Nasi sudah menjadi bubur, bahkan tak enak lagi buat dimakan. Indonesia
yang katanya Negara hukum tapi semua penegak hukum yang ada diberbagai
institusi hukum telah menginjak-injak hukum itu sendiri dengan segala
karakternya.
Ada yang melakukan korupsi dengan berpura-pura tak mengerdi masalah
pengadaan barang dan jasa, ada yang pura-pura tak tahu prosedur penggunaan dan
pengeluaran anggaran, sehingga dirinya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Kita sangat prihatin dengan kenyataan ini, bahwa tertib hukum
dijungkirbalikan oleh orang-orang yang punya kuasa hukum. Apalagi dengan
tertangkap tangannya Akil Mochtar menerima suap terkait perkara yang sedang ditanganinya.
Hukum sudah tumpul keatas tapi sangat tajam kebawah, orang-orang kecil
yang jika bersalah mendapatkan hukuman yang tak setimpal. Sedangkan orang-orang
atas yang melakukan korupsi dihukum ringan bahkan dibebaskan dari vonis. Krisis
moral penegak hukum disegala bidang telah membuat aku pesimis terhadap
terwujudnya hukum yang akan ditegakkan seadil-adilnya. Apakah tidak hancur
negara ini kalau hukum bisa akrobat seperti itu? Akrobat hukum belakangan ini
memang semakin marak sejalan dengan demokratisasi. Kekuatan politik dan
penggalangan opini yang persnya memang bebas, sering kali dijadikan pijakan
untuk melakukan akrobat hukum.
Belum hilang dari ingatan-ku ketika beberapa waktu yang lalu beberapa
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah (Tipikorda) membebaskan banyak
terdakwa korupsi secara ganjil, yakni mengabaikan fakta yang diajukan oleh
jaksa penuntut umum atas nama keyakinan hakim. Bolehkah hakim membebaskan
terdakwa? Tentu boleh. Tidak ada dalil
secuil pun yang mewajibkan hakim harus menghukum terdakwa korupsi. Hakim boleh
membebaskan atau menghukum terdakwa sesuai dengan bukti-bukti atau fakta di
persidangan dan keyakinan hakim. Tapi kalau sebuah vonis mengabaikan fakta
secara ganjil atau mencurigakan tentu perlu dipertanyakan.
Para pihak dalam perkara sendiri ataupun melalui perantara melakukan
pendekatan kepada pimpinan pengadilan, pimpinan kejaksaan maupun pimpinan
kepolisian untuk mengintervensi proses penegakan hukum yang berjalan pada
lembaga masing-masing dalam proses penanganan perkara. Bahkan intinya sudah ada
pengarahan kasus di tingkat kepolisian. Kasus diarahkan dalam menentukan pihak
yang dijadikan target dalam perkara pidana. Petugas kepolisian membalik logika
proses hukum, yang seharusnya berawal dari tindak pidana, tetapi dalam hal ini
dimulai dari orang yang ditargetkan kemudian dicari-cari tindak pidana apa yang
dapat dikenakan. Karena mendapat “pesanan” maka petugas kepolisian mencari-cari
kesalahan orang tersebut. Kemudian ketika ditemukan kesalahan meskipun
kesalahan ringan, ujung-ujungnya kesalahan tersebut dibuat sedemikian rupa agar
dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. Pada waktu sidang pengadilan dibuat
juga dilakukan rekayasa proses pembuktian, misalnya mengakui bukti-bukti
fiktif, dan mengabaikan bukti-bukti kuat dengan menggunakan alasan-alasan
formil.
Itulah sebabnya, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan rasa keadilan, aku
bersyukur ketika MA menerobos ketentuan hukum yang menyatakan bahwa terhadap
putusan bebas tidak bisa dilakukan upaya hukum banding atau kasasi. Sebab kalau
dijatuhi hukuman, meskipun ringan, jaksa masih bisa melakukan perlawanan hukum
banding atau kasasi. Sangat mungkin pula hakim-hakim itu berkolusi dengan
terdakwa. Apakah dugaan kemungkinan seperti itu betul? Ya, sekurang-kurangnya
ada dua fakta yang membenarkan dugaan itu. Pertama, setelah diperiksa oleh MA ternyata
terdakwa korupsi itu benar-benar koruptor dan dihukum oleh MA. Kedua, setelah
diselidiki ternyata banyak hakim Tipikorda yang kemudian tertangkap dan
digelandang ke pengadilan oleh KPK karena ketahuan menerima suap. Bagaimana ini Bro….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar