hidup dalam ‘penjara
kebun binatang’. Di dalam lingkungan pekerjaan, tak sedikit
orang yang berpikir ”Ngapain kamu kerja keras seperti itu, kamu ngga bakal di
promosikan kok ?” . ‘Penjara Kebun Binatang’ bisa berbentuk kondisi tubuh yang
tampak terlalu normal. Dalam pandangan saudara kita yang Disabilitas ,
kondisi tubuh yang normal adalah kesempurnaan. Namun justru kenyataannya,
mereka yang tampak normal kebanyakan tidak pernah mendatangkan karya dan
prestasi.
Kenormalan
bisa jadi membuat terlena dan masuk dalam ‘penjara kebun binatang.’ Normal
namun karena alasan tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, usia dan lain
sebagainya. Bila kita belum keluar dari ‘penjara kebun binatang’ tersebut maka prestasi dan kemampuan
kita yang sesungguhnya tidak akan tampak dalam aktivitas sehari-hari.
Lihatlah sosok
Habibi Afsyah meski menderita penyakit Muscular Dystrophy , penyakit yang merusak saraf motorik di
otak kecil yang membuat tubuhnya tak bisa berkembang sempurna sehingga tangan,
kaki dan badannya mengecil, yang menyebabkannya ‘terpenjara’ karena harus selalu di kursi roda,
namun Habibie tidak pernah menyalahkan kondisi fisiknya yang seperti itu bahkan
justeru dia berkeyakinan bahwa itulah letak kekuatannya. Ia menemukan pekerjaan
yang sesuai dengan passion-nya, yaitu dekat dengan
komputer. Pekerjaan yang tak membutuhkan mobilitas yang tinggi, yang bisa dia
kendalikan semua itu lewat kursi roda. Akhirnya dia dapat menjadi raja
marketing online Indonesia dan telah menghasilkan ribuan dollar dan penghargaan
dari berbagai pihak.
Anda yang pernah mendengar kisah Helen
Keller. Dengan keterbatasan mata yang buta, tuli dan “gagu” sejak usia 2 tahun
namun dia mampu lulus dari Harvard University dan menguasai beberapa bahasa
asing. Bill Gates tidak menyelesaikan pendidikan sarjananya, namun mampu
menjadi “raja” komputer dan orang terkaya di dunia.
Kalau mereka
sudah berhasil keluar dari ‘penjara kebun binatang’ yang memenjarakan potensinya untuk
berkembang pesat, bagaimana dengan anda ?(Tito Dewanto)
SELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825
BalasHapusDaftarkan Segera ID Hokimu Di SumoQQ.ORG ! WinRate Terbesar Untuk Semua Permainan Kartu Anda ! Min Depo Cuma 15RB !
Pin BBM : D8ACD825