Pekerjaan
sehari-hari Aris Sucipto ”hanyalah” pelukis potret di trotoar Jalan Pintu Besar
Selatan, Glodok, Jakarta Barat. Dari pekerjaan yang dilakoni sejak tahun 1989
itu, ketika ia tidak mendapat pekerjaan pada masa awal perantauannya ke Ibu
Kota. Aris belakangan dikenal sebagai salah satu penggagas komunitas pelukis
jalanan. Mereka juga yang berperan untuk menghidupkan kawasan Kota Tua Jakarta.
Aris merangkul rekan-rekannya sesama pelukis potret di kawasan Kota Tua untuk juga menghasilkan karya-karya lukis yang mumpuni. Dengan demikian, karya mereka bisa diikutsertakan dalam berbagai pameran.
Aris merangkul rekan-rekannya sesama pelukis potret di kawasan Kota Tua untuk juga menghasilkan karya-karya lukis yang mumpuni. Dengan demikian, karya mereka bisa diikutsertakan dalam berbagai pameran.
Bagi Aris, pelukis jalanan tidak bisa diremehkan begitu saja. Namun, semua itu
harus bisa dibuktikan dengan karya yang lahir dari hati nurani sang pelukis
sehingga diakui oleh penikmat lukisan. Sejak tahun 2000 dia mendorong adanya
komunitas pelukis jalanan di Kota Tua Jakarta. Komunitas itu dinamakan TrotoArt
dan diharapkan bisa menjadi paguyuban di antara para pelukis jalanan. Adanya
TrotoArt membuat mereka bisa saling mendukung dalam mengembangkan kreativitas
dan kualitas karya.
Para pelukis potret jalanan itu muncul dari beragam kisah. Namun, mereka
umumnya menjadi pelukis jalanan karena terdesak kondisi ekonomi yang sulit. Komunitas
pelukis jalanan yang mulai aktif ikut serta dalam kegiatan di Museum Bank
Mandiri juga digagas Aris dan dinamakan Lintang Kota. Paguyuban seperti ini
diharapkan bisa menjadi wadah bagi seniman jalanan untuk berkarya dan terlibat
dalam menghidupkan Kota Tua. Aris punya obsesi untuk bisa secara sendiri atau
bersama pelukis jalanan lain berpameran di gedung tua di kawasan Kota Tua itu.
Dalam bayangannya, pameran itu akan dibuka oleh tukang ojek ontel atau wong
cilik lainnya.
”Mereka mungkin tidak paham seni, tetapi lebih jujur. Para pejabat yang membuka pameran sering mengangguk- angguk, padahal sebagian dari mereka enggak mengerti seni,” katanya.
”Mereka mungkin tidak paham seni, tetapi lebih jujur. Para pejabat yang membuka pameran sering mengangguk- angguk, padahal sebagian dari mereka enggak mengerti seni,” katanya.
Lalu,
tambah Aris, ”Saya ingin para pelukis jalanan di Kota Tua ini bisa diberi
sebuah tempat yang resmi supaya mereka bisa menata karya-karyanya dengan baik.”
Namun, di sisi lain ia sadar, untuk mewujudkan keinginannya itu salah satu cara yang harus ditempuh adalah melobi pihak-pihak terkait. ”Saya susah melobi. Itu bukan pekerjaan mudah bagi seniman. Kami menunggu tawaran pemerintah saja, untuk menyediakan wadah yang resmi di sekitar Kota Tua, entah itu di Fatahillah atau Kali Besar,” ujarnya. Tanpa batas sejak lama Aris berkeinginan supaya wong cilik juga bisa menikmati lukisan. ”Saya sendiri dari dulu suka minder kalau mau melihat pameran lukisan. Kadang melihat tatapan satpam saja sudah membuat saya takut dan tak berani masuk ruang pamer.” Oleh karena itulah, dia ingin menciptakan lukisan yang bisa dilihat siapa pun, tanpa dibatasi oleh strata sosial-ekonomi.
Namun, di sisi lain ia sadar, untuk mewujudkan keinginannya itu salah satu cara yang harus ditempuh adalah melobi pihak-pihak terkait. ”Saya susah melobi. Itu bukan pekerjaan mudah bagi seniman. Kami menunggu tawaran pemerintah saja, untuk menyediakan wadah yang resmi di sekitar Kota Tua, entah itu di Fatahillah atau Kali Besar,” ujarnya. Tanpa batas sejak lama Aris berkeinginan supaya wong cilik juga bisa menikmati lukisan. ”Saya sendiri dari dulu suka minder kalau mau melihat pameran lukisan. Kadang melihat tatapan satpam saja sudah membuat saya takut dan tak berani masuk ruang pamer.” Oleh karena itulah, dia ingin menciptakan lukisan yang bisa dilihat siapa pun, tanpa dibatasi oleh strata sosial-ekonomi.
”Biarkan
setiap orang, siapa pun, bisa menikmati lukisan itu,” kata Aris yang sejak
kecil hingga remaja menjadi penjual es keliling. Tentang penghargaan untuk
seniman jalanan, lulusan sekolah dasar ini mengatakan, untuk itu masih
dibutuhkan perjuangan. Ia bercerita, pada suatu rapat tentang seniman jalanan
di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, tahun 1990-an, Aris melontarkan
keprihatinannya terhadap para pelukis jalanan yang mangkal di pinggiran kali di
Pasar Baru. ”Saya tidak bilang kalau punya andil, tetapi saat itu saya ikut
meminta supaya ada tempat yang layak buat seniman jalanan di Pasar Baru.
Belakangan ini, di kawasan itu sudah ada tempat resmi untuk pelukis jalanan,”
ceritanya.
Keinginannya untuk berpameran terwujud saat ada kesempatan menggelar pameran
bagi seniman jalanan Kota Tua yang saat itu tergabung dalam paguyuban Kelompok
Pintu Besar Selatan. Ajakan berpameran lukisan potret pertama datang dari
Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota pada 1996. Kesempatan tersebut
mampu membangkitkan optimisme komunitas pelukis jalanan. Tawaran pameran lalu berdatangan
dari hotel dan mal di Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah, dan Taman Ismail
Marzuki. Pameran mereka ada yang disponsori pihak lain, tetapi sering pula para
seniman ini saweran untuk menyewa stan pameran. Dengan merogoh kocek sendiri
juga, ia mengadakan reuni para pelukis jalanan yang pernah mangkal di trotoar
Jalan Pintu Besar Selatan. Sebanyak 60 seniman jalanan pun meramaikan acara
yang digelar untuk membangun tali silaturahim kembali di antara mereka.
”Saya ingin para seniman jalanan itu bisa saling memberi semangat. Mereka yang merasa belum sukses tidak patah semangat, sedangkan mereka yang sudah berhasil tetap mau bergabung. Ini supaya para pelukis jalanan itu bisa saling melengkapi kelemahan dan kelebihan masing-masing. Dari sini diharapkan bakal lahir seniman yang berkualitas,” ujar Aris yang sebelum merantau ke Jakarta mendalami seni ukir.
Dia tidak ingin pelukis potret jalanan terjebak sebagai seniman yang berkarya
saat ada pesanan saja. Pria asal Kudus, Jawa Tengah, ini menggugah rekan-rekannya
untuk sadar berkesenian. Sebab, dengan mendalami seni akan mengasah hati nurani
dan mampu memotret keadaan di sekeliling atau peristiwa yang mereka lihat.
Bekal itu akan membuat mereka bisa menuangkannya dalam bentuk karya seni yang
punya ”kedalaman”. ”Respons terhadap apa yang ada dalam pikiran saya amat
beragam. Ada orang yang sinis, ada pula yang mendukung. Itu lumrah saja. Kalau
enggak seperti itu, enggak ada warna- warna yang menarik dari sebuah karya,”
ujarnya enteng.
Ketika
Aris terlihat tidak sanggup mengikuti pendidikan lebih tinggi usai
menyelesaikan SD, sang ayah mengirimkan dia untuk belajar seni ukir di Jepara,
Jateng. Setelah itu, dia sempat bekerja selama beberapa waktu di perusahaan
furnitur sebagai tukang ukir. Beberapa tahun kemudian, Aris memutuskan untuk
merantau ke Jakarta. Dia ingin memperdalam keahlian ukirnya dengan mendatangi
sanggar-sanggar ukir di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Namun, saat itu dia harus
puas hanya diberi tugas sebagai tukang ampelas. Tidak puas, Aris lalu mencoba
mencari pekerjaan lain. Ketika dia melintas di daerah Melawai, Jakarta Selatan,
Aris melihat seorang pria lumpuh yang melukis potret di trotoar. Peristiwa itu
menginspirasinya untuk juga menjadi pelukis potret. Dari pengembaraannya, ia
mendapati di kawasan Kota Tua hanya ada dua pelukis jalanan. Aris lalu
bergabung dan mengembangkan komunitas pelukis potret jalanan di Kota Tua. ”Keinginan
saya hanyalah agar seniman jalanan ini diberi tempat yang layak untuk menggelar
karya mereka,” katanya lagi mengulang dan menegaskan. (dari Blog Jong Reggae
Bumi Ayu - IWAN SANTOSA/ BRIGITA MARIA LUKITA-harian KOMPAS tgl 23 januari 2009
dalam rubrik SOSOK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar