Sewaktu masih
kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku
mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan
sore. Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah
dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain
sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencuci
sendiri piring bekas masak dan makan yang lain. Sering aku merasa kesal dengan
semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu
bersungut-sungut.
Kini, setelah
dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tak akan pernah
lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karenamu aku
menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali
aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke
dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela
kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau
hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia
menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku
besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang
menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan
dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang
trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter
didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut
cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya,
ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk
membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan
juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku
tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku
berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan
mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika
aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh
berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap
ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga
kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas
permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda
sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak
mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar
sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya,
pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku
tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari
pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana
meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang
senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku.
Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat
itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika
aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku
sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau
menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada
suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini
setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap
bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan
menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.(Planet motivasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar