Persepsi di mana manajemen karir, baik
penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan
masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang
birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam
bisnis, dengan berkembangnya praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya
eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada
hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau
piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk makan jeruk”, atasan bisa jadi bawahan.
Employe sekarang, kebanyakan sudah matang dan berbasis
pengetahuan serta kompetensi yang kuat, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu
loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi,
kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang mumpuni. Kompetensi
individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau
generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada
individu yang kuat dalam penyelesaian program jangka pendek, ada pula yang
mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi
pemain di organisasi kecil, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur
organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab
orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam
tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran.
Dalam hal persaingan
karir disebuah lembaga, pengembangan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak
bisa dipisahkan bagai dua sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada
paradigma yang yang tidak komplit. Sementara proses pembelajarannya sering
tertinggal dan tidak didalami. Pembelajaran akan didapatkan dari apa yang kita
lakukan, pengalaman merasa kurang atau tertinggal dari yang lain adalah titik
awal pembelajaran dimulai. Dalam
usaha yang menggunakan sistem bagi hasil, sentuhan hati dan intergritas sangat
diprioritaskan. Terciptanya kondisi untuk mendorong tumbuh kembangnya jiwa dan
tanggung jawab sosial sangat diutamakan mengingat secara
prinsip usaha yang dilakukan mengedepankan rasa keadilan, keterbukaan,
kemitraan dan universalitas.
Kita pasti bisa
mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak
berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada outputnya. Kita sering
tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita
tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau tidak. Belum lagi, kesempatan mengikuti
pendidikan mutu ketrampilan sering tidak kita manfaatkan betul sebagai
”pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura
tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses
pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling
mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau
sekalian saja lembaganya.
Saat ini banyak
organisasi kaget dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya
mengajar tetapi tidak berfokus pada pengembangan dan pembelajaran. Kita pun,
dinegara tercinta ini juga tersentak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita
hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor
guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya
pembelajaran tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, oleh
karena itu untuk menentukan seorang pegawai yang kompetitif dan naik karirnya
sebaiknya tidak hanya bekal sekolah formal semata yang menjadi pertimbangan
melainkan pengalamannya. Kita bisa menilai orang tersebut dari kompetensi dan
daya juangnya serta nilai-nilai produktif dan positif, serta mempunyai “awareness”
yang baik terhadap kemanusiaan, lingkungan dan moral yang pada akhirnya membawa
percepatan pengembangan organisasi.
Untuk menjadikan
sebuah organisasi pembelajar yang bersungguh, kita perlu meninjau dan membangun
kembali beberapa aspek sikap mental tanpa tergantung pada orang lain ataupun pemimpin
dikantor. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran,
sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita. Pemimpin yang tidak
membuat anak buahnya menjadi maju dan berkembang adalah pemimpin yang subhat, oleh karena itu maka dalam
organisasi, pembelajaran oleh diri sendiri dan arahan pengembangan oleh
pimpinan suatu yang tak boleh terpisahkan.
Dalam budaya masyarakat
kita, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling
menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat
pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari
mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa,
penyelesaian pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat
bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem
pengembangan dan pembelajaran, di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan
disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus,
sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini
juga.
Kita tidak boleh terlena dengan
kompetensi yang kita miliki, kita harus siap menjawab tantangan karir dan
menyikapi ketidakjelasan lapangan kerja di pasaran. Kunci kemajuan adalah kita
tidak boleh lengah dalam meng-”update” teknologi, Kita pun tidak bisa hanya
memikirkan “moving up” saja, tetapi
perlu melihat ke “dalam” yaitu perluas cakrawala ilmu. Hamparan kesempatan bidang syariah sangat luas
sehingga kita juga harus menimba
pengetahuan guna menekuni bidang yang menunggu untuk didalami karena sistem ini
lebih modern, praktis, fleksibel namun tetap barokah dan berahlak mulia.
Pengetahuan
sudah bukan milik elite tertentu lagi, kembangkan bawahan dan arahkan menjadi kader
yang mapan sehingga karirnya terus berjalan. Dijaman sekarang pemimpin walaupun posisinya superior, ternyata tidak
menyediakan alternatif karir tetapi individu yang ingin maju selalu mempunyai
alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan
tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM lembaga.
So jika ingin maju, karir kita
tergantung dari usaha kita sendiri dan usaha wajib hukumnya.(Expert : Eileen
Rachman & Sylvina Savitri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar