Setelah berkeliling di sekitar tempat
wisata Gunung Takuban Perahu, aku mampir di Kota Lembang. Lembang dikenal
dengan hasil buminya berupa aneka sayuran dan buah-buahan segar. Lembang
dikenal dengan hasil susu sapi segarnya, karena memang di sinilah tempatnya
peternakan sapi. Lembang dikenal dengan cuacanya yang sejuk dingin. Lembang
juga dikenal dengan makanannya yang enak-enak. Jika kita ke Lembang, salah satu
rumah makan yang cukup mencolok adalah rumah makan atau resto ”Ayam Goreng
Brebes”. Dulu rumah makan ini menyediakan makanan “sagala aya”, mulai ayam
goreng bakar, sate gule kambing, ikan goreng bakar, sop dan soto, sayur asem,
karedok, sampai gado-gado. Sedia juga aneka minuman, jus, susu murni sagala
rasa, dan lain-lain.
Tapi sekarang nggak, hanya
mengkhususkan pada ayam goreng brebes-nya. Sempat pada awalnya aku ragu dengan
restoran ini, tapi setelah aku masuk dan melihat suasananya, wah boleh juga nih
tampak rapi dan bersih. Kalau dulu tak sebesar sekarang, saat ini banyak meja
makannya cukup untuk sekitar 120 orang padahal dulu cuma 20 orang, dan itu-pun
sudah dempet dempetan duduknya. Bufet tempat menyimpan/menggantung ayamnya-pun
ada dua buah yang berarti langganan resto telah tambah banyak dan resto telah
berkembang bukan hanya sekedar resto tempat singgah.
Ayam goreng brebes, selain enak dan
gurih, memang memiliki kenangan sendiri bagiku.
Waktu bujangan hampir setiap aku mengunjungi Bandung, mampir ke lembang dan makan ayam
goreng di dinginnya udara Lembang. Jarak
Bandung - Lembang seringkali kutempuh dengan sepeda motor, karena ketagihan
ayam Brebes ini dingin pun tak kurasakan waktu itu. Kalau diingat-ingat, ada nostalgia
juga ketika lidah ini mengecap gurihnya potongan ayam sore itu.
Ayam goreng ini biasanya digoreng
kering dengan merendamnya di dalam sebuah wajan yang penuh dengan minyak goreng
panas. Biasanya gorengnya agak lama,
sehingga kulit ayam kering, sementara dagingnya di dalam matang tapi lembut.
Ayam ini bisa juga dibakar dan disajikan dengan baluran kecap sambal yang
generous. Mungkin ini selera, tapi
buatku tetap lebih enak digoreng. Apalagi disajikan dengan ikan asin jambal
roti, dan karedok yang sedap! Ah, nggak
mau pulang rasanya.
Nah, penjualnya menjajakan sekaligus
menarik perhatian calon pembeli dengan menggantung ayam-ayam utuh setengah
matang di dalam sebuah kotak kaca di depan toko. Cara menggantung barang
dagangan dengan cara seperti ini, rupanya merupakan sesuatu yang lazim di
Indonesia. Beberapa waktu yang lalu,
ketika aku berkunjung ke Surabaya, cara yang sama juga dipergunakan oleh
penjual bandeng asap. Bandeng yang baru
selesai di asap dan digantung-gantung di dalam sebuah kotak kaca di depan toko.
Selidik punya selidik, ternyata mereka menggantung seperti ini karena ingin
membiarkan minyak dari bandeng agar tuntas keluar untuk ditampung dalam wadah
yang berada di bawahnya. Ini konsisten dengan cara banyak penjual makanan oriental
ketika menggantung daging bebek atau babi yang diwarnai merah. Makanan-makanan tersebut digantung agar
pewarna dan bumbu yang dioleskan ke permukaan tersebut dapat tumpah dan
mengalir ke wadah yang disediakan di bawahnya.
Metode ini rupanya ditempuh untuk
mendapatkan hasil kulit makanan yang kering dan gurih ketika makanan tersebut
digoreng atau dipanggang. Hasil yang
berbeda akan diperoleh ketika makanan tersebut diletakkan di dalam sebuah wadah
dan direndam dengan bumbu. Metodologi ini rupanya juga dapat digunakan untuk
menelaah ayam dan bandeng gantung ini.
Ditengah derasnya pertumbuhan gerai makanan cepat saji dengan pemasaran
yang agresif, masyarakat masih juga menyajikan makanan dengan cara yang sudah berabad-abad
dilakukan oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar