Saya baru
tersadar betapa bangsa kita gemar berolok-olok dan mencerca bangsa sendiri.
Ketika dalam kelas training saya menanyakan apa pendapat peserta tentang acara
kolosal kebangkitan nasional yang saya juluki bertema “Indonesia bisa!”,
sebagian orang mengomentari penyanyi yang gagal, yang lain secara jenaka
memperagakan latihan tenaga dalam yang kurang sukses. Sementara anggota
keluarga saya, secara lengkap, tua-muda, menikmati acara tersebut, terharu-biru
begitu dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh si Putra Papua, Edo
Kondologit, dan merasa termotivasi untuk bangkit dari kesulitan, namun di sisi
lain ternyata banyak orang yang melihat tontonan ini dari sudut pandang yang
sangat “ringan dan lucu”. Kenyataan ini dilanjutkan, ketika dalam salah satu
blog seseorang yang membahas mengenai olok-olok juga, ditanggapi oleh
sahabatnya dengan ungkapan, ”Bukannya Bangsa Indonesia memang biasa
berkomunikasi dengan cara ‘olok-olok’ seperti ini?”.
Ironisnya,
olok-olok ini sesungguhnya bisa jadi membuat kita terjebak pada ‘self-fulfilling
prophecy’, yaitu terdorongnya situasi atau perilaku baru melalui perkataan,
pikiran atau keyakinan kita sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti “kita ini
bangsa yang bodoh”, “Otak orang Indonesia paling segar, karena tidak pernah
dipakai”, “pemberantasan korupsi tidak akan tuntas”, karena tidak diikuti
oleh tindakan, action plan pribadi, kelompok maupun perusahaan secara
jelas, malah bisa membuat kita sendiri frustasi dan mulai memaki diri sendiri,
bahkan melahirkan ‘lingkaran setan’ yang dibuat oleh keyakinan itu sendiri.
Dikarenakan kemalasan dan tidak teganya kita memaki diri sendiri, maka
olok-oloklah yang kita lontarkan pada pihak lain, dalam hal ini perusahaan
sendiri, lembaga pemerintah sendiri, ataupun Negara sendiri.
Olok-olok sebagai Cerminan ‘Esteem’ Rendah
Tertawa
dan bercanda bersama adalah cara manusia untuk mempererat hubungan. Bayangkan
betapa runyam hidup seseorang yang tidak pernah tersenyum dan tertawa.
Tersenyum dimulai dari adanya koneksi yang menunjukkan daya tarik
interpersonal, sementara tertawa dimulai dari kemampuan individu untuk melihat
sisi lucu dari sesuatu yang kasat mata. Hanya pada saat individu berkembanglah,
ia bisa mempunyai perspektif terhadap hal yang tidak kasat mata, lebih
abstrak, dalam, dan melihatnya dari sudut pandang lucu, gembira dan tidak sendu
ataupun serius. Orang yang banyak tertawa memang cenderung lebih “happy”
dan optimistis. Namun, tertawa, baik mengenai diri sendiri atau terhadap suatu
situasi tentunya tidak berlaku bila tawa itu diwarnai dengan sinisme yang
berlebihan ataupun pelecehan ke orang lain, apalagi ke diri sendiri.
Olok olok
yang kita sering dengar, terutama akhir-akhir ini, rasanya sulit digolongkan
pada olok-olok yang sehat, karena ia terasa getir, sinis bahkan tidak
menunjukkan ‘esteem’ atau penghargaan diri. Orang ber-esteem
rendah kita kenal sebagai orang yang mempunyai kebiasaan untuk menilai negatif
diri sendiri, tidak menyukai tantangan, malas bertindak, dan banyak
tampil sebagai pengkritik tajam bahkan melecehkan orang lain. Tentunya kegiatan
ini bukan bercanda lagi, apalagi disebut “sense of humor”.
Bisa jadi
kita berpikir bahwa olok-olok atau sindiran adalah bentuk umpan balik bagi
pihak lain untuk mawas diri dan memperbaiki diri. Namun, olok-olok tentu saja
tidak bisa kita sebut masukan, karena ia tidak tertuju langsung secara ‘man
to man’ pada orang yang kita maksud. Selain olok-olok tidak pernah
menjadikan situasi lebih baik, kita yang mengolok-olok juga jadi manusia kerdil
karena seolah “lempar batu sembunyi tangan”, akibat ketidakmampuan kita untuk
‘pasang badan’ dan mempertanggungjawabkan pendapat dan masukan kita secara
ksatria dan elegan.
Rasa Syukur Menarik Kebaikan dan Kesuksesan
Dalam
buku best seller-nya, ‘The Secret’, Rhonda Byrne, mengungkapkan hal-hal
yang sangat “common sense”, yang sejak dulu dikumandangkan ayah saya,
walaupun bentuknya sedikit berbeda. “Hitung berkatmu”, kata ayah saya,”Maka
kamu akan takjub akan kekayaanmu. Kemudian bersyukurlah”. Menurut Rhonda,
mustahil kita menarik kebaikan, kesejahteraan dan keuntungan, tanpa mensyukuri
apa yang kita miliki. Rasa syukur yang kita pancarkanlah yang akan menarik
enerji bagaikan magnet, sehingga kebaikan dan kemudahan akan mendekat dan
memberikan “power” dalam kehidupan kita. Kita boleh merasa “kurang” karena itu
akan menantang diri kita, membangkitkan motivasi untuk selalu lebih baik dan
sempurna. Namun, ratapan tanpa rasa “bersyukur” yang diwarnai rasa iri dan
kekecewaan yang negatif akan membendung kita dari kreativitas dan patriotisme
untuk membangun diri, keluarga, perusahaan dan bangsa.
Simak
laporan CNN mengenai gempa bumi di Sichuan, 12 Mei yang lalu. “Jutaan orang
kehilangan keluarga, rumah dan harta benda. Namun, tak terdengar ratapan dan
keluhan. Yang tampak adalah orang saling menolong satu sama lain. Dalam
hitungan jam, orang-orang berlomba untuk memberi bantuan. Sepanjang ratusan
meter, orang-orang mengantri untuk mendonorkan darahnya, dan dalam waktu 24
jam, mereka kehabisan tempat untuk menampung darah dari pendonor.” Rupanya, di
negara yang sering kita duga “miskin emosi” ini, tidak banyak orang mengidap
gejala: ”bystander’s apathy”, penonton yang apatis. Tentu,
tak ada salahnya kita mem”benchmark” semangat solidaritas dan “tidak ada
matinya” negeri Cina ini.
Marilah
mulai bangkit dengan membuat daftar sukses, apakah itu keberhasilan memanjat
dinding 12 meter, menyelesaikan laporan tepat waktu, menutup penjualan 10 juta,
berhemat 200 ribu ataupun sekedar keberhasilan untuk datang ke kantor tepat
waktu. Dengan bersyukur, kita memupuk kualitas positif dan kompetensi sebagai
modal kita. Selanjutnya, mari kita hidup sesuai dengan tuntutan yang realistik
dan tidak lupa untuk bertindak...!(Eileen Rachman & Sylvina Syavitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar