Setiap generasi
pasti memilki kekhasannya sendiri. Kita tidak bisa menutup mata bahwa perbedaan
ini tak jarang menjadi sumber ketegangan. “Saya tersinggung dengan anak-anak
baru ( PCPM baru masuk), mereka tidak punya rasa hormat pada pegawai senior,
mereka merasa di atas angin karena lulusan PCPM dan menganggap diri paling
pintar. Seharusnya mereka belajar dulu di tempat paling bawah sekitar setahun,
agar mengetahui tata krama bekerja. Mereka perlu mendapat ‘coaching’ superketat
dari atasannya. Jujur saja, saya tidak sanggup melakukannya,: demikian ungkap
seorang Kepala Bidang (yang minta pensiun dini) karena tidak tahan dengan
perilaku anak baru Gen-Y tersebut, yang sebenarnya terkenal kreatif dan
“Tech-Savvy”. Ada manajer (dulu kepala seksi) lain yang mengeluh,” Universitas
sekarang tampaknya tidak membuat para lulusannya menjadi pribadi yang matang.
Seingat saya, saya lebih matang saat berusia 20 tahun deh.”
Kesenjangan
generasi memang sangat biasa terjadi. Gaya komunikasi, pola asuh, dan kemajuan
teknologi sudah jauh berbeda dari tahun ke tahun, kita mengenal generasi yang
baru dengan sebutan macam-macam : Generation Next, Net Generation, atau Echo
Boomers. Generasi ini seperti generasi Beatles alias Flower Generation
pada masanya, banyak diberi komentar negatif oleh generasi sebelumnya.
Ada yang
menyebutkan generasi sekarang lebih tidak bertanggungjawab, tidak bisa “ditembus”
dalam komunikasi dan tidak “komit” dalam menghadapi pekerjaan. Tetapi Benarkah
itu” Bukankah di sisi lain kita melihat pada era sekarang, teman-teman yang
masih berusia di bawah 30 tahun bisa masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di
dunia? Banyak dari mereka juga terbukti lebih mandiri dalam bekerja dan
menghasilkan karya-karya kreatif (lihat penemu Face book). Kita juga tidak bisa
menutup mata bahwa para “Gen -Y” ini sejak lahir sudah melek teknologi,
sehingga mereka lebih mendominasi penyebaran informasi dengan media baru. Kita
generasi -X pasti menyadari bahwa dalam kurun waktu tidak lebih dari satu
dekade, mau tidak mau, kepemimpinan di lembaga ini akan beralih pada generasi-Y
ini.
Masihkah kita
menghindar dari kebutuhan untuk lebih memahami dan bekerja sama dengan generasi
muda ini? Apalagi kita semakin menyadari bahwa saluran komunikasi akan beralih
dari yang konvensional ke saluran komunikasi yang saat ini dikenal oleh
generasi mereka. Tidak ada pilihan lain, kecuali berusaha menjembatani kesenjangan
ini dan mencari cara-cara baru dalam berkomunikasi dan beroganisasi dengan
generasi-Y ini.
Kita mungkin bisa
lebih berempati bila membayangkan betapa generasi sekarang tumbuh ketika
komunikasi dan informasi bisa didapatkan dengan cara yang mudah dan murah. Hal
inilah yang menyebabkan mereka mempunyai sikap dan pandangan berbeda mengenai
kesempatan. Bagi mereka, kesempatan memang sangat tidak terbatas. Bila
sebelumnya kita memiliki hambatan untuk mengglobal, tidak demikian dengan
mereka. Anak muda sekarang biasa menembus jaringan tanpa batas, sehingga tumbuh
menjadi generasi multicultural, interaktif dan kolaboratif dengan caranya
sendiri. Mereka pun lebih mudah antusias terhadap apa saja yang ada di
hadapannya, walauypun mungkin tidak terlalu tahu substansinya. “Ah, kita browse
saja di internet”, itu keyakinan mereka.
Mereka yang
memang sudah tech savvy jadi lebih optimis, lebih “care” terhadap komunitas dan
bahkan biasa menjadi “multitasker” kronis. Dengan ditunjang kemudahan teknologi
dan cara-cara interaksi personal, generasi muda sekarang memang berbeda bagai
bumi dan langit dengan generasi gaptek, penuh struktur dan biroraksi. Pertanyaannya,
sampai kapan kita mau menekankan perbedaan antara bumi dan langit ini? Mengapa
justru kita tidak melihat tantangan untuk memanfaatkan talenta baru, misalnya,
untuk menemukan hal-hal yang dulu tidak terpikirkan oleh kita? Sebaliknya, kita
juga perlu mawas diri tentang cara berkomunikasi kita, karena teman-teman muda
kita ini mempunyai lifestyle digital, sangat tribal, dan terlibat dalam
kelompok sosial kecil maupun besar.
Mari
tembus kesenjangan ini dengan belajar kepada mereka. Dari mana kita belajar
mengenai kecanggihan komunikasi digital? Banyak sekali orang tua yang belajar
memakai laptop dan membuka akun facebook atau twitter karena bantuan anak,
bukan? Hasil survey menyebutkan bahwa 40 persen dari generasi non-Y belajar
mengenal Youtobe, Facebokk dll dari anak-anak Gen-Y”. hal ini merupakan fakta
bahwa jalan yang mudah untuk menembus kesenjangan generasi ini. Jadi, isunya
adalah bukan menunggu mereka “behave” dan menyesuaikan diri dengan kultur lama
yang sudah berlangsung, tetapi justru belajar dari Gen-Y ini tentang
hal-hal yang memang sudah merupakan keharusan untuk dikuasai. Gen-Y yang
terkenal pembosan ini juga menyukai tantangan. Mereka bisa diberi tugas-tugas
riset yang menarik. Kita juga bisa melihat betapa mereka pun menguasai
cara-cara marketing elektronik yang tidak dikenal, yang langsung bisa kita
manfaatkan untuk inovasi. Kitalah yang mempersiapkan organisasi untuk
merangkul generasi selanjutnya. Kalau kita selama ini mengecap mereka tidak
siap, pertanyaannya : mungkinkah kita yang tidak mempersiapkan diri menyambut
mereka?. (tanggapan atas artikel Kenalkan Saya Pegawai BI, Gen Y pada
majalah Fokus BI edisi 15 – Mei Juni 2013).(Mardiana Kamarullah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar