Di sebuah lembaga yang paling bergengsi di negara ini,
semua karyawan di dalamnya tampak sibuk berlomba untuk memperbaiki kinerja, adu
pintar, adu produktif, adu prestasi, juga berlomba meningkatkan gelar ke
jenjang yang lebih tinggi, S2 bahkan S3. Gaji dan benefit yang diterima
karyawan di lembaga itu juga sangat oke. Semestinya, karyawan happy di lingkungan yang
sekompetitif dan seapresiatif ini. Kenyataannya, karyawannya mengaku tidak
terlalu happy, merasa resah, merasa tidak ‘berisi’, tidak pede bila
bertemu orang luar, walaupun ketidakpedean ini lebih banyak tersembunyi dibalik
sikap arogan.
Meski terlihat keren, juga produktif,
namun bila individu yang bekerja dalam organisasi merasa ‘lelah’ berhubungan dengan
organisasi, tidak ‘cinta’ organisasi, tidak bangga dengan aturan main kantor,
berarti ia sedang bekerja dengan ethos kerja yang rendah. Di organisasi dengan
ethos kerja yang tinggi, kita akan merasakan bahwa karyawan umumnya lebih
nyaman, lebih ‘helpful’, tidak membatasi diri, lebih sabar, lebih bisa
berkomunikasi profesional dengan jelas tanpa memancarkan rasa ‘lelah’.
Selera bekerja istilah popular adalah “ethos
kerja”. Kita tahu betul bagaimana membedakan antara berselera makan dan tidak
berselera makan, orang dan organisasi yang
punya ethos kerja tentunya menunjukkan semangat untuk berkolaborasi, berdebat,
berkomunikasi, berprestasi yang ‘tidak ada matinya’, sehingga secara nyata
dapat memetik hasil yang riil dan memberi kontribusi bagi kemajuan organisasi,
juga bangsanya. Sementara, lembaga dengan ethos kerja rendah dapat segera
terlihat dari adanya kesulitan kolaborasi, menebar gosip ke segala penjuru, serta
tidak adanya inovasi.
‘Semangat’ bukan
Segala-galanya
Rekan saya adalah seorang yang sangat
bersemangat dan bergairah. Dia selalu beranggapan bahwa ia membangkitkan
semangat tim, atasan bahkan teman-temannya. Belakangan, ia mendapat kritik dari
berbagai pihak di tempat kerja. Kritiknya menyangkut kegemarannya bergosip,
kinerjanya yang tidak jelas, janji janji yang tidak membumi, dan analisa serta
strategi yang tidak terarah. Ketika petugas HRD menegurnya, ia berargumentasi :
”Bukankah saya membangkitkan semangat teman-teman?” dan “Bukankah
saya menyampaikan aspirasi teman-teman yang tidak bisa mereka utarakannya
secara jelas kepada perusahaan?”. Ini adalah contoh, di mana suasana kerja
bisa tampak seolah bersemangat dan bermotivasi tinggi, tapi belum tentu
menghasilkan kinerja yang produktif, efektif juga efisien. Jadi, semangat bukan
segala-galanya bila kita merujuk ethos kerja tinggi.
Fokus pada “Self
Esteem” Karyawan
Di sebuah perusahaan yang baru-baru
ini mengadakan program job valuation, sebagian besar karyawannya
mendapatkan kenaikan gaji sebagai hasil program ini. Meski di satu sisi hal ini
menggembirakan, namun banyak sekali karyawan yang merasa ‘gamang’ dengan
kenaikan gaji tersebut. “Saya merasa tidak pantas mendapat gaji sebanyak itu”,
seorang karyawan berkometar. Karyawan lain berujar,”Orang yang sepanjang
hari chatting di kantor kok dapat kenaikan gaji segitu”. Apapun latar
belakangnya, yang pasti rasa gamang ini bukan rasa yang postitif.
Di lingkungan yang ethos kerjanya
positif, karyawannya happy luar dalam. Di lingkungan seperti itu,
biasanya karyawan merespek kebijakan perusahaan dan membela tindakan perusahaan.
Tidak harus melulu soal menaikkan upah dan benefit, namun perusahaan
yang ingin mencapai ethos yang positif sebenarnya bisa memperhatikan bagaimana
karyawan “merasa” tentang jabatan, tugas, arah serta image perusahaan
tempat ia bekerja. Karyawan bisa saja diberi tugas banyak dan diberi upah yang
tidak nomor satu di industrinya, tetapi tetap merasa positif dengan pekerjaan
dan jabatannya. Karyawan perlu tahu persis mengapa ia bekerja dan memangku
jabatan yang berbeda dengan rekan kerjanya. Ia juga perlu tahu persis mengapa
ia berbeda dengan rekan kerjanya dalam bobot tugas, jenis tugas bahkan sampai
ke pengupahannya. Dan alasan tersebut perlu ia terima secara positif.
Penyadaran ini akan menyebabkan
individu merasa leluasa dan “nyaman” berprestasi walaupun bekerja keras. Penyadaran
ini pun perlu mencapai tingkat di mana individu tahu dan sadar mengenai potensi
dan kompetensi sekaligus keterbatasannya. “Tidak semua orang harus di promosi”,
“Tidak semua orang bisa jadi direktur”, tetapi setiap orang bisa memberi
kontribusi yang banyak. Dan setiap orang bisa “happy” sesuai dengan
level kompetensinya.
Trust Dibangun dari Transparansi
Keyakinan
perusahaan bahwa karyawan harus mendapatkan kejelasan informasi dan karenanya
perusahaan perlu mengupayakan transparansi kepada karyawan akan menyebabkan
karyawan merasa dianggap sebagai ‘orang penting’ di perusahaan, dihargai dan
direspek. Dari sinilah karyawan mempunyai energi untuk “memberi”, menservis,
berkreasi dan berinovasi. Sebagai timbal balik dari nilai tambah yang diberikan
karyawan, perusahaan pun bisa lebih banyak memikirkan ‘privasi’ individu,
menepis gosip, meningkatkan keamanan, juga kesehatan jiwa dan fisik karyawan. Upaya
saling memberi ini kemudian akan terasa sebagai lingkaran “malaikat” yang semakin
lama semakin kokoh dan berenergi untuk menyulut ethos kerja ke level yang
semakin tinggi. (Expert : Eileen Rachman Sylvina Savitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar