Jika
saya menjadi Anggota DPRD Banten, maka garis politik saya hanya satu: ikut apa
kehendak Keluarga Ratu…
Karena
mereka lah yang sesungguhnya menentukan hitam putih Banten hari ini. Keluarga
itu mengisi seluruh pojok kekuasaan di tatar Sunda bagian barat ini. Jangankan
di eksekutif, di mana Ibu Tiri, Menantu, Adik, dan Ipar Atut bercokol. Bahkan
jabatan-jabatan organisasi sosial pun tak lepas dari cengkraman mereka (seperti
KNPI Banten, Tagana Banten, dan entah apalagi).
Jika
saja di Banten ada perhimpunan Hansip atau RT, maka pasti Ketuanya adalah dari
keluarga keturunan Almarhum Chasan Shohib itu. Sekedar mengingatkan, menurut
temuan ICW, milyaran rupiah uang rakyat Banten mengalir ke
organsiasi-organsiasi itu (dengan judul Dana Hibah atau Dana Bantuan Sosial).
Tiga
tonggak cabang kekuasaan politik tak ada yang lepas dari cakar kekuasaan
mereka. Selain Eksekutif, juga berkecambah di legislatif (atau DPRD). Di situ
pun jalur kekerabatan Ratu Atut bertautan. Bahkan Ketua DPRD Banten sekalipun,
tak lain adalah orang yang pernah menjadi tukang menenteng-nenteng tas Almarhum
Chasan Shohib (orang tua Atut).
Akan terlalu kasar jika saya mengatakan Ketua
DPRD Banten adalah bekas suruhan Chasan Shohib —meski faktanya memang begitu.
Dari puluhan Anggota DPRD Banten yang kini duduk, belasan diantaranya
adalah inner circle Ratu Atut, alias lingkaran inti Sang Tersangka
KPK itu. Dan mereka tak datang dari satu partai, melainkan hampir semua partai
besar…
Lalu
bagaimana dengan suara rakyat?
Ah,
menipu rakyat Banten semudah meniup kapas di ujung jemari. Mereka cukup disogok
dengan dua bungkus Indomie di malam Pilkada. Selesai. Jangan mimpi rakyat
Banten yang jumlahnya jutaan itu bisa kritis. Dari dulu, para pemberontak
Banten hanya terdiri dari segilintir, dan perlawanan mereka pasti segera pupus.
Jangankan rakyat jelata, mereka yang kuliah S2 sekalipun, ada yang menjadi
pengunjung rutin makam keramat, para jurnalisnya juga dengan bangga pamer foto
salaman dengan pejabat, dan aktivis mudanya yang di KNPI menjadi pendukung
setia keluarga Sang Ratu. Intinya: Sang Ratu selalu digugu.
Lagipula,
rakyat Banten mudah ditakut-takuti bahkan dengan dongeng kosong sekalipun.
Cukup membayari para Jawara yang sangar, maka mereka pasti bungkam. Tinggal
menyebar isu santen, maka mental rakyat pasti mengkeret. Rakyat Banten
sudah lama percaya, bahwa keluarga Ratu Atut tak bisa dikalahkan. Sudahlah,
jangan harap rakyat Banten akan membela pihak yang benar. Mereka hanya tahu
dibayar!
Memang
ada kelompok kritis dan militan. Tapi jumlahnhya bisa dihitung dengan jari.
Saya memang salut dengan kawan-kawan ICW dan jaringannya di Banten, yang giat
membongkar korupsi Dana Hibah dan Uang Bantuan Sosial di Banten. Saya juga
memberi apresiasi kepada para akademisi. Mereka itu hebat! Seperti titisan para
cendekiawan Banten tempo doeloe yang pro pada kebenaran. Akan tetapi, jika Saya
Menjadi Anggota DPRD Banten, tak akan mendengarkan seruan mereka, karena mereka
jumlahnya terlalu sedikit, dan mereka tak akan memberi proyek apapun terhadap
saya.
Maka
tak ada yang salah, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, maka kiblat politik
saya adalah keluarga besar Sang Penguasa…
Dengan
gurita kekuasaan keluarga Ratu Atut yang menjalar ke sana ke mari, maka apa
yang tak bisa mereka lakukan? Puluhan Anggota DPRD Banten tak lain hanya
menjadi the rubber stamp belaka, alias pemberi cap stempel
persetujuan. Tak bisa ada pendapat yang tak setuju. Semua takluk.
Dari
sisi kemerdekaan politik, anggota DPRD Banten bahkan jauh lebih buruk nasibnya
dibanding Volksraad zaman kumpeni dahulu. Waktu itu, meski disetir
pemerintah kolonial, tapi para anggota Volksraad masih bisa kritis, berani
mengirim Petisi, dan berani mundur bila pendapatnya tak dihargai (misalnya,
Agus Salim, yang menyebut parlemen Hindia Belanda itu sebagai Komedi Omong
belaka).
Tetapi
jangan salah, dari sisi kemewahan hidup, Anggota DPRD Banten adalah raja
diraja. Apa merk mobil mewah yang tak dimiliki para anggota dewan di sana?
Prinsip menjadi anggota dewan di Banten adalah tak apa pendapat tak
dihargai, yang penting pendapatan selalu diberi. Isi kepala mereka adalah
proyek apa yang bisa dilahap.
Bagaimana
tidak, tiga fungsi utama Anggota DPRD, masing-masing fungsi anggaran, fungsi
legislasi, dan fungsi pengawasan, bisa diolah menjadi uang semua.
Dalam
menyusun budget, maka poin-poin mata anggaran dan pagu nominal, telah dipesan
lebih dahulu. Bukan sembarang pesanan, karena hal itu adalah barang yang pasti
jadi. Tak boleh dikoreksi. Semua orang Banten tahu, APBD Banten memang
ditandatangani Pimpinan DPRD, tetapi atas persetujuan orang yang kini mendekam
di balik jeruji KPK —dan pemilik belasan mobil super mewah. Anggota DPRD Banten
faham betul teori ini. Maka, daripada berpikir keras meloloskan program yang
pro rakyat miskin, jauh lebih baik mengakomodasi permintaan proyek dari
keluarga. Pasti ada uang lelah.
Lalu
bagaimana dengan dua fungsi lain yang tersisa? Yakni soal pengawasan dan
pembuatan peraturan daerah (fungsi legislasi)?
Fungsi
pengawasan dewan, anggap saja itu “mata pelajaran Pengantar Ilmu Politik” untuk
mahasiswa Untirta semester pertama. Tak ada gunanya sama sekali. Apa yang harus
diawasi? Di Banten, mana ada program atau proyek yang dilakukan dengan memenuhi
standar. Semua berkualitas buruk. Karena nilai proyek sudah digunting sebelum
pekerjaan dilaksanakan. Jangankan Anggota DPRD Banten, tukang pangkas rambut di
Pasar Benhil Jakarta pun tahu, bahwa ada 1.300 kasus korupsi di Banten. Untuk
tahu kebobrokan berbagai kualitas program Pemda Banten tak perlu pengawasan
lapangan oleh legislatif, cukup anda bisa baca tulis saja. Semua itu terlihat
di depan mata.
Kata
seorang pakar, ada dua cara merampok APBD Banten. Cara pertama, adalah
melakukan mark up atau penggelembungan nilai anggaran (untuk kemudian
masuk ke kas penguasa). Cara kedua, memotong uang proyek dengan cara menurunkan
kualitas pengerjaan proyek. Dan ini dilakukan oleh para cukong yang berebut
menjadi kontraktor.
Pun
begitu dengan soal legislasi. Sama buruknya. Di Banten, pernah terjadi polemik
sesaat, persis ketika satu setengah tahun lalu Radar Banten memuat berita
protes dari Ketua Komisi Kebebasan Informasi Publik Provinsi Banten, tentang
Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Provinsi Banten. Yang jadi kontroversi
adalah karena Ranperda itu 100 persencopypaste dari Ranperda milik Provinsi
Sulawesi Selatan. Benar bukan, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, untuk apa
bekarja benar, karena semuanya bobrok.
Anda
mungkin bertanya-tanya, sejahat itukah DPRD Banten? Jawaban sudah tegas
hari-hari terakhir ini. Coba baca di media massa: DPRD Banten sepakat
memutuskan Ratu Atut sebagai Gubernur Banten (meski yang bersangkutan kini
menjadi “primadona” Rutan Pondok Bambu). Luar biasa DPRD Banten, lebih memilih
dipimpin tahanan KPK. Itu saja…(Endi Biaro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar