Minggu, 27 Desember 2015

Saya Kan Orang kaya.....!

Ketika pertama kali mengenal Tina, sebut saja gadis berpotongan rambut pendek seleher itu begitu, keunikannya adalah yang paling menarik hati. Ia seorang gadis yang sudah melewati usia ketigapuluhnya tahun kemarin. Kalau gadis lain yang sudah melewati umur tersebut akan merasa malu dan mungkin bingung, Tina justru tak canggung mengucap, “I am single but I am happy.”



Terlepas dari sifat Tina yang unik, gadis bermata bayi itu sebenarnya luar biasa pintar. Dia sudah memiliki dua gelar akademis, namun masih tertarik untuk mengenal dunia psikologi dan akhirnya kuliah di kampus yang sama dengan saya. Banyak yang bilang Tina cantik. Saya pun beranggapan sama. Hidungnya mencuat indah di wajahnya yang berkulit terang namun pipinya bersemu merah muda. Tak ada jerawat atau noda-noda hitam, bersih terawat. Rambutnya pendek, dicat warna coklat dengan highlight sedikit warna pirang di poninya. Tapi yang paling menarik adalah lesung pipinya yang ada di sebelah kanan, berlawanan dengan saya yang memiliki lesung di sebelah kiri. Satu kesamaan yang membuat kami sering dianggap seperti dua bersaudari. Tingginya pun setinggi diri saya, hingga tak membuat salah satu dari kami merasa terintimidasi karena perbedaan tinggi badan.

Tak banyak mahasiswi berumur melewati tigapuluhan di kampus, maka kami berdua yang hanya berjarak enam tahun pun segera menjadi dua sahabat. Karena kesendiriannya itu, saya sering menggodanya dan tentu saja menjodoh-jodohkannya dengan teman satu kelas ataupun teman kampus yang rata-rata para calon dokter berbagai spesialis yang memiliki masa depan menjanjikan.

Tapi bukan itu yang paling menarik dalam dirinya. Seperti anggapan saya, keunikan Tina justru terletak pada kebiasaannya yang menurut saya tak biasa.
“Tin, kemarin makan siang saya kan kamu bayarin? Berapa?” tanya saya suatu ketika.
“Ah, segitu aja. Gak usah, Mbak In. Lagian aku lupa,” jawabnya tanpa melepaskan tatapan dari handphone ‘berkulit’ ungu miliknya.
“Eh, kemarin kan saya gak minta ditraktir. Makanan di situ kan mahal. Gak enak, ah. Berapa?” tanyaku lagi sambil mengeluarkan dompet, bersiap menarik lembaran uang yang ada di dalamnya.
Tina tertawa kecil. “Hadeeeh, Mbak In. Aku kan orang kaya, Mbak. Sejak kapan orang kaya inget berapa yang harus dia bayarkan. Sudah ah, Mbak In bantuin aja deh. Aku pengen ngebahas jawaban kuis kemarin.” Lalu gadis itu mengeluarkan folder catatannya, membuka dan mulai membacakan pertanyaan.

Saat itu, saya hanya bisa menghela napas lega. Sejujurnya, kemarin saya sempat melihat tagihan makan siang itu. Harganya lumayan mahal. Tina memaksa untuk membayar memakai uangnya dulu tanpa mempedulikan saya yang sibuk meminta tagihan itu dibagi sesuai yang kami makan dan minum masing-masing. Memang dia juga yang mengajak, tapi bukan berarti saya memintanya membayar apa yang saya santap saat itu.

Di lain hari, saya tak sengaja membawa ponsel Tina di dalam tas. Karena tidak di-charge, ponselnya mati. Saya baru sadar kalau di dalam tas ada ponsel setelah keesokan harinya di ruang kuliah membuka tas dan melihat ponsel titipan itu di dalam tas. Seperti biasa Tina hanya tertawa dan berkata, “sejak kapan orang kaya kayak aku peduli ponsel ada atau tidak, Mbak. Kalau udah waktunya ilang ya ilang aja, tabungan orang kaya kan pasti banyak. Tinggal beli aja kok. Mbak In gak usah ngerasa bersalah gitu deh.”

Kata-kata ‘Aku kan orang kaya’ itu terus digunakan Tina selama kami bersahabat dua tahun terakhir ini. Saat ia tanpa diminta mengisi pulsa ponsel saya setelah meminjem sebentar, saat ia membelikan pertamax full tank untuk motor saya yang dipinjam hanya sekitar 10 menit untuk membeli makan siang kami berdua, saat ia menraktir putri saya yang terpaksa saya titipkan padanya karena dipanggil dosen cukup lama hingga membuatnya terpaksa membatalkan janji penting di kantor, saat kami belajar dan bahkan saat kami mengobrol di bbm.

Tapi itu juga bukan hanya pada saya, ia juga mengucapkannya pada teman-teman yang lain. Entah itu di kampus, di kantor bahkan ketika berada di tempat umum. Ia tak canggung memamerkan dirinya yang orang kaya.
“Lo mau gak ikut bazaar, Tin?” celetuk salah satu teman di depan kami berdua saat membagikan flyer tentang bazaar mahasiswa.
“Iih sejak kapan orang kaya jualan buat nyari uang. Orang kaya itu kerjanya ngebeli barang. Lo aja deh yang jualan. Entar besok aku beli deh,” katanya dengan bibir membentuk senyum puas.
“Bener ya, Tin? Awas kalo gak beli jualanku!” ucap teman kami itu sambil menyodorkan flyer pada saya. Saya menunduk dan membacanya. Rupanya ini bazaar mahasiswa yang rutin diadakan setiap peringatan hari kemerdekaan, yang kemarin sempat diperdebatkan di meeting BEM.
“Emang lo jualan apa besok?” selidik Tina sambil mengipas-ngipas flyer di wajahnya yang mulai berkeringat.
“Baju bayi, beli selusin bonus satu,” jawab teman kami itu dengan seringai licik menghiasi wajahnya yang juga berpeluh kepanasan.
“Asem lo, Ri! Tau aku belum bersuami ditawarin baju bayi!” Dan mereka berdua asyik bercanda di depanku, berbalas kata saling menggoda, membuat saya pun tersenyum-senyum simpul. Sampai akhirnya teman kami yang menawari bazaar itu menyadari kalau saya juga berdiri memperhatikan mereka.
“Bu Indah gak mau ikut bazaar? Biasanya ibu-ibu kan suka tuh.”
Ide iseng pun muncul. Sambil tetap tersenyum simpul, saya pun berkata kalem, “Engga, Mba. Kan saya sahabatnya orang kaya. Kalau mau jualan tinggal nyuruh dia aja yang borong, selesai deh gak perlu jualan.”
“Hahahahaha!“ Keduanya langsung terbahak keras membuat orang-orang yang berdiri di lorong kampus pun menoleh ke arah kami. Saya juga tertawa tapi terlalu malu untuk memperlihatkannya terang-terangan.

Saya tak pernah bertanya alasan Tina mengucapkan kata-kata itu. Saya mengira itu bagian dari kepribadiannya yang ceria dan suka bercanda. Lagipula, dia memang terlihat kaya. Setiap hari ke kampus memakai mobil merah bermerk produk Jepang yang terbaru. Pakaiannya memang hanya jins berbagai warna dan kaos tangan panjang yang ditambah topi di kepala. Tapi sebagai seorang wanita yang sudah menjadi istri dan ibu belasan tahun, tentu bukan hal yang sulit membedakan barang mahal atau barang murahan. Saya tahu benar, semua pakaiannya itu pasti dibeli di outlet-outlet terkemuka. Memang tak banyak sampai saya hafal mana baju baru dan mana baju lama miliknya. Tapi itu cukup meyakinkan kalau dia memang pantas menyebut dirinya orang kaya.

Berteman dengannya membuat saya melihat banyak hal berbeda dari sisi orang kaya. Setiap hari ia selalu membawa berbagai jenis makanan dan minuman, kadang-kadang menurutku dibeli hanya karena iseng. Makanan dan minuman, bahkan sesekali mainan itu malah diberikan pada orang lain termasuk untuk anakku yang masih kecil. Entah mengapa ia membelinya, mungkin saking banyaknya uang yang punya. Begitulah tiap kali saya berusaha menjawab pertanyaan di kepala tentang kebiasaan unik Tina.

Dua tahun berlalu tanpa terasa. Seiring waktu bergulir, Tina menjadi salah satu sahabat terbaik saya. Kebiasaannya menyombongkan diri menjadi tak berarti karena Tina adalah teman yang bisa memahami dan juga mudah dipahami. Anak-anak pun menjadi akrab dengan Bibi Tina yang royal tiap kali datang ke rumah. Pizza berukuran jumbo selalu dibawanya ke rumah hingga membuat Tina menjadi bibi kesayangan anak-anak. Sesekali saya mengajaknya ikut makan dan bermain bersama anak-anak di mal, Tina selalu menerima ajakan itu sesibuk apapun dia di kantornya yang bergerak di bisnis entertainment televisi itu. Menurutnya, menghabiskan waktu bersama anak-anak membawa banyak keuntungan, salah satunya adalah tidak kehabisan ide kreatif.

Saatnya kami berhasil menyelesaikan kuliah berbarengan. Sayangnya saya tak bisa ikut wisuda karena di saat bersamaan harus menyelesaikan sebuah proyek kerja di luar kota. Saat itu saya mengira persahabatan kami akan berakhir karena kami akan jarang bertemu. Apalagi saya tahu rencana Tina untuk pindah ke kota lain setelah wisuda karena tawaran itu terlalu bagus untuk dilewatkan. Tawaran yang berarti perubahan besar dalam hidupnya. Setulus hati saya berharap dia mendapatkan jodoh terbaik di kota tersebut. Di balik kebiasaan buruknya, Tina benar-benar wanita yang pantas mendapatkan lelaki yang baik dan menyayanginya.

Hanya saja, sebagai sahabat saya ingin mengingatkannya tentang kebiasaan itu. Kebiasaan menyebut dirinya orang kaya menurutku bisa menjadi bumerang untuknya. Bagaimana kalau seorang laki-laki mendengar kata-kata itu? Mungkin saja ada laki-laki yang suka padanya lalu setelah mendengar kata-katanya itu akan menganggapnya sebagai perempuan mata duitan dan memilih mengundurkan diri.
“Aku kira Mbak In gak akan pernah bertanya,” ujarnya setelah saya mulai menyinggung kebiasaanya itu. Ada nada sedikit kecewa terdengar. Namun, ia menyembunyikannya dengan cepat.

Saya menghela napas, beginilah kalau mengkritik sahabat baik, terkadang ada rasa berat namun itulah yang harus dilakukan. “Bukannya saya gak paham kalau itu hanya bercanda, Tin. Tapi saya kuatir kalau ada yang salah paham karena mendengar kata-kata itu. Kamu itu anak baik banget, pantesnya dapat cowok baik juga.”
“Aku tidak bercanda kok, Mba. Aku serius. Aku memang ingin selalu jadi orang kaya dan saya berusaha untuk itu.” Matanya menatap saya penuh keyakinan.
“Eh? Kamu… “ Saya benar-benar kehabisan kata-kata. Tina yang baik hati itu ternyata… Saya hanya bisa menelan ribuan kata nasehat yang tadinya siap meluncur untuk perempuan cantik di hadapan saya ini. Mulut seperti terkunci, tak percaya tapi saya mendengarnya sendiri. Seperti biasa, saya tak mampu menyembunyikan perasaan. Jadi meski diam, saya tahu wajah saya sudah berubah drastis dan menunjukkan apa yang saya rasakan dengan sangat jelas. Kecewa.

Tapi Tina tak bergeming. Tak mungkin dia tak melihat perubahan ekspresi itu. Anehnya dia malah tersenyum penuh arti.
“Mbak In, tahu gak kalau surga itu mahal?” tanyanya enteng.
“Mahal? Maksudmu apa sih?” tanya saya balik dengan nada yang sudah berubah ketus. Saya sudah kehilangan minat berbicara dengannya.
“Kalau misalnya nih Mba dikasih satu… eh engga sepuluh milyar sama suami Mbak terus uangnya itu ngambil diam-diam dari kantornya, gimana menurut mba?” tanya Tina begitu serius.
“Eh, enak aja! Ya gak mau lah saya! Uang korupsi kan itu namanya,” sergah saya secepat kilat.
“Tuh kan!! Baru juga mau membeli jujur harganya sudah tak bisa diukur. Bagaimana kalau membeli ikhlas, sabar, amanah, soleh dan semua yang kita berikan ke Allah tanpa ada price tagnya itu? Belum membayar waktu yang kita habiskan untuk sholat, untuk ibadah dan semua yang kita kerjakan hanya untukNya? Kita harus menjadi orang kaya untuk semua itu, Mbak In sayang,” ujar Tina panjang lebar.

Saya terdiam, berusaha mencerna kata-kata Tina. Saya mulai memahami maksudnya. Ingatan tentang hal-hal yang terjadi selama dua terakhir ini kembali datang. Bagaimana Tina yang selalu ringan tangan membantu, bagaimana gadis itu selalu menganggap enteng berapapun uang yang ia keluarkan selama itu bisa membantu orang lain, sikap spontannya yang mengejutkan saat berbelanja di pasar membeli beberapa pasang sandal dan pulangnya saat di lampu merah ia membagikan sandal itu pada anak-anak jalanan yang tak beralas kaki, dan mengapa ia tak pernah terlihat kuatir apalagi sedih kalau bantuannya ternyata dianggap tak ada. Yang ia maksud selama ini bukanlah karena ia kaya secara harfiah… tapi kaya dalam makna yang berbeda.

“Ada banyak hal yang tak bisa diukur nilainya, Mbak In. Sahabat seperti Mbak, Mbak Yuni, Mbak Marlin, Terri adalah sekian dari sahabatku yang harganya tak ternilai. Aku tak punya anak karena tak bisa membeli suami. Tapi karena anak-anak mbak In, Mbak Yun, dan Terri, saya gak ngerasa kekurangan itu. Buat aku sama saja. Aku sendiri, tapi aku bisa merasakan jadi orangtua. Berkat mbak dan teman-teman yang sudah berumah tangga, aku jadi tahu rasanya jadi Ibu, sebentar berkeluh tentang anak-anak tapi lebih banyak mengajari aku betapa menyenangkannya punya anak. Karena anak-anak kalian, aku tak pernah kehilangan ide saat bekerja. Kalau tidak mana mungkin aku bisa bertahan selama dua tahun ini di program seputar ibu dan anak. Itu juga sebabnya aku ingin selalu merasa betapa kayanya diriku ini dengan mengingatnya setiap saat.”

“Aku gak tau dulunya kalau jadi orang yang selalu merasa kaya itu justru sangat menguntungkan. Aku bisa ngutang dalam jumlah yang gak kecil dan gak pernah ditagih Mbak Yun waktu sibuk praktek kemarin, bahkan gak ada yang tahu saking rapinya Mbak Yun nyembunyiin aibku. Aku bisa nanya kapanpun sama Mbak In dan selalu dijawab dengan baik. Padahal kunciku cuma nanya kabar kalian rutin dan maen ke rumah sesekali. Itu belum seberapa loh, Mbak. Gara-gara kue yang tiap pagi aku beli karena kasian sama Ibu-ibu tua yang nawarin, parkiran mobilku selalu tersedia di parkiran kampus dan waktu pohonnya ditebang eh… Mas-mas tukang parkirnya malah gak pernah lupa nutupin pake kardus biar mobilku gak terlalu panas kena matahari walaupun aku gak pernah minta. Jangan tanya berapa kali aku keluar gak bayar parkiran karena gak punya uang kecil. Itu semua kekuatan sakti kue-kue yang tiap pagi kubawakan untuk mereka, Mbak. Karena aku tiap pagi beli kue, eh si ibu-ibu jadi suka nawarin aku duduk dulu, nawarin sekalian sarapan di situ. Dan tahukah Mbak apa yang terjadi? Aku dapet kenalan Bapak-bapak duda baik hati yang nawarin aku kerja di Kualalumpur itu.”
Lidah saya ini terasa kelu. Tak bisa membantah dan bisa merasakan kalau sahabat saya ini memang benar.

“Makanya aku gak ngerasa kuatir kalau barangku ilang. Enak lagi. Pertanggungjawabannya selesai. Tau kan mbak kalau semua yang kita pakai bakal ditanya di hari kiamat nanti. Yah paling ganti baru kalo masih baru. Kalo gak kebeli, ya beli aja yang baru. Gak bisa beli yang lama, ya udah beli yang murah aja. Siapa tahu nih Mba, kalau yang ngambil atau ngedapetin barang kita yang ilang eh sama dia malah jadi lebih berguna daripada waktu aku yang pakai kan lebih manfaat. Yah kalo dipake gak baik yaa…. paling aku doain semoga setelah dapet dan ngerasain, dianya dikasih hidayah sama Allah,” ucap Tina masih dengan ringan.

Lalu ia melanjutkan, “Banyak, Mba… banyak sekali pengalamanku sejak selalu mengingatkan diriku bahwa harta yang kelihatan mata itu tak ada artinya dibandingkan harta yang sebenarnya hanya bisa dirasakan, bahwa uang sebanyak apapun di dunia kalau digunakan tidak untuk kebaikan takkan ada artinya. Kalau kusebut apa aja pengalamanku, entar disangka nih orang kaya sombong bener sih… haha haha… “

Tawa Tina menguap di udara, memecah kesunyian restoran yang akhirnya ikut membuat saya ikut tertawa. Bukan karena lucu, tapi menertawakan diri sendiri yang bisa-bisanya meragukan sahabat sendiri. Tina adalah calon psikiater yang sudah beberapa kali menulis berbagai artikel kesehatan jiwa. Dibanding diri saya, dia tentu lebih memahami makna kehidupan sedalam dirinya. Meski usianya lebih muda, Tina memang selalu berpikir sangat jauh ke depan.

Ketika saya bertemu teman-teman yang lain, mereka justru menertawakan saya. Mereka mengira saya sudah tahu sebelumnya. Mereka bilang, mereka juga belajar dari Tina dan mulai menyebut diri mereka juga orang kaya seperti Tina. Tak cuma uang, mereka juga belajar membagi senyum dan kebaikan, menegur tanpa malu-malu dan bahkan bercanda meski tak tahu siapa nama yang diajak bicara.

Saya pun tertarik ikut mencoba. Bukan untuk langsung berkata saya orang kaya, tapi memulainya dengan selalu mensugesti diri betapa kayanya saya. Tak disangka, segelas cappucino mengubah kepanikan saya menjadi keberuntungan hingga bisa mendapat nilai sempurna di salah satu mata kuliah sastra yang paling sulit di kampus saya yang lain. Kebiasaan menegur lebih dulu tanpa pilih-pilih membuat saya tak pernah merasa kekurangan teman dan selalu dengan mudah menghadapi para pengawas saat ujian. Hanya dengan memberi barang bekas tak terpakai di rumah, tukang sampah bahkan membersihkan tempat sampah di rumah setelah mengangkutnya. Bahkan ada sahabat yang tak pernah menagih seberapa banyaknya pun saya berhutang pulsa padanya. Yang lebih menyenangkan adalah perasaan terlepas dari beban, karena kejujuran yang selalu berusaha saya dan suami jaga setiap hari telah berkali-kali menyelamatkan kami sekeluarga dari badai fitnah dan kesirikan orang lain. Akhirnya saya memang harus berterima kasih pada Tina. Gadis pintar yang mengajarkan saya tentang arti kaya yang sebenarnya.

Itulah mengapa, kebiasaan Tina kini mulai menulari saya. Saya mulai berani menyombongkan diri… Saya kan orang kaya. Saya ingin menjadi orang kaya, yang akan memanfaatkan waktunya yang mahal sebaik mungkin, orang kaya yang akan sebanyak mungkin membantu siapapun di sekelilingnya, orang kaya yang tak merasa perlu menulis harga kebaikannya dan orang kaya yang takkan peduli apa kata orang asalkan dia tetap bisa menjaga kejujurannya, keikhlasannya, ketawakalannya dan orang kaya yang akan selalu berusaha berbagi pada siapapun di sekelilingnya.

Dan orang kaya pertama yang mengajarkan saya itu kini sudah bekerja di negara lain. Dia memberi saya izin berbagi soal cerita kami ini. Kini, saya merasakan maksud Tina itu. Kini saya pun berkesimpulan, berarti mereka yang paling miskin di dunia bukanlah mereka yang tidur di jalanan atau tak memiliki rumah. Tapi sebaliknya, mereka yang mendapatkan harta karena korupsi adalah orang-orang termiskin di dunia. Mereka tak hanya menjual kejujuran, tapi juga amanah, ikhlas dan harga sebagai seorang umat beragama. Betapa murahnya harga mereka… hanya seharga harta dunia yang masih bisa dihitung jari. Kemiskinan yang akhirnya membuat mereka tak bisa tidur lelap dan tak bisa makan dengan hati riang. Saya tak mau jadi seperti mereka, saya ingin jadi orang kaya yang tiap bangun di pagi hari merasa beruntung karena setiap hari menghabiskan waktu yang tak sia-sia.(Sumber : Blog Bunda IIn)


J a n d a

“Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu!”
Tyas mengangkat wajahnya, menatap sahabatnya yang duduk di hadapannya. Gelas yang hampir sampai di mulut Tyas terhenti di udara, sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke atas meja. Wajah Nola sudah berubah. Tak ada lagi senyum apalagi tawa di sudut bibirnya yang biasa melengkung dengan cantik itu. Ia pasti marah.

Tiap kali Tyas berkata ingin bercerai dengan suaminya, Nola selalu seperti itu. Ia akan mendengarkan semua keluhan Tyas tentang suaminya, ia juga akan tetap diam dan terus begitu sampai airmata Tyas akhirnya menetes. Saat itulah, Nola akan memeluk Tyas masih tanpa berkata apa-apa. Hanya saja, Nola akan berubah marah setiap kali Tyas mengucapkan keinginannya itu.



“Jangan bercerai! Jangan pernah menjadi janda, Yas! Jangan! Kamu akan sangat menyesal!”
“Kenapa sih, La? Aku heran sama kamu. Mau dengerin aku ngeluh panjang lebar, tapi giliran aku ngebahas soal perceraian, kamu selalu marah kayak begitu. Setelah menikah, sahabatku ya cuma kamu. Sekarang pernikahanku udah kayak neraka begini, aku mau bertahan bagaimana lagi? Kalau bukan sama kamu, sama siapa aku ngebahasnya? Setidaknya denganmu kan aku bisa tahu prosedur perceraian. Kau kan sudah pernah bercerai,” keluh Tyas.

“Karena aku sudah menjadi janda, makanya aku tahu rasanya, Yas.”
“Nah! Why not? Kamu keliatan baik-baik saja setelah bercerai. Sudah berapa lama? Enam tahun? Tujuh tahun?” tanya Tyas enteng. Kali ini ia benar-benar meminum teh jasmine-nya.
“Tujuh tahun lima bulan,” jawab Nola sedikit mendesah. Ia menghela nafas panjang sebelum kembali berkata, “dan sakitnya, pedihnya, masih sangat terasa.”
“Ah, yang benar?”
“Nola yang ada di depanmu, adalah Nola yang berusaha keras menyembunyikan sakit itu, Yas,” gumam Nola. Wangi kopi yang ada di hadapannya, membuat Nola mengambil gelasnya. Seteguk kopi pahit meluncur masuk ke dalam tenggorokannya.
“Tapi kau baik-baik saja kan?”
“Dulu aku sepertimu. Berpikir bahwa ada jutaan janda di luar sana, hidup baik-baik saja. Mereka bisa menjadi orangtua tunggal untuk anaknya, bisa menghidupi hidupnya dan anak-anak mereka, bisa hidup di lingkungan mereka. Sama seperti hari-hari saat mereka menikah. Malah aku melihat mereka hidup dengan gembira. Sesuatu yang kulihat hanya di permukaan,” ujar Nola lirih.

“Tapi itu berbeda ketika aku sendiri yang mengalaminya. Menjadi janda itu saja sudah berat, Yas. Orang-orang akan menilai kalau kita ini adalah manusia gagal, manusia yang tak bisa memahami orang lain dan manusia yang tak bisa hidup dengan orang lain. Lalu mereka akan mulai menghakimi, tanpa mengerti duduk masalahnya. ‘Ah, pasti dia kurang pandai melayani suaminya’, ‘ah, dia pasti tidak sabaran’, ‘dia mah gampang dibodohi jadi suaminya selingkuh kali’ dan ribuan penghakiman lain yang akan membuat dada seakan ingin meledak. Belum lagi harus menghadapi mata yang curiga, mata yang mengintimidasi seakan-akan kehadiran seorang janda akan menjadi virus yang mematikan bagi masyarakat di sekelilingnya. Saat kita hidup dengan cukup, mereka akan berkata ‘yah pasti mantan suaminya yang ngasih tunjangan tuh,’ atau ketika kita hidup dengan berlebih, mereka akan berkata ‘heran kok jadi janda hidupnya malah senang, kerjanya apaan tuh? Jangan-jangan dicerai karena selingkuh dan suka nyari cowok lagi’ tapi anehnya ketika kita hidup susah, malah mereka juga mencemooh ‘sudah tahu gak bisa nyari uang, kenapa cerai? Dasar bodoh!’ dan lingkaran setan itu takkan pernah berhenti melingkupi kehidupan seorang janda. Sampai kapanpun.”

Tyas terdiam. Nola memang tak pernah berkata apa-apa selama ini tentang perasaannya soal perceraian yang terjadi dulu. Dulu ketika bercerai, Nola hanya menangis dan Tyas hanya mampu memeluk serta menguatkannya dengan memintanya sabar. Namun, Tyas juga tahu kata-kata Nola benar. Dia juga sempat mendengar kata-kata sejenis itu. Dari ibunya sendiri yang pernah mengatakan, “Temanmu itu bodoh sekali, Yas. Suami kaya dan ganteng seperti itu kok digugat cerai. Kalau laki-laki selingkuh harusnya diselidiki dulu masalahnya. Jangan apa-apa main cerai! Siapa tahu hanya informasi palsu.”

Saat itu Tyas langsung meminta Ibu untuk tak menyalahkan Nola. Kalau bukan karena melihat sendiri, tentu Nola takkan mungkin menceraikan Rafli. Ibu masih membela mantan suami Nola, tapi Tyas meminta Ibu untuk tak mengucapkan apapun lagi tentang perceraian sahabatnya itu. Seperti Tyas yang juga tak pernah berani menyinggungnya… sampai saat ini.

“Apalagi kalau sudah punya anak-anak. Itu yang paling… paling terberat. Ada saat aku pengen kembali pada mantan suamiku hanya untuk mengatakan apapun yang terjadi aku memaafkannya asal dia kembali menjadi ayah sepenuhnya untuk anak-anak. Ada saat aku berpikir untuk menikahi siapapun yang melamarku saat itu, asalkan dia punya gaji yang cukup untuk menyekolahkan anak-anakku. Memang masalahnya bukan hanya uang. Anak-anak membutuhkan segalanya, Yas. Tidak hanya uang untuk sekolah dan hidup mereka, tapi juga kasih sayang yang lengkap dari orangtuanya. Bagaimana itu bisa terjadi ketika mereka harus hidup terpisah dengan salah satunya?” lanjut Nola.

“Aku memilih mengambil raport anak-anak, lebih cepat atau lebih lambat dari waktu seharusnya. Pekerjaan kujadikan alasan dan untunglah guru anak-anak selalu mengerti. Kamu tahu kenapa alasannya?” Mata Nola berkaca-kaca. “Karena aku iri, iri melihat orangtua yang datang berpasangan, memuji prestasi anaknya sementara anak-anakku….”
“Bukankah Mas Rafli beberapa kali datang ke sekolah, La? Setahuku kalau soal urusan anak, Mas Rafli selalu bekerja sama denganmu,” tukas Tyas.

Nola tersenyum samar. “Itu setelah putri kami tidak naik kelas dan ia masuk rumah sakit karena depresi. Kalau Nurul tak memberitahu perasaannya soal perceraian kami ke psikiater yang menanganinya, mungkin kami takkan pernah sadar kalau perceraian itu tak hanya mempengaruhi kami berdua, tapi juga anak-anak. Sekarang Mas Rafli sepakat untuk ikut serta dalam pendidikan anak-anak, dengan syarat kami tidak datang berdua. Istrinya yang sekarang akan keberatan.”

Tyas kembali terdiam. Nola meraih gelasnya dan meminum beberapa teguk. Tenggorokannya terasa kering setelah mengisahkan seluruh derita yang selama ini ia simpan dalam-dalam.
“Tak ada yang tahu sakitnya menjadi janda, sampai ia menjadi janda. Tapi tak ada salahnya mendengarkan sahabatmu ini, Yas. Cukup aku yang mengalaminya. Cobalah untuk memperjuangkan pernikahanmu. Clear-kan masalahmu sejelas-jelasnya. Jangan berasumsi negatif apalagi bercerai karena asumsi tanpa bukti itu. Mintalah pendapat dari berbagai pihak, jika pikiranmu buntu. Mungkin saja, pendapat itu akan lebih membantumu. Pikirkanlah dengan matang, sejauh mungkin andaikan kata kau bercerai. Akan ada banyak kata ‘sanggup’ yang harus kau lakukan dan itu mungkin termasuk… “

“Apa?” sambar Tyas cepat.
“Memperbaiki genteng atau bahkan mengganti sekring. Kamu sudah bisa?” tanya Nola dengan dahi bergerak naik. Ia tahu benar sifat manja sahabatnya ini. Sifat yang sering dikeluhkan suaminya dulu saat mereka belum menikah dan masih teman kuliah.

Pertanyaan Nola membuat Tyas terdiam lagi. Bagaimana mungkin? Jangankan memperbaiki genteng atau mengganti sekring yang putus, selama ini kalau ada kecoa lewat saja dia sudah teriak-teriak memanggil suaminya. Tyas baru ingat, sepanjang pernikahan ia sangat bergantung pada suaminya. Bahkan sebelum bertemu Nola tadi, Tyas minta diantar jemput oleh suaminya. Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya selama ini.

“Pikirkan ya… pikirkan baik-baik, temanku sayang. Pikirkan anak-anakmu, dan dirimu sendiri. Kalau suamimu menyakiti fisikmu, akulah orang pertama yang akan memintamu menceraikanmu. Tapi tidak kan? Cobalah mencari solusi lain selain bercerai. Katanya, kalau satu pasangan bisa berbaikan lagi, hubungan mereka akan lebih baik daripada sebelumnya. Cobalah! Lakukan yang tidak kulakukan dulu!”

Tyas tak menjawab, ia hanya mengangguk. Ia memahami kini apa yang dimaksud Nola. Kalau memang Mas Karim menduakannya, ia akan tetap berjuang sekeras mungkin mempertahankan pernikahannya dengan mencari solusi yang lebih baik selain berpisah. Bukan karena takut menjadi janda, tapi karena ia tak ingin menyesali keputusannya seperti Nola. Kalau memang harus berakhir, Tyas akan menerimanya sekaligus berusaha menghadapi konsekuensinya. Tanpa ada penyesalan.

Menjadi janda bukanlah pilihan, tapi satu solusi. Solusi yang pahit. Solusi yang memiliki banyak konsekuensi. Konsekuensi yang harus diperhitungkan dengan sebaik mungkin.(Sumber Blog : Bunda Iin)


Senin, 21 Desember 2015

Kisah Pengorbanan Seorang Ibu

Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, tahun berapaan udah lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronik. Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah dipromosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan.Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor.

Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Di rumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting.
Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be. Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan.” jawab A be. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya.
Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan di rumah.
Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari ibunya, A be melihat sebuah box kecil.
Di dalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah.
Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun. Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya.
Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa dibendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang ibupun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. “Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi”. Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket.
Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini ke dalam media cetak dan elektronik. (sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=213027188827839&story_fbid=252347591562465)


Rabu, 16 Desember 2015

Bank Indonesia Selenggarakan Culture Fair

Dalam rangka selebrasi pencapaian program transformasi dan perubahan budaya kerja tahun 2015, Bank Indonesia menyelenggarakan sebuah acara yang cukup menarik yaitu “CULTURE FAIR”.



Acara ini diadakan di Plaza Air Mancur Kantor Pusat Bank Indonesia, pada tanggal 16 s.d 18 Desember 2015. Diikuti oleh berbagai Satuan Kerja yang ada di Bank Indonesia dengan menampilkan fasilitas  up to date yang mendukung program kerja Satker masing-masing.


Setiap booth Satker menampilkan setiap karya nyata perubahan, mulai dari perubahan proses bisnis, mindset sampai dengan perilaku budaya kerja.


Pada booth Nampak aktifitas menarik, mulai dari performance kreatif, bermain interaktif, sampai dengan merasakan keseruan games tantangan perubahan.


Pegawai nampak sangat antusias mendukung Satkernya untuk memenangkan change program award, innovation award dan change leader award. Terlihat dari banyaknya pengunjung  yang memnuhi berbagai booth.



Rencana kegiatan selama culture fair berlagsung adalah : Flasmob, Tari Kolosal, Pertunukan Musik, Awarding Night, Community Lounge, Interaktif Games, Shadow Dance, Video Mapping (permainan cahaya), Aspiration Box dan tersedia juga food zone dengan berbagai menu sensasi kekinian






Dalam lomba change leader dan change agent, peserta sangat bersemangat sekali tampil berbalut pakaian adat membawakan inovasinya. Hampir semua inovasi yang diciptakan diperuntukan bagi kepentingan masyarakat, dalam memudahkan menyelesaikan masalah perbankan yang berhubungan dengan Bank Indonesia. Teristimewa adalah Tim juri yang terdiri dari Anggota Dewan Gubernur BI, Remadja Tampubolon dan Charles Bonar Sirait.


Minggu, 13 Desember 2015

Konser Mini "JAZZFORMATION"

Agenda besar yang akan ditampilkan oleh Pusat Progran Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) adalah merangkul kaum Gen Y di BI dengan menyelenggarakan acara musik secara rutin, yang rencananya akan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Hal ini boleh dibilang sesuatu yang baru, apalagi dilaksanakan setelah jam kerja dikantor selesai.



Mengawali kegiatan ini pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 2015 bertempat di Lobby Menara Syafruddin Prawiranegara KPBI, PPTBI menyelenggarakan konser jazz mini ala BI, yang diberi nama “JAZZFORMATION”.

Hadir dalam kegiatan tersebut Onny Widjanarko, Kepala PPTBI yang juga merangkap Ketua IPEBI beserta jajarannya, dan beberapa artis lokal BI yang masih dalam tarap belajar menyelenggarakan konser. Hal ini terlihat dari vokalis yang membawakan lagu-lagu dengan malu-malu, semuanya dalam posisi duduk dan menghapal syair lagu pada standing book yang tersedia.



Jazz memulai konser mini ini, karena menurut sejarahnya dahulu di negara asalnya musik jazz tumbuh berasal dari kaum kelas bawah, yang telah mendapat suntikan dari berbagai aliran musik dan polesan para musisi terkenal sehingga bertransformasi menjadi musik elit saat ini. 

Ini suatu langkah berani yang di gebrak PPTBI untuk membawa masyarakat BI ke dalam transformasi, yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran menjelang tahun 2024. Tiga bulan kedepan PPTBI merencanakan aliran jenis musik lain untuk ditampilkan, sehingga semua penggemar musik di BI dapat menumpahkan segala kemampuannya.



Semoga hal ini memberi dampak yang positif bagi perkembangan musik di BI, setidaknya ada upaya yang bagus mengapresiasi permusikan dan budaya baru di BI, apalagi berbagai jenis musik yang akan ditampilkan selalu berbeda, sehingga selalu akan kita lihat berbagai performance yang berbeda pula.

Dengan kontinuitas setiap tiga bulan  dan tempat yang ikonik, diharapkan nantinya pada event ini musisi BI akan membuat konsernya menjadi baik dan menarik serta kekinian, dalam mendorong proses bertransformasi.


Kamis, 10 Desember 2015

Benchmarking Record Management PT Garuda Indonesia ke BI

Arsip Bank Indonesia kembali menjadi tempat untuk instansi atau lembaga lain melakukan benchmarking, banyak hal dapat dipelajari melalui kunjungan ini mulai dari kepemimpinan, transformasi, budaya kerja. Kali ini giliran PT Garuda Indonesia, pada hari Kamis tanggal 10 Desember 2015 melakukan benchmarking ke Divisi Pengaturan dan Pengelolaan Kearsipan Bank Indonesia (Divisi Arsip).



Rombongan dipimpin oleh Sadwari Budi Sarwindah yang akrab dipanggil Endah, Senior Manager Documentation & Record Mangement PT Garuda Indonesia, “Kunjungan kami ke BI bertujuan untuk  mencari inspirasi, terkait inovasi dalam aspek pelayanan, menambah wawasan dan pengetahuan tentang bisnis proses, organisasi dan standar operasi terkait dokumen perusahaan, karena kearsipan BI sudah tersertifikasi”, tutur Endah.




Saat menerima rombongan Rini Andriani Pejabat Kepala Tim Divisi Arsip BI, meyampaikan bahwa dimasa dulu dan sekarang pelayanan keasripan BI telah banyak berubah mengikuti perkembangan teknologi informasi menjadi customer oriented. Berdasarkan perubahan paradigma tersebut terbentuklah transformasi dan terciptanya inovasi-inovasi baru yang fokus pada akses kearsipan yang lebih mudah dan cepat. Mulai dari pemberkasan hingga meng-upload-nya ke sistem BI-RMS.




Kegiatan diawali dengan knowledge sharing meliputi aplikasi sistem kearsipan dan Manajemen Dokumen BI dipandu oleh Tri Arso Purnomo, pengelolaan Sentral Khazanah Arsip (SKA) KPBI oleh Andar Mulyana. Pengelolaan SKA ini menurut peserta penting disampaikan, karena sangat mendukung proses pencarian dan pengadministrasikan penerimaan arsip dari Satuan-satuan kerja dengan menggunakan Bank Indonesia Sistem Aplikasi Pengelolaan SKA (BI-SASKA).



Setelah istirahat makan siang dilakukan on the spot ke SKA yang berada di Gedung Arsek, mulai dari lantai empat sampai dengan enam, kemudian dilanjutkan penjelasan Road To ISO oleh Ibu Sri Yulistiani (Kepala Divisi Arsip BI). Peserta benchmark sangat antusias dalam mengajukan pertanyaan, terutama mengenai aplikasi yang telah diterapkan BI. Diskusi yang berlangsung sejak pagi sampai dengan pukul 15.30 WIB, dirasakan sangat bermanfaat oleh peserta sebagai masukan untuk Garuda.



Menurut Endah, dengan dilakukannya benchmarking ini, PT Garuda berharap akan semakin meningkatkan pelayanannya, hasil dari kegiatan ini sangat mendorong PT Garuda untuk melakukan pengembangannya di bidang record management karena Garuda tidak salah memilih BI yang telah mempunyai pelayanan kearsipan yang up to date. Sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai PT Garuda Indonesia dapat dikembangkan serta dapat diutilisasi, kemudian disebarkan keseluruh karyawan perusahaan.





Selasa, 08 Desember 2015

Perasaan

Tolong di ingat ya….!
Perasaan itu nggak selamanya bisa bertahan
Perasaan itu bisa hilang kapan saja
Kerna kamu sudah tidak menghargaiku lagi

Terima kasih karena kamu telah mengisi hari-hariku
Yang semula putih kini telah menjadi berwarna
Bahkan sekarang warnanya menjurus menjadi abu-abu kelabu

Biar begitu kenapa sih aku selalu mengharapkanmu
Padahal yang ku dapat hanya perasaan luka

Mangkanya sekarang aku ingin belajar di derasnya hujan

Agar semua orang tidak tahu kalau aku sedang menangis.

Senin, 07 Desember 2015

Seminar Nasional Kearsipan "Peran Strategis Tatakelola Dokumen Elektronik"

Sebagai salah satu lembaga negara yang memiliki berbagai prestasi di bidang kearsipan, Bank Indonesia (BI) memiliki visi standar arsip yang berkelas dan berstandar dunia. Oleh karena itu secara intensif BI perlu melakukan sosialisasi tentang kearsipan khususnya “Penggunaan Dokumen Elektronik (DE)”, guna menjadikan arsip sebagai bukti akuntabilitas, bukti sah dan tulang punggung organisasi.




Untuk mewujudkan visi tersebut, BI menggelar Seminar Nasional Kearsipan dengan tema “PERAN STRATEGIS TATAKELOLA DOKUMEN ELEKTRONIK” pada hari Selasa tanggal 8 Desember 2015, bertempat di Ruang Serbaguna Menara Syafruddin Prawiranegara, Kantor Pusat Bank Indonesia.

Diadakannya seminar ini adalah untuk memberi wawasan, wacana, pengetahuan dan sebagai sarana knowledge sharing bagi para pengguna Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan dan perundang-andangan yang berlaku.




Acara dibuka oleh Ibu Suzanna G Hamboer, Kepala Grup Pengamanan dan Arsip KPBI. Dalam sambutannya beliau meyampaikan bahwa telah banyak institusi menggunakan teknologi informasi dalam kegiatan operasionalnya. Kemajuan teknologi ini telah melahirkan informasi elektronik dan dokumen elektronik. Agar dokumen elektronik tersebut memberi manfaat yang lebih optimal maka para penguna dokumen elektronik harus memamahi tatakelola dokumen elektronik dengan baik, benar sesuai dengan standar praktek terbaih (best practice) dan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar dokumen elektronik bener-benar otentik, sehingga dokumen elektronik dapat diakui dan digunakan sebagi alat bukti dipengadilan. Oleh karenanya peran strategis tata kelola dokumen elektronik sangat penting dipahami guna menghindari adanya contra productive dan menimbulan masalah dikemudian hari.




Bertindak selalu moderator adalah Sri Yulistiani (Kepala Divisi Pengaturan dan Pengelolaan Kearsipan Bank Indonesia), sedangkan  nara sumber yang ditampilkan adalah Drs M Taufik MSi Deputi Bidang ANRI mengupas tentang Undang-undang no 43 tahun 2009, Dr Pri Pambudi Teguh, SH, MH pejabat Panitera Muda Perdata Mahkamah Agung berbicara tentang Pemanfaatan Dokumen Elektronik Dalam Penanganan Perkara di MA, Anthonius Malau Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo RI membawakan Peran Strategis Tatakelola Dokumen Elektronik dan Perspektif UU ITE, Taufik Asmiyanto M.Si Ketua Program Studi  Manajemen Informasi dan Dokumen Program Vokasi Universitas Indonesia menyampaikan kajian Quo Vadis Manajemen Arsip Elektronik di Indonesia.




Dihadiri oleh sekitar 200 peserta termasuk undangan dari Perbankan, Institusi BUMN, Unit Kearsipan Pemprov DKI, Akademisi, Perbarindo, Perbanas, Asosiasi Arsip Indonesia dan Satuan Kerja Bank Indonesia. Latar belakang diselenggarakannya seminar ini, mengingat perkembangan teknologi informasi dan globalisasi telah mengubah perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Sehingga banyak lembaga dan institusi telah menggunakan teknologi informasi dalam kegiatan operasionalnya sebagai sarana manajemen informasi, transaksi dan komunikasi yang melahirkan informasi elektronik dan dokumen elektronik. Sehingga dokumen elektronik tersebut memberi manfaat yang lebih optimal sebagai alat bukti yang sah dipengadilan, oleh karenanya perlu wacana terkait tatakelola, pemahaman dan pengetahun tentang dokumen dimaksud.




Dokumen elektonik adalah  setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.




M. Taufik dari ANRI menyampaikan bahwa penlenggaraan kearsipan bertujuan menjamin terciptanya kegiatan kearsipan yang dilakukan oleh sebuah lembaga, tersedianya arsip yang otentik, terpercaya sebagai alat bukti yang sah. Serta menjamin perlindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat, mendinamiskan sistem yang komperehensif terpadu,  menjadi bukti pertanggungjawaban, keselamatan aset nasional dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.




A borderless, Invincible, Cyber Connected”, demikian ungkap Anthonius Malau dari Kemkominfo mengawali pembicaraannya sebagai narasumber dalam seminar tersebut. Kegiatan dunia maya telah merubah transformasi sosial budaya hampir diseluruh penjuru dunia. Mulai dari etika, pengetahuan, regulasi, pembangunan, hukum dan aktivitas lainnya. Seperti adanya e-commerce, e-banking, cyber notary, e-voting dll.




Hal tersebut di Indonesia, kini diperkuat dengan diberlakukannya Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang melatar belakangi undang-undang tersebut diciptakan adalah karena UUD 45 Pasal 28, yang melindungi sistem informasi yang baik, terjaga dan utuh (security dan integrity). Undang-undang ini melindungi serangan (attack), penyusupan (intruder) atau penyalahgunaan (misure), dengan membuat aturan yang secara teknis melakukan tatakelola kegiatan yang terkait informasi transaksi elektronik, sesuai dengan aturan hukum.




Pemanfaatan TI dan transaksi elektronik bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi seoptimal mungkin serta bertanggung jawab, memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna TI.




Sedangkan Taufik Asmiyanto akademisi dari Universitas Indonesia berpendapat bahwa melihat konstelasi dokumen elektronik dalam kancah pertarungan kuasa hukum pembuktian, jelas menyadarkan kita bahwa pengembangan sistem manajemen dokumen elektronik yang terpercaya dan akuntabel dalam tata kelola kearsipan nasional adalah sebuah tuntutan. Kegagalan dalam menghadirkan dokumen elektronik sebagai bukti hukum di masa depan tidak perlu terjadi sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Dalam membangun sistem ini jelas diperlukan sinergi positif dari pihak terkait dengan mendasarkan pada pengalaman-pengalaman negara yang telah menerapkannya dan kajian-kajian akademis lintas disiplin.




Diskusi-diskusi ilmiah pragmatis lintas disiplin secara berkelanjutan perlu dirancang agar hasil kajian akademis dapat dipaparkan dan dapat menemukan manfaat praktisnya. Sehingga tujuan mengembangkan sistem manjemen arsip elektronik untuk memastikan bahwa arsip sebagai hasil aktivitas transaksi organisasi dapat tersedia saat diperlukan. Ketersediaan ini dimaknai bahwa sistem yang ada harus mampu menjaga keaslian dan keutuhan isi dari informasi arsip itu, dengan mempertahankan kontrol intelektual arsip, yang mencakup informasi konstektual yang memadai dapat menghadirkan provenans, konteks dan struktur arsip dan manajemen arsip mempunyai karakteristik otensitas, kehandalan, integritas dan kegunaan. Sehingga arsip elektronik yang dihasilkan merupakan arsip organisasi yang professional, akuntabel, integritas dan inovatif.