Pagi
yang cerah, aku mendarat di Bandara Sam Ratulangi Manado. Kendaraan kantor yang
menjemput sudah menunggu di areal parkir bandara. Everson atau Son panggilan
akrabnya, driver kantor menemuiku dengan ramah. “So lama bapak nyanda kamari, apa
kabar ?”. Aku menjawab baik-baik saja. Karena hari masih jam 10 pagi, kutelepon
pejabat yang berwenang untuk meminta ijin menggunakan kendaraan dinas, menuju
Danau Tondano. Aku berharap dapat ijin karena tugas yang kujalankan di KPw
Manado memantau arsip BI terkait OJK.
Dari pengalaman sebelumnya, waktu yang diberi kurang, selalu bekerja sampai
malam. Hingga nggak sempat jalan-jalan menikmati kota yang kukunjungi.
Alhamdulilah,
diijinkan. Aku langsung mengajak Son
menuju Danau Tondano di Kabupaten Minahasa, kira-kira 38 km jauhnya. So lama
nyanda tugas ke “Provinsi Nyiur Melambai” khususnya kota “Tinituan”. Kondisinya
sudah banyak berubah, bandaranya bersih dan tertib, kendaraan ramai agak macet,
banyak mall. Sepanjang jalan menuju Tondano terlihat pohon kelapa, pohon pala,
pohon cengkeh dan hutan buah-buahan yang tumbuh subur menghijau.
Sebelum
sampai ke Tondano, kami singgah ditempat seorang pedagang “saguer” di daerah
Tanggari. Yaitu minuman yang diambil dari pohon seho atau pohon aren, kalau
dijawa atau ditempat lain “tuak”namanya. Rasanya manis segar. Saguer bahan dasar untuk membuat gula aren dan
minuman yang cukup digemari masyarakat Sulawesi Utara, yaitu “Cap Tikus”.
Setelah
sampai di Danau
Tondano, kami langsung menuju sebuah tempat untuk makan siang, tempatnya sederhana
namun cukup bersih, terlihat dari toiletnya yang terawat. Berbagai menu
tersedia, khususnya menu ikan mujaer. Mujaer bakar rica, mujaer bakar siram
dabu-dabu, mujaer goreng mentega, mujaer woku, mujaer kuah asam, perkedel nike
(sejenis ikan teri Danau Tondano), kangkung cah bunga pepaya, pakis cah bunga
pepaya.
Menu
dan kuliner yang sangat menarik, sebab kalau di Jakarta menu tersebut hanya
dapat kutemui di Restoran “Tude”, yaitu restoran masakan minahasa yang ada di
Jalan Blora, samping stasiun
kereta api Dukuh Atas.
Perjalanan
yang menyenangkan, selain berwisata sehabis santap siang, karena sudah berada
di daerah Tondano, aku sempatkan ziarah ke makam pahlawan nasional “Kyai Modjo”
di Kampung Jawa - Tondano. Beliau adalah salah seorang kepercayaan Pangeran
Diponegoro.
Kyai
Modjo yang terlahir dengan nama Muhammad Khalifah, pada akhir tahun 1829 menjelang
Perang Diponegoro berakhir, beliau diasingkan oleh Belanda ke daerah ini beserta 63
orang pengikutnya. Setelah beliau wafat tahun 1849, termasuk seluruh
pengikutnya dimakamkan disebuah bukit kecil didaerah Tondano. Karena pengasingan
tersebut maka sampai saat ini penduduk daerah setempat disebut “Jaton” atau Jawa Tondano. Peninggalan
jaman Kyai Modjo, yaitu Masjid Al Falah Kyai Modjo, yang dibangun bersamaan
dengan pembuangannya. Bahasa yang dipergunakan kaum jaton adalah bahasa jawa
dan campuran jawa tondano.
Pengalaman
wisata yang sangat berkesan, selain melihat kondisi alam yang indah, pengalaman
rohani mengunjungi makam seorang pahlawan nasional membuatku terharu. Biasanya
tahu beliau hanya dari pelajaran sejarah, alhamdulilah kemarin bisa mengirim
doa dari makamnya. Semoga beliau dan para pengikutnya dilapangkan dan
diterangkan kuburnya, dijauhi dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya
oleh Allah SWT. Yang membuatku bangga adalah nggak semua orang yang berkunjung
ke Sulawesi Utara, bisa singgah di Danau Tondano dan Kampung Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar