Banyak
orang setuju bahwa motivasi itu bagai misteri. Kita pun sering tidak mengenal
penuh motivasi dalam diri kita. Apa yang membuat saya bersemangat? Apa yang
membuat saya melompat dari tidur saya di pagi hari. Apa yang membuat saya ceria
mengerjakan sesuatu walaupun badan lelah. Beberapa teori utama yang membahas
kebutuhan manusia juga seringkali bisa tidak relevan dengan motivasi orang
bekerja di masa sekarang. Betulkah untuk merangsang para salesman diperlukan
‘upah komisi’ tok? Apakah seorang salesman tidak punya keinginan berprestasi
sendiri, menghargai dirinya serta mencintai pekerjaannya?
Betulkah
aktualisasi diri tergolong kebutuhan yang terakhir hirarkinya dan baru muncul
sesudah kebutuhan lain terpenuhi? Apakah tidak ada diantara kita, orang yang
sangat bersemangat melakukan sesuatu atau menjual produk tanpa terlalu
hitung-hitungan mengenai berapa imbalan yang ia dapat? Bukankah kita melihat
bahwa banyak sekali orang, demi ‘passion’-nya juga tidak menunggu
“sandang-pangan-papan”-nya cukup, untuk menghasilkan karya-karya yang hebat?
Bukankah para anggota pasukan khusus tentara juga tidak menunggu jaminan
kesejahteraan sebelum berjuang dengan motivasi ‘all out’ membela negara? Sebaliknya, kita juga banyak melihat
gejala di mana individu yang mendapatkan gaji yang relatif ‘cukup’ malah tidak
tergerak mengejar target. Dengan kata lain, berhenti di kepuasan fisik
dan rasa aman saja.
Memang
ada orang dan tim yang tidak mementingkan untuk menghidupkan motivasinya secara
optimal, bahkan mungkin tidak merasa bahwa motivasi itu penting. Namun, dalam
tuntutan situasi seperti sekarang, sulit dibayangkan bila individu, tim dan
perusahaan, hanya mengandalkan kekuatan pikir dan fisik saja. Kreativitas dan value
adding mustahil berkembang jika tidak didukung motivasi individu dalam
kelompok atau organisasi. Bahkan, nilai motivasi bisa jadi lebih besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan, daripada nilai kompetensi lainnya. Mungkin
ini sebabnya instansi pemerintah pun mulai memperhitungkan motivasi pegawai negeri
dalam pengembangan sumber dayanya.
Tumbuhkan “Sense of
Progress”
Seorang
ahli manajemen membuat penelitian terhadap 12000 karyawan, yang terdiri dari
pekerja kasar sampai pada para eksekutif. Ia menemukan ‘sense of progress’
sebagai hal yang paling membuat karyawan ingin maju dan berprestasi ketimbang
faktor lain, seperti suport internal, teknikal serta kolaborasi tim. Mungkin
ini juga alasan bahwa perusahaan perusahaan servis yang mengandalkan antusiasme
karyawannya mengumumkan secara terbuka pencapaian penjualan hariannya, agar
setiap karyawan jelas merasakan ‘milestone’ perusahaan, sedang maju,
jalan di tempat atau mengalami penurunan.
Bagaimana
dengan pekerjaan yang dianggap rutin dan sulit diukur kemajuannya? Seorang
karyawan bisa saja mengatakan “Dari tahun ke tahun, saya menyajikan laporan
keuangan bulanan terus. Pekerjaan saya memang itu-itu saja.” Bayangkan
betapa sulitnya menjaga motivasi teman kita ini. Dan bayangkan betapa orang
semacam ini cepat berkarat dan tua sebelum waktunya. Untuk pekerjaan-pekerjaan
rutin jalan terbaiknya adalah memberi perasaan pada teman-teman kita ini bahwa
kesempatan belajar selalu ada. Pertanyaan atau bahkan berbagai tantangan bisa
kita berikan seputar pekerjaannya, sehingga setiap individu merasakan ‘progress’
belajar dalam dirinya.
Genggam “Passion”
Tidak
jarang kita temui orang yang sangat pe-de, tapi tidak terlihat antusias.
Professional yang berbakat dan trampil sekalipun bisa saja tidak bersemangat.
Teman saya seorang pemain bola basket yang berbakat, terpaksa harus
menghentikan karirnya sebagai pemain nasional, setelah menemukan bahwa kedua
belah kakinya tidak sama panjang. Teman kita yang seharusnya jatuh mentalnya
ini, ternyata tidak jadi kehilangan semangat, bahkan akhirnya merintis karirnya
menjadi pelatih. “Saya tidak pernah lepas menggenggam ‘basket’. Mengapa harus
berhenti?” kata teman kita ini.
Kita
tahu bahwa hambatan dan kendala pasti dihadapi setiap orang dan terkadang bisa
menjatuhkan mental. Namun, sepanjang individu punya kecintaan dan minat yang
kuat terhadap substansi tertentu, ia senantiasa bisa menemukan jalan untuk
membakar antusiasmenya terus-menerus dan tidak berhenti berkarya. Teman kita
ini juga menambahkan, “Fokus pada diri sendiri tidak boleh terlalu berlebihan,
karena situasi seperti ini membuat kita tidak bisa memperhatikan dan bekerja
untuk orang lain di sekitar kita.“ Ya, mana mungkin kita mengeluarkan
prestasi terbaik, jika tujuan kita semata untuk kepentingan pribadi? Dengan
memperluas minat dan kepedulian pada keadaan di sekitar kita dan kebutuhan
orang lain, sumber energi kita tentu akan terus terisi, bahkan bertambah besar.
Motivasi itu Dinamis
Orang
yang malas sering kita sebut sebagai orang yang tidak punya motivasi. Dengan
pandangan ekstrem seperti ini, kita seakan punya beban berat jika diberi tugas
untuk ‘menanamkan’ motivasi dalam diri seseorang atau sebuah tim. Sebaliknya,
kalau kita membayangkan bahwa motivasi itu bagaikan sebuah sumber energi dalam
tubuh kita, kita bisa melihat bahwa motivasi akan selalu ada dalam diri tiap
orang. Ada
orang yang sumber energinya kuat, ada yang sumber energinya lemah. Ada orang yang mampu
konsisten menjaga sumber energinya tinggi, namun ada juga yang grafik
“energi”-nya naik-turun.
Hal
yang ‘magic’ adalah bahwa bahwa energi yang kuat dari seseorang, bisa
menular pada orang lain. Kita tahu bahwa hawa bersemangat dari seorang pemimpin
bagaikan virus yang bisa segera menyebar, membuat orang lain merasa ringan
dalam bekerja, bahkan membuat tim jadi kuat mendobrak dan mendorong hasrat
pemecahan masalah kreatif. Jadi, sebetulnya tidak sulit juga membawa organisasi
pada suasana motivasional. Dengan meng-enjoy pekerjaan kita, melihat
kekuatan tim dan berpikir positif, mengajak teman-teman untuk selalu berpikir
maju, pastinya hawa tim akan berubah dan bisa segera mengangkat energi dari
orang-orang lain disekitar kita juga. Motivasi itu dinamis, mengalir dan
bergerak. Tantangan pun tidak usah dicari-cari lagi jika kita terbiasa
berkomunikasi efektif, sehingga kritik dan evaluasi bisa terus masuk. Sebagaimana
sering kita baca: “Motivation requires a delicate balance of communication,
structure, and incentives “. (Eileen
Rachman & Sylvina Syavitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar