Kebebasan
pers yang kita nikmati sekarang, belakangan tak jarang membuat kita
terkaget-kaget. Selain terkuaknya berbagai isu dan kontroversi, kita juga
disajikan pada ‘reality show’ yang
amat menarik, yaitu bagaimana seseorang berespon dan menampilkan citra dirinya.
Ada yang bersujud ketika memperoleh jabatan menteri. Ada nenek lugu yang
terpana karena tiba-tiba masuk tivi, saat didakwa mencuri 3 biji kopi. Ada yang
langsung menghindar saat dihampiri wartawan atau bersikap “Ja-Im” alias “Jaga Image”
saat di depan kamera. Ada juga yang begitu berang saat dipersalahkan, terlepas
dari apakah kesalahan tersebut dibuatnya secara sengaja ataupun tidak, sesuai
prosedur atau melanggar prosedur, fitnah atau sentimen. Bila kita di masa lalu
tidak punya banyak kesempatan untuk menelaah dinamika kepribadian seseorang,
saat sekarang kita bisa takjub melihat kompleksitasnya.
Transparansi
di media, membuat kita jadi mendapat sajian baru yang mengasyikkan, di samping
infotainment dan sinetron. Dengan alasan mempertahankan prinsip, kita kerap
bisa menyimak sikap ‘keukeuh’ individu. Banyak orang membela diri, bersitegang,
bahkan bersumpah, sampai-sampai menjadi kabur batasan antara individualitas,
profesionalitas dan tugasnya.Ya, sejak jaman dahulu pun para pahlawan kita siap
dipenjara, diasingkan dan disiksa untuk memperjuangkan prinsipnya. Lalu, apa
bedanya kekerashatian pahlawan-pahlawan kita dengan individu yang belakangan
ini kita lihat ngotot mempertahankan tindakannya? Bagaimana kita mustinya
bersikap di jaman yang segala sesuatunya serba terbuka seperti ini?
Gaya Hidup “Terbuka”
Dunia kita sekarang memang jauh kompleks
dibandingkan masa yang lalu. Teknologi yang makin canggih telah membantu orang
menjadi lebih efisien dan cerdas, juga lebih terbuka. Misalnya saja, kita
dengan mudah bisa diteropong dan meneropong pendapat, pemikiran, emosi,
kedalaman etika bahkan tatakrama kita lewat status di facebook, YM, juga forum
diskusi di berbagai situs. Keterbukaan ini tentu saja menuntut kita untuk punya
mentalitas yang sesuai dalam menghadapinya. Transparansi penyiaran, perolehan
informasi, sampai-sampai pada penyadapan, menyebabkan setiap orang harus
senantiasa menyusun strategi untuk lebih siap. “See
clearly, think clearly, act clearly”.
Di jaman transparan seperti ini,
profesionalitas kitalah yang bisa menjadi modal sekaligus tameng. Birokrasi,
jabatan dan otoritas tidak mempan lagi dipakai untuk ‘bersembunyi’. Kita perlu
sangat jelas akan peran dan tugas yang kita emban, menyadari tanggung jawab dan
juga memahami dampak dari setiap perkataan dan tindakan kita. Kejelasan inilah
yang perlu diprogramkan oleh individu yang sedang ‘in charge’ mengemban
tugas-tugas penting, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak, pegawai
bahkan negara.
Profesionalitas bisa kita mantapkan dengan
menciptakan jalur komunikasi ke segala arah, mendorong penyaluran
informasi yang lebih terbuka. Tidak saja kepada pelanggan, tetapi juga
pada semua “stakeholder”. Cara kerja yang lebih transparan akan serta merta
membangun “image” baru, membuat kita lebih mudah diakses, lebih terlihat, dan
akuntabel. Dengan memberi
pesan yang ‘jelas’, kita akan tampil sebagai pribadi dengan ‘image’ yang jelas.
Adanya image ini tentu akan membuat kita lebih mudah mendapatkan insight dan
mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Hanya individu yang bertindak efektif
dan ‘decisive’-lah yang bisa survive di kondisi yang selain
kompetitif juga ‘terbuka’ ini.
You’re Never Alone
Teman saya, secara sukarela akan membuka
dirinya, menceritakan apapun yang ingin diketahui lawan bicaranya, tanpa harus
repot-repot kita gali. Banyak orang berkomentar dan bertanya-tanya, apakah ia tidak takut digunjingkan di belakangnya.
Ia dengan tenang berkata: “Tanpa
saya terangkan, orang akan tahu siapa
saya dan apa saja yang saya alami. Lebih baik saya kemas saja semuanya
dengan benar”. Jadi, teman kita ini sengaja menjadi pribadi yang tampil
terbuka, apa adanya, “nothing to lose”. Ia meyakini bahwa sukses jaman
sekarang sangat tergantung kemampuan kita menterjemahkan situasi, memperjelas
tantangan serta mengukur kompleksitas suatu perkara atau kasus yang melibatkan
dirinya dengan gamblang dan sederhana.
Ternyata, dengan sikapnya yang transparan,
ia jadi memiliki berbagai kelebihan. Bila menghadapi masalah, banyak
konco-konconya ikut memikirkan masalahnya. Selain bantuan jalar keluar,
dukungan moril yang dahsyat pun selalu ia terima, sehingga ia pun jadi kuat
menghadapi apapun kerumitan masalah yang sedang terjadi. Secara otomatis,
transparansi pun menyebabkan kontrol datang dari lingkungan sekitar kita. Apa
yang kita lakukan bisa ‘dijaga’ oleh orang-orang di sekitar kita. Di sinilah
letak ‘smartness’ dari sikap kita. Dengan membangun keterbukaan yang
ditunjang kemampuan komunikasi yang piawai, terbukti kita bisa mengkontrol
situasi dan mengupayakan agar lingkungan lebih menunjang kita.
Langkah pertamanya, tentu saja kita harus
sadar benar akan peran dan nilai apa yang kita pentingkan dalam hidup ini.
Diskusi mengenai sistem nilai, moral, etika, ‘ownership’, toleransi, kebebasan
seharusnya tidak perlu selalu dilakukan dalam waktu spesial, tetapi justru
dilakukan oleh individu dengan dirinya secara kontinu. Apapun pekerjaan kita,
artiskah, dokterkah ataupun pejabat KPK, tanpa kesadaran pada hal-hal yang kita
‘bela’, kita akan sulit berfokus pada hal-hal yang kita tekuni dengan
‘passion’. (Eileen
Rachman & Sylvina Syafitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar