Dalam dunia bisnis maupun spionase
internasional, kerap kita saksikan kejadian “whistle-blowing” alias
‘tukang mengadu’, yang mengakibatkan beberapa CEO dan pejabat terkemuka,
tercoreng mukanya, dipecat, atau bahkan masuk penjara. Bagaimana reaksi dunia
terhadap si pelapor? Apakah orang-orang di lingkungan kerja bersimpati dan
menganggapnya pahlawan? Kenyataannya tidak demikian. Tidak semua orang bisa
merespek seorang pelapor dan menyatakan salut, walaupun nyata-nyata yang dilaporkan
adalah kenyataan yang perlu dikuakkan demi kebenaran. Di dalam hati
kecil akan ada saja orang yang berpikir, “Wah, orang ini makan teman”.
Inilah nasib yang
banyak dialami perusahaan sebagai suatu institusi. Kita sama-sama tahu
dan mengerti bahwa data dan fakta adalah milik perusahaan atau lembaga. Kita
pun tahu bahwa saat sekarang “knowledge” dan informasi sudah disadari
sebagai aset berharga. Namun tetap saja, berita-berita “underground”,
gosip, ketidakpuasan karyawan, apalagi masukan, tidak gampang didapatkan
manajemen pada “timing” yang tepat. Padahal, baik pihak manajemen
maupun karyawan sangat-sangat mengerti bahwa informasi, kritik bahkan “brutal
facts”, adalah hal yang memang harus dan wajib dikontribusikan ke perusahaan.
Ada komentar begini,”Kalau
aku jujur sama pak Andi, CEO kita, bahwa produk kita jelek, wah, bisa dipecat
aku”. Ini adalah resiko yang dipersepsi oleh karyawan, sehingga individu
memilih diam seribu bahasa daripada menghadapi risiko dipecat atau tidak
disukai. Apakah salah bila ada tindakan cari selamat dengan bersemboyan “silence
is golden”? Di lembaga-lembaga yang sudah kokoh dan berbirokrasi
kuat, tindakan cari aman ini sudah demikian membudaya sehingga komunikasi ke
atas, bisa dikatakan sangat langka, apalagi bila menyangkut masukan ke atasan,
teman sekerja, bagian lain atau ke perusahaan.
Rasa Memiliki Perlu Ditinjau Ulang
Apa yang akan kita
lakukan bila baju kesayangan kita terkena noda kecap ketika sedang makan siang?
Kita pasti akan panik dan berusaha keras menghapusnya. Bagaimana bila kita
melihat baju orang lain yang tidak terlalu kita kenal yang terkena noda kecap?
Kita mungkin akan membantu tetapi tentunya tidak sepanik bila baju kesayangan
kita yang terkena. Dalam dunia kerja, tidak sedikit karyawan yang ‘berjarak’
dengan perusahaan, tidak melihat dirinya bagian dari baik – buruk, susah –
senang, dan untung – ruginya perusahaan. Karenanya, ia merasa bahwa bekerja
baik saja sudah cukup. Saat rasa memiliki tidak hadir dalam diri karyawan, maka
kepedulian dan inisiatif untuk buka mulut dan berantisipasi dianggapnya sebagai
“bonus” bagi perusahaan yang akan disampaikan hanya bila situasi benar-benar
‘aman’.
Seorang “biang
gosip” di sebuah perusahaan mengatakan,”Kalau tidak sayang pada perusahaan,
saya sudah keluar dari kantor ini. Pimpinannya tidak berwibawa, banyak
ketidakadilan, peraturan tidak jelas...”. Ketika digali lebih lanjut, mengapa
ia tidak berjuang demi perbaikan perusahaan dan tidak hanya mengeluh saja, ia
dengan mudah mengatakan, “Ah, kita kan tidak ada otoritas untuk melakukannya.
Petinggi-petinggi itulah yang punya tanggung jawab untuk memperbaiki
perusahaan. Kita-kita ini kan cuman bawahan”. Benarkah pernyataan itu? Atau ini
hanya kenyataan yang harus dihadapi perusahaan bahwa kepedulian karyawan terkadang
hanya sebatas komentar, bukan masukan, niat dan energi, apalagi pengorbanan
untuk memperbaiki perusahaan.
Buat Situasi
Kondusif untuk Bicara
Serorang pimpinan
perusahaan membuat peraturan bahwa bila ada orang berbuat salah, maka teman
yang tahu dan atasannya pun akan segera dipecat. Maka, ketika ada seorang
karyawan yang tertangkap basah bermain game di waktu kerja, rekan yang duduk
disebelahnya kemudian dipecat juga. Alasannya, teman si pemain game itu
semestinya melaporkan perbuatan yang merugikan ini ke perusahaan. Ini namanya
pelanggaran. Hal yang perlu dicermati adalah, apakah hukuman seperti ini bisa
membuat karyawan lain langsung bergerak untuk bicara dan melapor bila ada
kejadian serupa?
Kita mungkin
pernah memaksa seorang anak kecil untuk mengatakan sesuatu dan tidak berhasil.
Situasi seperti inilah dihadapi perusahaan yang menginginkan masukan
tetapi tidak berupaya untuk membuat suasana yang memungkinkan orang merasa aman
ketika memberi masukan. Suasana kondusif ini hanya dimungkinkan bila ada
komitmen yang jelas dari manajemen puncak bahwa perusahaan membutuhkan masukan
dan akan menggarapnya dengan cara yang positif.
Di sebuah
pertemuan saya berpapasan dengan seorang supervisor pabrik yang memakai pin di
dadanya:”Bad news = good news”. Ketika saya tanyakan spirit dibalik pin
tersebut, ia menceriterakan bahwa “bad news” pertama yang disampaikan karyawan
ke manajemen akan mendapat hadiah. Dengan demikian budaya “lapor” dan akhirnya
“peduli” akan terbentuk. Para manajer perlu berlatih untuk me-”welcome”
masukan. Seperti kita sama-sama tahu, teknik mendengar dan menerima kritik
sudah kita kenal teorinya, sudah banyak pelatihannya, tetapi keberhasilan,
pengembangan sikap dan keluarannya sungguh perlu di buktikan. Sistem komunikasi
ke atas seperti kotak pos, alamat email khusus keluhan juga bisa
diupayakan, namun mesti dijaga konsistensi respons dari manajemennya.(Eileen Rachman & Sylvina Syavitri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar