Saya pernah sangat terkejut ketika seorang pimpinan
instansi kesehatan di tempat saya bekerja, dua dekade lalu, mengatakan dalam
sebuah rapat besar agar setiap karyawan memperkenalkan teman, anak, kakak, adik
dan saudaranya untuk direkomendasikan sebagai karyawan. Tanpa segan beliau
berkata, “Beginilah cara kita merekrut staf. Kita rekrut orang yang kita
kenal”. Tentu saja hal ini lumayan berbeda dengan situasi di tempat lain,
di mana banyak orang yang ingin dipandang berintegritas tinggi, memandang sinis
bahkan alergik terhadap ‘koneksi’ persaudaraan dan pertemanan untuk
melancarkan pekerjaan maupun proyek.
Dua dekade yang lalu istilah “koneksi”, “katabelletje”,
dipandang sebagai sesuatu yang negatif, manipulatif alias hubungan ‘di bawah
meja’. Di jaman orangtua saya dulu, sering saya dengar ungkapan sinis
mengenai “2C” yaitu “connectie & centen”, koneksi dan uang.
Tidak mengherankan bila masih ada professional yang tidak percaya bahwa membina
hubungan, baik ke luar maupun di dalam perusahaan sebenarnya bisa berlandaskan
niat yang positif dan bahwa hal ini sangat perlu diupayakan.
Bersiaplah Gagal jika Tak Bina Hubungan dari Sekarang.
Meskipun
kelancaran proyek adalah sasaran setiap professional, kita melihat bahwa banyak
orang yang piawai di bidangnya, tidak mendapat dukungan teman sekerja atau
timnya dalam penyelesaian pekerjaan, hanya karena ketidakmampuan membina
hubungan baik. Komentar yang muncul bisa macam-macam,“Ngomongnya nggak
enak….” Atau “Emangnya pekerjaan dia aja yang penting…”. Tidak
sedikit professional seperti ini akhirnya harus menerima kegagalan, karena pada
saat promosinya, bekerja dengan orang lainlah yang menjadi tuntutan jabatannya.
Inilah tantangan seorang professional dalam membina
hubungan baik di internal perusahaan. Kapan mencuri waktu yang sudah
sempit ini untuk berembug? Kapan bicara soal perbaikan? Bagaimana enaknya
membicarakan upaya korektif, apalagi mencari masukan? Rasa mentok seperti ini
sering malah menimbulkan reaksi yang justru terbalik pada individu. Terkadang
individu bahkan lebih nyaman mengurung diri di kamar kerjanya dan tidak
berhenti membuat planning, skedul dan reskedul sendiri, tanpa mendapat
dukungan penuh pada implementasinya. Kemampuan strategik yang dimiliki individu
bisa tidak mempan semata karena tidak bisanya ia membina hubungan baik. Ia bisa
tumbuh sebagai orang yang dipandang pandai, tetapi tidak piawai
“memegang” proyek yang mengandalkan koordinasi dengan banyak orang
lain.
Hubungan Baik Antarkaryawan adalah Aset Perusahaan
Di samping kenyataan sulit bertemannya seorang individu,
kita kadang menemui individu yang mudah sekali mendapatkan simpati, mudah
meminta dukungan dan bahkan mudah memberi instruksi kepada orang lain. Saya
kebetulan mengenal seorang fresh graduate yang ditugasi mengurusi
kelancaran beberapa proyek sekaligus dan melakukannya dengan berhasil. Ketika
saya tanyai apa yang menyebabkan ia dapat bekerja dengan orang-orang yang lebih
tua dan berpengalaman, ia menjawab:”Simpel saja, bina hubungan baik”. Bisa kita
bayangkan betapa hubungan baik antar karyawan bisa meningkatkan “nilai” asset
perusahaan.
Jalinan jejaring diperusahaan ternyata tidak sekedar
personal tetapi juga operasional dan strategik. Dengan jalinan hubungan
personal, kita bisa mendapatkan dukungan teman kerja dalam berbagai bentuk,
seperti support, umpan balik, informasi dan masukan lain yang sulit kita
dapatkan secara formal. Kita tahu ke mana harus pergi agar proyek mudah
selesai. Jalinan hubungan baik yang sifatnya operasional akan membantu individu
untuk saling terlibat dalam lintas tanggung jawab dan akuntabilitas. Sementara
secara strategik akan memberi informasi yang lebih mendalam mengenai
sumberdaya, kesempatan dan peluang yang tersedia di dalam dan di luar
perusahaan, serta akses kepembuat keputusan organisasi.
Berapa Jumlah Teman Anda?
Teman
saya yang memimpin beberapa perusahaan sering sekali ‘curhat’ dengan
sahabat-sahabatnya di kantor yang otomatis adalah bawahannya. Saya pernah
bertanya “Apakah hal ini sehat dan tidak beresiko?” Dengan tegas ia mengatakan,
“Bila saya tidak mempunyai “kawan”, saya tidak akan sanggup menanggung beban
sebanyak ini. Tentunya ada resiko bahwa “kawan” ini berkhianat dan berbalik
atau bahkan menusuk dari belakang. Untungnya, hal ini tidak pernah terjadi”.
Kenyataannya memang mempunyai banyak sahabat kental di kantor akan memudahkan
kolaborasi, “sharing” pengetahuan dan inovasi. Dalam hal ini, tentunya tetap
mesti juga ada kemampuan untuk membangun “trust” dan memilih orang dengan
cermat.
Memang sangat wajar bila di era komunikasi seperti
sekarang hampir semua orang jadi lebih banyak berkomunikasi daripada 10 tahun
yang lalu. Namun, yang mengherankan adalah bahwa ada penelitian yang
membuktikan bahwa rata-rata, seorang pemakai telpon genggam, hanya menghubungi
4 (empat) orang secara intensif dan rutin, diantara semua jumlah panggilan
telponnya. Karenanya, pertanyaan yang perlu diajukan sekedar refleksi untuk
diri sendiri adalah: “Berapa jumlah “sahabat” yang anda punyai di kantor dan
dalam bisnis?”
Kita lihat bahwa
saat ini, pengembangan ekonomi bukan sekedar “Seberapa banyak uang yang anda
punya”, tetapi bisnis bisa berkembang dengan “Seberapa kontak yang Anda punya”.
Tidak heran bahwa banyak eksekutif kini tak lagi merahasiakan nomor hape-nya.
Alasannya banyak. Antara lain karena kontak langsung dengan “lapangan” bisa
membawa fakta yang bahkan lebih tajam daripada data yang dibeli dari perusahaan
riset, juga merupakan cara paling ampuh untuk tetap “update” dengan
perubahan dan perkembangan di lapangan. Bahkan, tak jarang kontak langsung di
lapangan membawa ide-ide dan solusi baru yang lebih segar yang mendorong sukses
organisasi. (Eileen Rachman & Sylvina Syavitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar