Sabtu, 29 Agustus 2015

Wisuda Awal Perjuangan Masa Depan

Hari yang dinanti akhirnya terwujud, anak sulungku “TUBAGUS ARDHANI RESWARA”, Sabtu 29 Agustus 2015 diwisuda dalam Sidang Terbuka Universitas Indoneisa, di Balairung Kampus UI Depok. Setelah menyelesaikan kuliah Program Magister Manajemen Komunikasi. Deny begitu nama panggilan sehari-harinya, menyelesaikan kuliah magister untuk meraih gelar MSi selama 2 tahun. Hal tersebut sangat berkesan banget kareana lulus wisuda S2 butuh waktu yang nggak cuma sebulan dua bulan, butuh duit yang nggak sejuta dua juta, butuh tenaga dan meres otak dengan serius.



Akhirnya satu tahapan perjuangan telah dilaluinya, dan awal perjuangan baru ada dihadapannya untuk mengabdi tebarkan ilmu ke intelektulannya pada negara dan masyarakat. Dengan semangat yang tinggi aku menghadiri acara ini, sebab sebagai seorang ayah yang ketiga anaknya telah menjadi sarjana, bahkan sebagai orang yang berkerja di Bank Indonesia, aku sama sekali belum merasakan bagaimana rasanya di wisuda. Karena sekolahku cuma lulus SMA, yang nggak ada acara wisudanya. Makanya  seumur hidup aku belum ngerasain di wisuda, mungkin itulah yang aku rasakan sehingga mengapa anak sekolah dasar bahkan sekolah taman kanak-kanak, juga mengadakan wisuda.

Wisuda anak selain membuat bangga juga bikin ribet, itulah pernah ku alami saat ketiga anakku di wisuda menjadi sarjana. Harus menyiapkan biaya pastinya, lalu menyiapkan tetek bengek perlengkapan yang terkait masalah wisuda termasuk pakaian daerah dan toga. Belum lagi terbayang acara upacaranya yang panjang dan melelahkan, menyaksikan ribuan orang satu per satu menerima map yang cuma maju ke panggung acara sekitar 10 detik. Tapi nggak apa kok… semua itu harus kulakukan demi kebanggaan seorang ayah, yang anaknya menggunakan toga S2. Padahal dikantor aku cuma pegawai rendahan yang pangkatnya sudah mentok, karena nggak kuliah.

Datang ke acara sengaja mepet waktu, di sekitar komplek kampus UI Depok sudah mulia macet,  buat memarkirkan mobil saja susahnya setengah mati. Pas masuk kedalam ruangan acara, rombongan Pembesar Universitas masuk, kelihatan disitu Rektor, Mahaguru, Dekan, Pejabat Rektorat serta pejabat teras universitas berjalan diiringi musik yang disajikan secara live. Mereka seperti para dewa yang sedang konvoi, anggun sekali dengan toga warna hitam, ber-asesoris warna warni cetar membahana.



Upacara dibuka oleh sambutan Rektor, setelah melalui beberapa rangkaian  acara para wisudawan maju kedepan untuk menerima ijazah. Karena aku datang belakangan mepet waktu, jadi dapat tempat duduk yang paling belakang. Namun karena teknologi semakain canggih, aku dapat melihat jalannya prosesi wisuda dari monitor yang dipajang disekeliling Balairung dengan jelas. Oh ya saat wisudawan terbaik diberi ijazah, gambar orangtuanya pun di shoot live terus terpampang dilayar. Orangtua yang bukan wisudawan terbaik, sorry ya nggak di shoot karena nggak penting. Makanya aku langsung bilang ke adiknya Deny, nanti kakalu kuliah lagi jadilah wisudawan terbaik, biar papa dan mama di close up gambarnya, so satu gedung bisa ngeliat tampang orangtuamu. Hik..hik..narsis abissss.!

Ahhhh tapi nggak juga, aku nggak mau anakku seperti itu. Emangnya kalau jadi wisudawan terbaik dan punya IPK tinggi, kan belum tentu punya akhlak yang tinggi. Biarin biasa-biasa aja yang penting anakku bermoral baik dan akhlakul kharimah, mulia, dan shaleh. Lagian juga aku bilang ke Deny nanti kalau sudah kembali kekantor jadilah pegawai yang baik, berdedikasi, loyal dan berintegritas. Sebab sekarang banyak sekali sarjana yang ada diberbagai kantor kerjanya cuma duduk-duduk, kalau ada waktu senggang main gaple, ngobrol yang nggak penting dan main game di computer. Banyak sarjana yang nggak jujur dan nggak punya integritas, banyak juga sarjana yang korupsi sebab waktu kuliah bapaknya mungkin ngebiayain anaknya pake uang yang nggak halal.

Mudah-mudahan anakku Deny menjadi orang yang berguna, yang dapat memutus kemiskinan dan kebodohan dalam keluarga. Kue dalam kotak yang diberi oleh Panitia siang itu menjadi perlambang bahwa untuk meyekolahkannya perlu perjuangan dengan berhemat, kegigihan dan kasih sayang keluarga. Makanya wisuda Deny kali ini nggak perlu dirayain dengan berlebihan, hanya ucap syukur yang kupanjatkan pada Allah SWT. Semua harus lebih sederhana, apa adanya namun tetap nggak kehilangan makna. Apalagi mengingat pesan Rektor-nya saat sambutan tadi, bahwa semangat membangun bangsa harus diwujudkan dengan kontribusi dalam memberantas korupsi, memperkecil ketimpangan ekonomi dan beretika sosial, serta meningkatkan kompetensi dan profesionalitas agar mampu bersaing dimasa depan, baik nasional maupun global.


Rabu, 26 Agustus 2015

Efisiensi dan Efektifitas Kerja

Tujuan utama dalam mempelajari manajemen ialah guna memperoleh suatu cara atau metode yang sebaik-baiknya dilakukan, agar dengan sumber-sumber yang sangat terbatas (modal, tenaga kerja, sarana, prasarana, bahan-bahan, metode kerja, waktu) dapat diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Atau dengan menggunakan dana seminim-minimnya untuk memperoleh hasil guna yang optimal.



Dengan kata lain efisiensi ialah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluar (output) atau antara daya usaha dan hasil . Efektivitas ialah pencapaian tujuan yang dikehendaki tanpa menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, pikiran, alat-alat yang telah digunakan. Jadi yang dipentingkan adalah hasil dan tujuan tanpa memperdulikan faktor yang telah dikeluarkan betapapun besarnya. Oleh karna itu bisa dimengerti bahwa apa yang dianggap efektif belum tentu efisien. Sebaliknya kegiatan yang dijalankan secara efisien pasti efektif, karena dalam upaya pencapaian tujuan senantiasa didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan yang cemat.

Sungguh sukar dibayangkan bila ingin mencapai sesuatu yang dikehendaki hanya berpegang pada salah satu prinsip saja apakah efisien atau efektif. Karna prinsip manapun dipilih, tidak akan memberikan kepuasan. Itulah sebabnya mengapa pada setiap usaha pencapaian sasaran selalu diupayakan secara efisien dan efektif. Artinya mendapat hasil yang dikehendaki secara efektif dengan jalan memanfaatkan segenap dana dan daya serta sumber-sumber lain secara efisien.



Seringkali buruh ataupun pekerja secara individu merasa tidak puas dan resah. Hal ini disebabkan karena buruh ataupun pekerja disamakan dengan sebuah mesin yang efisiennya bisa dikalkulasikan secara ilmiah. Sedangkan efisiensi kerja ini sering dipengharuhi oleh sarana fisik antara lain adanya gerakan fisik yang tidak efektif dan berlebihan.

Maka  darii tu buruh atau pun pegawai menjadi tidak efisien. Kelelahan dianggap sebagai “PUNCAKNYA” kondisi fisiko khemis dari tubuh yang diakibatkan oleh produksi-produksi yang berlebihan, sehingga perlu istirahat. Lalu adanya kekurangan pada lingkungan fisik dalam bentuk cahaya lampu yang kurang terang, udara yang pengap, terlalu lembab, kurang ventilasi, ruang gerak yang kurang luas, upah minimum, dan kekurangan kondisi fisik lainnya.

Namun dari pengalaman manapun penelitian-penelitian para pakar-pakar manajemen ternyata masih banyak lagi faktor lain yang lebih besar pengaruh dari kondisi fisik yang biasa mempengaruhi efisiensi kerja. Misalnya masalah emosi dan sikap pegawai/buruh terhadap tugas pekerjaannya dan terhadap tim kerja ataupun kelompok kerja. Misalnya  dengan pendekatan dan ajakan partisipasi aktif , seorang manajer berhasil menyusun tim kerja yang baik oleh pendekatan dan ajakan partisifasi aktif, seorang manajer berhasil menyusun tim kerja yang baik. Oleh pendekatan secara langsung dari manajer tadi, semua orang dari tim tersebut merasa “TERANGKAT” sehingga masing-masing  menjadi lebih bertanggugjawab terhadap tugas dari pada waktu sebelumnya.



Sikap mereka berubah secara total yaitu dari anggapan bahwa masing-masing orang secara individu doperlukan sebagai “ONDERDIL MESIN”, berubah menjadi satu tim yang saling bekerja sama dan bersedia membantu perusahaan dalam memecahkan suatu masalah rumit, yaitu meningkatkan produksi. Dalam suasana kerja sama tersebut masing-masing orang akan menemukan stabilitas,  merasa dianggap sebagai warga dan bisa kerja dengan senang hati. Sehingga meraka rela bekerja lebih keras dan lebih baik dari pada semula. Jelas bahwa disamping fungsi ekonomisnya, perusahaan mempunyai fungsi sosial yaitu menciptakan dan mendistribusikan kepuasan manusiawi dan kesejahteraan.

Buruh itu biasanya lebih memberatkan masalah relasi dengan teman sekerja dari pada jumlah uang yang diterima. Gaji besar belum tentu biasa menjamin kepuasan batin. Realitas menunjukan bahwa para pekerja pada dasarnya secara primer tidak melulu dikuasi motif ekonomis saja. Sebab dibalik perencanaan semua bonus dan efisiensi, para buruh dan pegawai itu dikuasi oleh dorongan batiniah yang sangat kuat untuk  mencari suatu tempat yang menyenangkan untuk dipakai sebagai alas berakar, mencari sekuritas untuk diterima menjadi bagian bagian yang terintegrasi dari satu unit, dan bisa berfungsi atau memainkan suatu peran sosial tertentu. Disitulah dia bisa menemukan arti dari pada karya/kerjaannya dan menghayati makna dari hidupnya.


   

Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pengembangan sumber daya manusia adalah suatu proses sitematis untuk mengubah kemampuan serta perilaku Pegawai kearah peningkatan pencapaian tujuan organisasi. Program ini biasanya dilakukan oleh pihak manjemen untuk memberikan kesempatan kepada Pegawai memperoleh peningkatan kemampuan dan ketrampilan serta perubahan perilaku/sikap yang lebih baik dalam melakasanakan pekerjaan. Di Bank Indonesia (BI) program pengembangan ini lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Mutu Ketrampilan (PMK).



Berbagai jenis pengembangan sumber daya yang dapat dilakukan antara lain training, baik yang dilakukan di dalam kelas maupun pendidikan praktek kerja-on the job training(OJT). Pendidikan didalam kelas merupakan pendidikan klasikal dimana seorang pengajar berhadapan dengan sejumlah peserta dalam kelas. Sedangkan OJT dilakukan apabila peserta diterjunkan untuk belajar di Satuan Kerja (Satker), mengenai pekerjaan yang dilakukan di satuan kerja bersangkutan.

Selain dari itu ada juga berupa coaching, yaitu upaya seorang atasan untuk mendidik dan mengembangkan bawahan dalam penguasaan pekerjaan dalam sebuah unit kerja secara berkesinambungan. Lalu ada lagi Counseling yang merupakan upaya untuk merubah watak, sikap atau perilaku Pegawai yang negatif menjadi positif, serta dapat menunjang pencapaian tujuan organisasi dengan sebaik-baiknya.



Ada juga pengembangan peningkatan pengetahuan Pegawai yang dilakukan dengan melakukan job rotation, yang dilaksanakan melalui pertukaran bidang tugas masih dalam satu Satker. Serta Job mutation yaitu melakukan pengembangan SDM Pegawai melalui penambahan pengalaman di bidang tugas lain dengan cara pemindahan Pegawai ke Satker yang berbeda.

Pengembangan SDM dengan berbagai cara demikian selain diperlukan bagi kepentingan lembaga, tidak terlepas dari kepentingan individu Pegawai sebagai anggota dari lembaga yang bersangkutan. Kepentingan lembaga bisa dilihat dari pencapaian produktifitas, keuntungan, pencapaian tujuan dan perluasan usaha. Kepentingan individu Pgawai dapat diamati dari kepuasan kerja, perasaan keamanan, pengembangan diri serta integrasi pekerjaan dan keluarga.



Secara ideal, pencapaian kepentingan lembaga harus sejalan dengan kepentingan individu Pegawai. Perpaduan kepentingan secara menguntungkan bagi kedua belah pihak dikenal dengan istilah harmonisasi. Proses tersebut berupa pemanfaatan SDM, pengembangan, kesempatan berprestasi, penilaian prestasi, kepastian jenjang karir dan promosi.

Dari proses harmonisasi, dapat dilihat bahwa dalam menilai keberhasilan atau kegagalan pencapaian kepentingan lembaga dan individu Pegawai, perlu alat pengukurterhadap peranan dari individu Pegawai yang tercermin dalam prestasi kerja. Dengan kata lain lembaga harus mempunyai alat pengukur prestasi kerja pegawainya. Oleh karena pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga pada umumnya tidak dalam suatu jangka yang pendek, bahkan bisa puluhan tahun. Maka dari waktu ke waktu kemampuan dan perilaku pegawai selalu harus dikembangkan melalui cara-cara training, coaching, counselling dan sebagainya.

Kemampuan perilaku tersebut diukur secara berkala dengan membandingkan antara perestasi yang telah dimiliki seorang pegawai dengan standar kerja yang telah ditetapkan lembaga untuk setiap tugas. Mengapa standar kerja perlu ditetapkan..? Karena tidak ada sesuatu yang baik atau buruk, kerap atau jarang, menguntungkan atau merugikan, cepat atau lambat. Sebab standar merupakan pernyataan keadaan yang akan ada apabila suatu tugas atau tanggung jawab dinilai memenuhi syarat. Standar juga merupakan batas minimum dapat diterimanya suatu prestasi, jika dibawah merupakan kegagalan namun jika diatas maka itu adalah keberhasilan.



Pegawai pasti menyadari bahwa setiap aspek yang dikerjakan, tidak akan masuk dalam penilaian prestasi jika hal itu tidak tercakup dalam standar atau tercakup dalam standar namun sudah usang. Dengan standar yang baik maka pengukuran prestasi akan lebih terarah dan ojeltif. Dan dengan membandingkan prestasi vs standar, dapat diidentifikasikan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia untuk kepentingan lembaga dan individu bersangkutan.

Untuk memperoleh hasil yang baik dalam mengembangkan suatu sistem yang terkait sumber daya, maka harus diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1.    Tentukan program yang cocok dengan suasana organisasi, harus konsisten dengan filosofi, metode operasi dan tujuan lembaga.
2.    Mendapat dukungan pimpinan puncak (top management)
3.    Tentukan kebutuhan yang diperlukan
4.    Libatkan pengguna dalam membuat design
5.    Pengujian program
6.    Kembangkan kebijakan, prosedur dan petunjuk pelaksanaan dalam bentuk penilaian (survey)
7.    Melatih supervisor
8.    Memberi orientasai kepada bawahan yang dinilai
9.    Melaksanakan program

Apabila beberapa hal ini sudah dijalankan, mudah-mudahan program pengembangan yang bentuknya seperti PMK dan lain sebagainya akan menjadi efektif. Peserta diharapkan mengikuti program bukan hanya sekedar menggugurkan kewajibannya, namun benar-benar dituntut untuk mengembangkan kemampuan individu guna kepentingan organisasi. Sehingga hasil dari PMK sendiri seharusnya dapat mempengaruhi seseorang untuk promosi, bukan hanya selembar ijazah yang menjadi latar belakang pendidikannya saja. Pengembangan sunber daya manusia seperti ini hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh identifikasi yang tepat melalui keterbukaan dan metode pengukuran prestasi yang tepat dan obyektif.


Senin, 24 Agustus 2015

Mari Tersenyum

Ini adalah masa-masa sulit. Angka pengangguran bertambah. Lalu lintas semakin tidak kondusif. Polusi semakin pekat. Banjir mengancam. Otoritas tidak bisa dijadikan pegangan. Kondisi ekonomi sulit diprediksi. Kebenaran semakin tidak terang. Ketidaksiapan menghadapi bencana, membuat kita menyaksikan semakin banyak orang menderita. Ini benar benar ‘crunch time’. Banyak orang stres. Seorang ahli manajemen, Gerben A. van Kleef menyatakan bahwa ‘mental fatique’ atau kelelahan mental seorang pemimpin dalam masa-masa sulit, sering justru makin menyebabkan  terperosoknya semangat  orang di sekitar kita, anak buah atau bawahan lebih dalam.



Sekarang memang saatnya menentukan sikap dan tindakan. Inginkah kita terus meratap, menyalak dan meraung? Seorang teman, dalam keadaan Negara yang galau ini malah mengirimkan pesan teks ke saya: Enjoy your moments of truth”. Kalimat sederhana itu seketika membuat saya tergugah. “Bukankah kita masih bisa mensyukuri banyak hal, mengupayakan banyak hal, mempertimbangkan pelanggan yang menunggu servis kita, memuaskan ‘stakeholders’ kita, membangun generasi muda kita, melakukan “coaching”, dan begitu banyak pe –er di depan mata yang tidak bisa kita hindari? Kita pun bisa bertanya sendiri : “Apa yang kita dapatkan dengan bersungut-sungut? “,“Apa dampaknya kalau kita terus meratap dan meraung?”. “Sadarkah kita bahwa emosi menular dan anak buah atau bawahan bisa jadi ketularan turun semangat?” Seorang atasan atau pemimpin yang baik, perlu memiliki kemampuan  menghidupkan semangat  tim dan bawahannya  dalam keadaan segalau dan sekritis apapun.  Ingat bahwa emosi orang di sekitar kita adalah tanggung jawab kita juga.  

Investasi Emosi  
Dalam menyelesaikan pekerjaan, kita memang harus  fokus pada tugas dan hasil kerjanya. Sangat wajar bila kita kemudian mengabaikan emosi  individu. Ada manajer yang berkomentar:” Terlalu mewah untuk mempedulikan emosi anak buah di masa-masa sulit begini. Yang siap ikut, ya, ikut. Yang tidak bersedia, kita tinggal sajalah!”. Padahal, bila dipikir-pikir, ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, kita tidak pernah bisa mengingkari bahwa  individu yang bagus adalah asset. Hanya dalam keadaan emosi yang stabillah ia bisa berkinerja dobel. Hal kedua adalah, sebagai pemimpin, kita tentunya tidak ingin mentalitas dan emosionalitas anak buah merosot, bukan? Sebab itu berarti spirit dan energi dalam lingkungan kerja, cepat atau lambat akan terpengaruh ke arah yang negatif juga. Kalau sudah sampai di titik terendah, akan sulit sekali untuk mengangkatnya kembali. Suasana emosi  kelompok yang  sudah terlanjur skeptis dan pesimis  bahkan bisa jadi tidak bisa diperbaiki dengan uang. 

Dalam keadaan terpuruk di mana ‘reward’ finansial sulit disediakan, kita justru perlu melipatgandakan investasi emosi yang bahkan bisa tidak makan biaya sama sekali. Spiritnya adalah mengembangkan hubungan manajemen – karyawan, atasan – bawahan, antar tim dan divisi yang berkualitas dan positif. Kita tentu bisa merasakan bahwa investasi emosi akan memperbaiki hubungan, meningkatkan dukungan, juga mengembangkan rasa percaya. Keadaan emosi yang positif ini sulit sekali dibentuk secara instan. Bagaimana investasi emosi ini ditumbuhkan? Ia datang sebagai hasil apresiasi, sambung rasa, perasaan didengarkan, dilibatkan, diperhitungkan dan juga kebebasan berpikir dan bertindak. Emosi positif yang terpancar akan menjadi penyejuk dan penyemangat. Kemampuan tim untuk menyelesaikan masalah, mengambil keputusan pun otomatis jauh lebih baik, karena mempertimbangkan “concern” yang bisa menjadi dukungan satu sama lain.  

Keceriaan: Pembangkit Energi
Seorang eksekutif kenalan saya sering menggunakan istilah ‘holding hands’ dalam upayanya menjaga enerji rekan rekan kerjanya. “Dalam krisis begini, tidak ada yang bisa menjamin ‘job security’. Satu-satunya cara agar teman-teman yang masih ada dalam tim tetap berupaya dan berkinerja adalah rasa kebersamaan dan keyakinan untuk  berbagi susah dan senang.” Sebagai pemimpin, kita tentu tidak boleh lupa, bahwa kitalah yang punya tugas untuk menjadi penyemangat, penggerak, pendorong atau ‘cheer leader’. Mau tidak mau, pemimpin adalah pusat emosi kelompok. Sikap ‘gloomy’ atau cemberut berlarut-larut yang kita tampilkan, pastilah tidak akan bisa ‘mengangkat’ emosi dan enerji orang di sekitar kita. Hanya dengan menularkan keceriaan, asa keterpurukan bisa kita angkat.

Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam satu acara diskusi dengan sekelompok pemimpin satuan kerja, seorang peserta berkomentar mengenai visinya untuk pengembangan manusia: Saya ingin mengajak anak buah saya, melihat titik terang di kejauhan, dari  lorong yang gelap”. Ungkapan ini spontan mengundang tepuk tangan teman teman peserta diskusi. Sungguh sesuatu yang menyegarkan. Kita tahu bekerja keras, menyelesaikan proyek, mengabdi, berjuang, bisa menjadi kegiatan yang berat dan sekaligus ‘fun’. Kita bisa berfikir kreatif  bagaimana membuatnya ‘fun’. Dalam situasi “sulit”, hanya orang-orang yang fanatik dan antusias mengenai kehidupanlah yang masih bisa mengajak lingkungan sekitarnya tersenyum, bagaimana pun keadaan emosi dirinya. Orang-orang seperti ini pasti meyakini  bahwa “good things will happen, good things do happen.". Tersenyumlah, karena ia membawa aura positif.(Expert :ER&SS)


Komitmen Tahun Baru

 “Apa resolusi Anda?” Pertanyaan ini banyak beredar di seputar pergaulan kita, terutama saat memasuki tahun baru, seperti sekarang ini. Banyak orang yang kemudian menjawab dengan membuat komitmen standar atau sekedar basa-basi. Dan, ada juga yang terkejut karena pertanyaan itu, tidak hanya mengingatkan untuk senantiasa ‘bergerak’ dan mendesain masa depan, tapi sekaligus juga bisa ‘menjewer’ kita yang melihat pergantian tahun sebagai sebuah ‘milestone’ untuk mengevaluasi diri. Di dalam salah satu pelatihan, ada peserta yang berkomentar,”Saya ingin berubah, tetapi tidak tahu kapan…”. Nah, inilah salah satu ”timing” terbaik yang kita punyai untuk membuat ”turn around” tanpa banyak mengundang tanya dari orang di sekitar kita.


 

Orang yang ”komit” - yang mempunyai kebiasaan dan keberanian mengeluarkan komitmen, biasanya sadar bahwa ia tengah mengkaitkan keadaan sekarang dengan keadaan di masa mendatang. Komitmen seolah sumbu yang menjadi jangkar penghubung kondisi sekarang dengan kondisi yang belum pasti. Lewat komitmennya, ia berkata “Apapun yang terjadi, saya akan...”. Sebaliknya, dalam kondisi sekarang yang ruwet dan semrawut begini, kita bisa-bisa memang takut melihat “future”. Komitmen pun bisa jadi melemah. Sampai-sampai ungkapan religius “InsyaAllah” digunakan orang untuk menyatakan “no committment”.

 

Kondisi-kondisi “uncertain”, “unpredictable” juga sering membuat hati gundah dan berakibat “tidak beraninya kita untuk komit apa–apa”. Belum lagi kalau kita melihat sangat jauh ke depan:“Bagaimana iklim di tahun 2030?”, “Bagaimana usaha, kalau bisnis  sudah mengglobal?“. Kondisi yang tidak jelas ini sering menyebabkan kita beranggapan bahwa komitmen bisa jadi “senjata makan tuan” bagi kita, karena akan membuat kita berada dalam posisi yang sulit bila tidak bisa memenuhinya. Pertanyaannya, bisakah kita hidup tanpa komitmen?


Komitmen Memperjelas Sasaran
Di perusahaan, komitmen awal tahun memang lazim dilakukan oleh para pimpinan dan CEO. Tentunya seluruh anggota tim menyadari bahwa komitmen tersebut dibuat  melalui ”pikir panjang dan mendalam” dari top manajemen untuk menentukan ”way of success” perusahaan di masa depan. Komitmen akan mengunci fokus perusahaan, sehingga karyawan bisa lebih mengarahkan tindakan dan keputusan pada apa yang diinginkan oleh
para pemimpin.
 
”Statement-statement” awal tahun yang biasanya ”beda” dan merupakan ”BANG!” bagi karyawan sebetulnya memang bisa membuat karyawan lebih mengerti tentang masa depan perusahaan yang otomatis akan menjadi masa depan mereka juga. Katakanlah perusahaan yang punya komitmen untuk ”bermain” di regional mulai tahun depan, akan membuat karyawan sah punya angan-angan ditempatkan di Bangkok, Vietnam dan menjadi pekerja global. Bahkan para stakeholder, vendor pun akan tertarik untuk lebih erat bekerjasama dengan kita bila komitmen jelas. Ingat ketika IBM memproklamirkan niatnya untuk kembali ke PC?  Komitmen ini berhasil mengundang para mitra bisnis sistem maupun “hardware” kembali berlomba bekerja sama menunjang bisnis IBM sampai sukses.

Komitmen Mengandung Fungsi “Perekat”
Bagi perusahaan, yang memang selalu perlu memikirkan bisnis, bukan hari ini saja, tetapi juga di masa mendatang, komitmen memang sangat diperlukan. Bahkan kita langsung bisa membedakan antara perusahaan yang pemimpinnya punya komitmen akan apa yang sudah dia canangkan dengan yang tidak.  Pimpinan perusahaan yang sudah komit untuk menghitung bonus berdasarkan penghitungan kinerja, tetapi tiba-tiba melanggarnya sendiri dan kembali ke cara “suka-suka” akan kehilangan “trust” karyawan. Dengan sendirinya kontribusi karyawan ke perusahaan pun akan terbatasi.

Disadari atau tidak, sebuah komitmen membuat kita “bisa dipegang” sekaligus mengikat kita pada apa yang sudah kita rencanakan. Berarti, selain merekatkan keadaan sekarang dengan masa depan, komitmen juga merekatkan kita pada orang yang menyaksikan atau diberi janji.

Komitmen Mentransformasi
Siapa yang mau berada di dalam keadaan status-quo atau ”comfort zone”? Setiap perusahaan pastinya sadar akan adanya keharusan melakukan “shifting” demi  teknologi, perkembangan regulasi dan kompetisi. Namun demikian, siapa pun menyadari bahwa berubah itu berat. Komitmen pimpinan perusahaanlah yang akan meringankan langkah  para karyawannya menuju perbaikan. Dalam keadaan terpuruk, komitmen atasan pada hal yang diyakininya yang akan membawa semangat, energi dan gairah karyawan.

Komitmen Selalu Personal
Sebesar-besarnya  komitmen, seperti komitmen JF Kennedy bahwa suatiu saat Amerika adalah negara pertama yang menginjak bulan, komitmen tidak bisa mengatasnamakan institusi. Komitmen ke bulan tetaplah komitmen JF Kennedy.  Untuk itu,  individu yang menyatakan komitmen perlu memperlihatkan wajahnya dengan jelas ketika menyatakannya. Tidak bisa menyatakan komitmen sambil membuang muka, karena komitmen adalah janji dan keputusan pribadi yang sangat kelihatan, kendati dibuat dengan mengatasnamakan perusahaan, lembaga, ataupun negara. (Expert : ER&SS)


K e r j a

Banyak orang mengklaim pekerjaan sebagai sumber utama stres. Atasan yang tidak mau kompromi, pekerjaan yang menumpuk, klien yang menuntut, persaingan bisnis yang sadis adalah beberapa gambaran klise suasana dunia kerja. Terasa semakin sulit menemukan ‘comfort’ di tempat kerja. Mendapatkan suasana tim kerja yang mesra jadi begitu langka. Salah satu direktur di perusahaan klien, bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menghidupkan suasana rapat yang melempem.



Rapat diwarnai sajian data rutin saja, tidak ada antusiasme seolah tidak ada persaingan dan tidak ada tantangan lagi yang bisa dibicarakan. Lucunya, dalam situasi informal, seperti makan siang di kantin, sikap dan aura langsung berubah menjadi mesra. Setiap orang terasa meng-enjoy temannya dengan baik. Kita tentu bertanya-tanya, inikah yang dinamakan motivasi kelompok alias “morale” dalam organisasi? Melihat kenyataan bahwa ‘kerja’ membuat suasana tidak hangat, bukankah kita juga langsung khawatir  bahwa tenaga-tenaga muda yang bersemangat akan merasa ‘tidak nyaman’ dalam suasana yang tidak bermotivasi begini? Sudah pasti situasi ini tidak akan menguntungkan bagi individu, tim dan organisasi.

Investasikan Emosi
Teman saya berkomentar tentang motivasi kelompok:”Wah sulit juga ya.  Menjaga motivasi satu orang saja sulit apalagi satu kelompok”. Benarkah itu? Apakah dalam sebuah pasukan yang sedang berperang, ada persyaratan agar semua orang ‘happy’ dulu baru kelompok bisa maju? Ternyata tidak seperti itu situasinya. Seorang ahli manajemen mengatakan : “good “morale” does not require people to be happy”. Syarat utama tumbuhnya “morale” kelompok adalah bahwa anggota kelompok mengkontribusikan emosinya ke dalam kelompok. Kontribusi emosi individu dalam kelompok ini jauh lebih penting daripada menghitung kinerja masing-masing individu di kelompoknya, karena justru emosi kelompok inilah yang melipatgandakan kinerja tanpa perlu ada pemaksaan. Seorang atasan pernah berpesan pada orang yang baru direkrut:”Kontribusi Anda di sini bukan saja kepada hal hal yang sudah tercantum dalam Key Performance Indicator saja, tetapi juga  pada  emosi  Anda. Ini akan menghasilkan fokus dan dedikasi yang  lebih baik”.

Mudahkah itu? Bukankah lebih mudah menyebarkan virus “Thanks God it’s Friday” atau “ Hore, libur tlah tiba”. Bukankah lebih cepat mengumpat pelanggan yang memperlakukan kita  tidak manusiawi atau bahkan menyindir manajemen yang tidak bijaksana dan berat sebelah? Namun, apakah malah tidak menjadikan pekerjaan kita semakin melelahkan bila kita berfokus pada perasaan negatif dan menuntut kelompok atau perusahaan membuat kita happy? Bagaimana pun, kita perlu sama-sama berpikir dan mengatur strategi untuk membuat kerja kita lebih hemat energi dan lebih enjoyable. Mengkontribusikan emosi secara total dalam bekerja, memberi peluang kita melipatgandakan energi, sehingga kita tidak enggan untuk melibatkan pikiran dan memeras otak saat bekerja.

Mengelola Harapan
Teman saya yang berhasil menjaga “morale” kelompok di perusahaannya yang berskala menengah mengatakan: Kita betul-betul perlu meyakinkan bahwa apa yang kita harapkan terbaca oleh seluruh karyawan, sampai pada penjaga pintu di garda depan. Harapan ini bukanlah sekedar harapan akan melipatgandakan keuntungan atau mencapai target penjualan. Namun, harapan positif bahwa pekerjaan akan membuat hidup mereka lebih baik. Ternyata, semakin karyawan dituntut  bahkan didera  oleh harapan yang positif, mereka justru bersemangat untuk mengikutinya. Ambil contoh karyawan yang sedang mengikuti program training yang intensif. Selain tetap berkontribusi  dalam bekerja, ia pun tidak keberatan untuk begadang membuat pe-er atau tugas-tugas tambahan sebagai bagian dari program training. Ini membuktikan bahwa semakin didera seseorang bisa semakin bermotivasi.

Kita juga sering lupa bahwa komunikasi yang intensif antara atasan-bawahan merupakan sumber spirit yang manjur. Bila atasan jarang menegur, bawahan malah bisa semakin tidak peduli terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, bila seseorang di tegur habis-habisan karena sikap ‘tidak peduli’, dengan fokus pada kepentingan diri pribadinya, ia tentu tidak bisa mengelak atau berdalih macam-macam. Dalam situasi sulit ataupun mudah, kita perlu biasakan untuk menegur. Bukan hanya bila ia tidak menyelesaikan tugas, namun termasuk menegur individu yang tidak memperingatkan temannya ataupun individu tidak tahu bahwa temannya sedang kesusahan.

Komunikasi yang tampaknya biasa dan ‘taken for granted” ini sangat penting untuk kita fokuskan bila ingin semangat kelompok terpelihara. Bukankah kita sering menyaksikan atasan yang tidak sanggup mengkonseling anak buah yang mendapat angka angka merah dalam rapor kinerjanya. Padahal tugas atasan adalah mengembangkan anak buahnya. Komunikasi dalam manajemen adalah suatu hal yang kritikal. Tidak mungkin kita mengelak untuk menyampaikan berita yang kurang enak dengan mengatakan:”bapak sajalah yang menyampaikan. Kalau saya pasti tidak dipercaya” . Ini adalah suatu gejala buruknya atmosfir perusahaan. Bagaimana mungkin mencapai tingkatan “morale” “everybody wins” kalau kita tidak bisa mengubah kelemahan menjadi kekuatan seseorang?

Dalam artikelnya “Building “morale” is Good Management”,  Arthur F. Hull Jr. mengatakan bahwa ‘reward’ pun perlu dipertimbangkan dalam pembentukan motivasi. Tidak ada salahnya atasan atau manajemen memikirkan keuntungan bagi karyawan dari setiap kebijakan yang diambil. Apakah itu penggantian seragam, tukar atasan, diskon karyawan dan berbagai kebijakan yang bisa merangsang perbaikan suasana. Bicara mengenai stress dipekerjaan, justru stres itu juga perlu diciptakan agar supaya ‘excitement’ terasa seperti halnya kita baru masuk kuliah atau kerja. Menegangkan, tetapi mengasyikkan.(Expert : ER&SS)


Kerja Tim


Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim. Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi. Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja di  bawah mereka  menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain. Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?



Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya, mengapa kerja tim bisa melempem?

Menciptakan  ‘Chemistry’
Seorang teman saya mempertanyakan, apakah tidak eratnya kerja tim disebabkan tidak adanya ‘chemistry’ diantara anggotanya? Pertanyaannya kemudian disusul dengan pertanyaan standar: “Apakah kita perlu pelatihan “outbound’ lagi?” Meskipun kita bisa merasakan keakraban dan pemahaman yang lebih baik mengenai anggota tim melalui program outbound yang singkat, namun pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita tidak meyakini bahwa kita bisa menciptakan koneksi dengan orang lain dan meracik ‘chemistry’ dalam keseharian kita di tempat kerja? Pepatah lama mengatakan: There are no misunderstandings; there are only failures to communicate”. Dari sini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tidak bisa mempermasalahkan buruknya ‘chemistry’ di antara sekelompok orang jika kita belum secara sungguh-sungguh berupaya membuat koneksi yang berkualitas.

Teman saya berkelakar, “masak kalah sama semut. Semut saja bila bertemu dengan sesamanya meluangkan waktu sejenak untuk bertegur sapa”. Bagaimana dengan kita? Bukankah kita banyak membuang kesempatan untuk membangun koneksi, apakah itu saat bertemu di dalam lift, berpapasan di jalan,  bertegur sapa di pagi hari, bahkan saat harus berdiskusi mendalam untuk memecahkan masalah, membahas “daerah abu-abu” ataupun mengkomunikasikan komitmen yang perlu diangkat. Jangankan orang yang baru dalam tim, kita bahkan seringkali absen membangun koneksi dengan orang yang sudah hidup dan bekerja sama selama bertahun tahun.

Seorang peserta pelatihan berkali-kali menekankan pentingnya respek dalam membangun koneksi. Saya juga setuju bahwa apresiasi bisa kita tunjukkan tanpa pujian yang melambung, tetapi lebih pada upaya untuk memahami lawan bicara dan berusaha menggali ‘point’-nya. Banyak orang merasa kikuk untuk membina hubungan akrab di tempat kerja, bahkan menganggap hal itu hanya diperlukan dalam hubungan informal dan hubungan kekeluargaan di luar bisnis. Upaya  pendekatan ke orang lain, terkadang dinilai hanya dibutuhkan oleh para salesman dan humas. Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah kegiatan yang mengarah pada hal-hal yang feminin. Padahal, banyak sekali potensi dan kesempatan yang bisa kita raih demi kebersamaan tujuan, asal kita mau sedikit berusaha untuk membangun koneksi satu sama lain. Bukankah kita sama sama menyaksikan, bahwa hal yang paling ditekankan oleh menteri keuangan RI yang baru adalah semangat tim Departemen Keuangan, sebelum masuk ke substansi  bisnisnya?

KEJELASAN
Kita pasti bisa merasakan bila spirit individu dalam tim mengendur. Banyak orang yang tidak mengerti mengapa personil yang pandai-pandai dan berdedikasi, bisa tiba-tiba kehilangan semangat berbagi informasi, tidak disiplin, malas ber-brainstorming dan seolah tidak henti memikirkan kepentingan diri sendiri. Seorang karyawan yang berada dalam situasi itu berkomentar,”Kalau dalam tim, satu orang dengan yang lain tidak jelas tentang  standar kualitas dan tindakan yang harus dilakukan, serta kabur akan sasaran kelompok, bagaimana kita akan menyerahkan pikiran dan hati sepenuhnya pada tim?”

Tidak jelasnya prinsip dan arah perusahaan atau lembaga, memang sering menyebabkan spirit kelompok menjadi kendur. Apalagi bila atasan pun mencla-mencle, tidak mengedepankan koordinasi, bahkan sedikit-sedikit mengadu domba. Orang hanya bisa menjadi ‘selfless’, bila tujuan organisasi sangat ‘clear’. Itu sebabnya, kita melihat turunnya semangat kerja tim pada perusahaan yang sedang terguncang  dan tidak memperjelas keadaan pada masa-masa krisisnya.  Sebaliknya, organisasi yang bertujuan jelas, bisa dengan mudah meningkatkan kerja tim dan bahkan menciptakan  kompetisi seru antar  kelompok-kelompok, baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan substansi bisnisnya maupun  di luar itu.
  
Bila individu satu sama lain sudah terkoneksi melalui rasa percaya dan jelas terhadap tujuan kelompok dan organisasi, tentu tidak butuh energi besar untuk mendorong tim mencapai kinerja terbaik. Bahkan, kita pun tidak usah terlalu khawatir untuk mem-“bolak-balik” atau meng-“gunting copot” individu dalam tim, karena secara otomatis tim punya kekuatan untuk dengan cepat me-“reorganize” dirinya kembali.(Expert :ES&SS)






Etika Bisnis

Sebuah diskusi seru terjadi saat kami membicarakan perlunya karyawan menampilkan ’professional honesty. Dalam bisnis di mana semua orang punya tujuan yang sama, yaitu laba dan ada kelaziman untuk menghalalkan berbagai cara demi laba, kami mendiskusikan, bisakah perusahaan menggariskan dan menegakkan ’professional honesty’ dengan tegas? Sejauh manakah individu dapat mengatakan hal yang sebenarnya, tanpa takut dipecat atau tidak mendapatkan proyek? Bila seorang salesman ditanya oleh kliennya, apakah ia bisa menjamin bahwa barang akan terpasang dalam 1 bulan, haruskah ia mengatakan bahwa ia ragu? Bagaimana menyatakan “tidak” untuk proyek yang menggiurkan namun berpotensi untuk melakukan hal yang merugikan masyarakat luas, lingkungan , bahkan negara? Kita lihat bahwa praktik menjunjung tinggi etika memang berat, apalagi untuk orang  atau organisasi yang tidak meyakininya.



Kita sadari bahwa standar tinggi dalam panduan perilaku organisasi atau profesi sering jadi sulit diyakini dan dianggap tidak memadai karena seseorang hanya bisa dianggap menjunjung tinggi etika profesi kalau ia berlaku konsisten setiap saat. Buat seorang profesional yang bekerja sendirian, seperti dokter, ahli hukum, psikolog, insinyur, dan arsitek, menjaga etika memang sedikit lebih mudah, karena “Do‘s” dan “Don’ts” yang sudah digariskan sudah berbentuk perilaku yang dihalalkan dan tidak. Saat menghadapi situasi ‘abu-abu’, seorang professional juga lebih mudah bisa mengira-ngira, apakah tindakannya professional atau tidak, dengan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang akan terjadi bila semua orang dengan profesi yang sama seperti saya melakukan hal ini?” Dengan demikian, “rem” untuk melakukan hal yang tidak terpuji dan melanggar hak asazi manusia lain akan dengan sendirinya terpelihara.

Bagaimana dengan kita yang bergerak di dunia bisnis dan organisasi? Apakah mungkin kita menegakkan etika bisnis, di mana kita semua tahu bahwa semua orang mengejar tujuan yang sama yaitu laba. Kita tahu bahwa pekerjaan pebisnis sulit dikatakan sebagai profesi dan seringkali tidak memerlukan lisensi. Bila hari ini kita mau menjadi agen koran, maka kita tinggal mencari sedikit modal dan mengumpulkan beberapa calon loper dan menjajakannya, maka kita sudah jadi pebisnis. Begitu juga, kalau kita mau berdagang apa saja. Apakah kita mau mengambil untung yang pas-pasan atau mengambil untung banyak dan mencari pasar yang tidak kenal barang, itu semua pilihan. Kalau bisnis tidak berlanjut dan kita bankrut, tak ada orang yang mengevaluasi apakah binis itu dijalankan menurut etika atau tidak. Bila demikian halnya, seberapa pentingnya urgensi kita menegakkan bisnis yang beretika?

Nikmatnya Menjaga Etika
Pada suatu hari saya bertemu dengan kenalan saya, seorang mantan konglomerat yang masih “bermasalah” dengan utang BLBI. Terlepas bahwa teman kita ini masih “berduit”, bahkan masih mengembangkan usaha yang tidak kecil, tergambar kesuraman pada raut wajahnya. Tampak jelas bahwa Bapak ini tidak “happy”, mungkin karena tidak bisa mengangkat muka dengan tegar. Dari sini kita membuktikan bahwa bersikap etis itu membawa makna, rasa ”nyaman” dan kebahagiaan dalam kehidupan, dan sebaliknya, sikap tidak etis yang pernah dilakukan akan menimbun beban dalam diri seseorang.

Di sisi lain, kita sama sama sadar bahwa bila dalam berbisnis kita ingin menjunjung tinggi etika maka kita bisa jadi sulit berkompetisi. Banyak sekali orang yang menjadi ”pemain besar” dengan berkiprah   di area praktik ”legal tetapi tidak etis”, misalnya saja “memotong” kompetitor, menjelekkan kompetitor, atau berusaha memperoleh keterangan yang sebenarnya adalah data yang rahasia. Orang- orang ini tentunya memang jagoan dalam memenangkan bisnis, tetapi jelas sulit untuk menepuk dada dan menyatakan “Saya dan perusahaan kami menjunjung tinggi etika”. 

Kita mengenal betapa banyak pebisnis yang mempunyai “kekuatan” melakukan praktek – praktek yang secara legal sulit dibuktikan kesalahannya, tetapi mematikan pedagang  kecil, merugikan negara, dan jelas tidak “fair”. Namun sebaliknya tidak jarang juga  saya mengenal secara pribadi beberapa pebisnis, skala kakap ataupun teri, yang bisa dikatakan tetap menjunjung tinggi etika. Bahkan tanpa pendidikan formal yang hebat, teman – teman  pebisnis ini merasa “malu” bila tidak menepati janji, berhutang ataupun membangga-banggakan kehebatannya. Jadi ada juga kalangan pebisnis yang entah darimana belajarnya, sudah menjunjung tinggi harga dirinya dan berusaha untuk percaya, dipercaya, berkooperasi, tidak oportunistis, dan mati-matian menjaga “nama baik” dirinya dan perusahaan”. “Nama kan tidak bisa diganti. Sekali rusak, seumur hidup kita tidak dipercaya.”, demikian ujar teman saya seorang pebisnis.

Integritas sebagai Fitur Bisnis
Menciptakan perusahaan yang memanfaatkan etika bisnis sebagai aset dan daya tarik perusahaan tentunya tidak gampang dan jarang terjadi. Di tengah gaya kompetisi “red ocean” yang nyata-nyata membuat para kompetitor saling tiru, saling membunuh, banting harga sehingga berdarah-darah, CEO Mandiri, Agus Martowardoyo menekankan “values” sebagai prioritas perusahaan dan meyakini bahwa “value-creating strategy” adalah strategi yang menyebabkan perusahaan tidak bisa di “copy” oleh pihak lain. Dengan menekankan perilaku berbasis etika ini, perusahaan bisa men-”deliver” servis dengan cara yang lebih tulus, jujur dan tepercaya. Selain itu tempat kerja yang semakin “fun” dan “bersih” juga “menjual”, karena orang senang berbisnis dengan orang-orang bersih.

Dengan meyakini dan berbekal  ke-”pede”-an, kerja keras, ”play by the rule” serta kesungguhan hati untuk berbisnis secara etis, maka setiap individu di perusahaan akan tertantang untuk mencari solusi kreatif dan berinovasi agar tetap kompetitif di pasaran. Bukankah hanya kreasi dan inovasi membuat semangat kita tetap hidup dan bugar?(Expert : ES&SS)


Essensi


Dalam suatu sesi ‘brainstorming’ di sebuah kelas pelatihan, peserta segera mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya untuk membahas cara-cara penanggulangan ‘chaos’. Selang beberapa lama, seseorang bertanya: “Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan ‘chaos’?”. Segera semua orang menengok ke arahnya. Ada yang melontarkan pandangan aneh, seolah mempertanyakan “Kok, tidak mengerti istilah yang begitu populer?”. Ada juga yang mencibir, seolah bertanya, “Dari tadi ke mana saja...”. Tapi, ternyata, tidak seorang pun kemudian bisa dengan lancar mendefinisikan arti kata itu dengan tepat dan memuaskan. Ternyata, dalam banyak situasi, orang sering sudah menyambar dan berkomentar terhadap suatu isu atau masalah tanpa mencocokkan asumsi, menyamakan persepsi mengenai istilah-istilah yang sedang dibicarakan.



 Mendefinisikan kata, apalagi sebuah problem, ternyata tidak mudah. Padahal,  banyak ahli yang mengatakan bahwa begitu kita bisa mendefinisikan sebuah problem dengan tepat,  kita sudah 50% menemukan solusinya.Tidak heran bila Einstein mengatakan: “ if I had one hour to save the world I would spend fifty-five minutes defining the problem and only five minutes finding the solution”. Sayangnya, dalam masyarakat kita dan kehidupan  yang  serba mau cepat ini, kita tidak banyak melihat contoh-contoh pendefinisian problem dengan cermat. Banyak masalah yang mengambang tanpa penyelesaian, karena tidak terfokusnya permasalahan. Misalnya saja, mengapa Situ Gintung jebol? Situ Gintung itu sebuah apa? Bagaimana dibuatnya? Bagaimana pemeliharaannya? Apa ancamannya? Dalam pemberitaan, kita pun kadang sulit mencerna, kunci permasalahan dari suatu situasi. Padahal, pemahaman terhadap inti masalah ini sebenarnya perlu berkembang bukan saja dibenak para ahli, tapi juga di benak masyarakat yang sudah bersekolah, sehingga intelektualitasnya bisa membawanya ke arah solusi lingkungan juga. Dengan tidak jelasnya permasalahan, masyarakat yang sadar pun bisa hanya diam saja, ketika menyaksikan pembahasan masalah besar yang  pemecahannya melenceng jauh dari persoalan semula sehingga membawa keluaran yang keluar jalur. Bukankah hal ini sangat membahayakan?

Buat Akar Masalah Kelihatan
Mendefinisikan problem sering tidak dipandang penting atau bahkan tidak diagendakan dengan sengaja oleh banyak orang. Contohnya, bila kita sedang menghadapi gejala penjualan turun, kita sering langsung menanggapi dengan solusi yang itu-itu saja, misalnya menurunkan harga, melakukan promosi atau cara lain yang memang sudah umum dilakukan orang. Tidak lazim bagi kita untuk mundur selangkah, mendefinisikan masalah berdasarkan fakta yang lebih luas dan memahami duduk perkaranya. Apakah penjualan menurun ini berkaitan dengan pasar yang lesu? Ketidakcocokan produk dengan tuntutan pasar lagi? Salesman yang tidak bergairah? Atau, unsur lain lagi? Tentu saja akar masalah yang berbeda, pemecahannya akan  berbeda ekstrim satu sama lain.

Kita perlu sadari bahwa kebiasaan kita ‘jump into solutions’ begitu banyak mempengaruhi mutu solusi. Ada perusahaan yang membuat aturan main di rapat-rapat brainstormingnya, untuk menyalakan lampu ketika solusi belum dipilih. Pada saat lampu menyala, setiap peserta rapat tidak diperkenankan memilih solusi. Baru setelah lampu dipadamkan, kelompok mulai memilah-milah solusi dan kemudian berfokus pada penyelesaian masalahnya. Presdir perusahaan tersebut mengatakan:”The Problem Is To Know What the Problem Is”. Jadi tidak heran juga, mengapa Gus Dur menjadi terkenal dengan ungkapannya:” Kalau bisa mudah, kenapa dibuat susah?” Pernyataan ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa kita bisa menghemat banyak energi bila kita menemukan inti suatu permasalahan.

Bertanya itu Sakti
Tidak heran di pendidikan dasar modern saat sekarang, kegiatan bertanya, dipisah sebagai subyek penting, bahkan diberi angka tersendiri. Tanya jawab yang terfokus memang sering membuat orang lebih pintar. Pertanyaannya, mengapa tidak banyak orang yang mau bertanya, tidak mencari waktu dan mengklarifikasikan suatu pernyataaan, perkataan ataupun penawaran. Padahal sudah ada peribahasa :”Malu bertanya sesat di jalan”.

 Berkembangnya ilmu pengetahuan, adanya Wikipedia yang menjadi ensiklopedi milik bersama, situs-situs pengetahuan  dan profesi yang demikian banyak, belum menjamin individu menguasai suatu masalah yang terjadi sesaat. Dengan mudahnya mengakses pengetahuan, kita tetap tidak bisa langsung bersikap sok tahu, sok pinter dan langsung saja menyambar tanpa tahu esensi masalahnya. Kita tetap perlu mengorek dan menggali karena pendalaman masalah sangat berguna untuk menjawab masalah. Di sinilah bertanya efektif bisa menjadi alat sakti untuk membawa kita pada pemahaman masalah yang lebih tajam. Kita perlu bertanya: Apa sebenarnya yang sangat dipentingkan pelanggan? Apa kebiasaan pengguna jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas? Apa yang diperlukan setiap penduduk agar supaya gizi cukup? Bagaimana hidup dari perikanan Indonesia?  Bagaimana cara Negara bisa berswasembada pangan kembali? Sayangnya memang, kegiatan seperti studi banding pejabat pemerintah untuk belajar dari pengalaman orang lain tidak dilengkapi dengan kegiatan ‘enquiries’ yang tajam, sehingga belum benar-benar menghasilkan lompatan dalam solusi bagi Negara kita.


Kata kunci yang tepat
Reaksi bengong & apatis dari karyawan muncul saat tim manajemen Toyota meminta karyawan melakukan brainstorming tentang bagaimana meningkatkan produktivitas. Begitu pernyataan brainstorming diputar menjadi:”Bagaimana membuat pekerjaan kita lebih mudah?”, segera saja respons bengong berubah menjadi antusiasme karyawan dalam memberikan usulan dan opini. Kita lihat, perbedaan kata ‘produktivitas’ dan ‘kemudahan’ bisa membawa dampak besar bagi pencarian  solusinya. Ternyata, solusi untuk meningkatkan produktivitas bisa dilaksanakan bila karyawan juga memikirkan bagaimana ia memudahkan pekerjaannya. Lagi-lagi pemilihan kata yang tepat akan berpengaruh pada solusi yang sedang kita cari. Berarti, selain cermat bertanya, kita pun perlu pandai memilih kata-kata, bila ingin menemukan esensi masalah.(Expert : ES&SS)