Senin, 30 Desember 2013

Apa Niat Dan Tujuan Caleg

Kadang aku berfikir bahwa semakin lengkap dan enak serta asyiknya jadi pejabat negara dengan kesempurnaan gaji dan fasilitas serta tunjanganya, menjadikan TUJUAN dan NIAT dari masing-masing pejabat negara sudah berubah?.


Jadi kalau ada Caleg atau mereka yang saat ini sedang berebut untuk bisa menjadi wakil rakyat atau pejbat negara lainya, yang ada di OTAK mereka hanya ingin menikmati semua fasilitas mewah yang akan dinikmati oleh pejabat negara?. Bagaimana tidak tergiur ketika menjadi pejabat negara, pada kenyataanya gaji menjadi wakil rakyat dan pejabat di negara Indonesia memang sangat tinggi dan menggiurkan.

Padahal jika mereka ditanya sudah pasti di depan kamera mereka akan menjawab dengan begitu gagahnya jika mereka lakukan semua untuk mengabdi kepada negara serta memperjuangkan rakyatnya. Tapi secara faktanya lihat saja, ketika menjabat mereka seolah lupa untuk apa mereka bekerja dan digaji besar oleh negara melalui pajak rakyatnya?

Begitu besar gaji dan tunjangan besar anggota DPR dan pejabat negara lainya, menjadikan banyak orang berebut ingin menjadi anggota DPR dan pejabat negara. Maka yang timbul kemudian mereka berlomba-lomba menyiapkan dana untuk bisa “duduk manis” di kusri DPR. Tak tanggung-tanggung, dana yang disiapkan entah darimana yang penting harus jadi dahulu jadi anggota DPR atau pejabat negara.

Mau dari hutang atau darimana tidak penting karena dalam otak mereka hanya ada satu keyakinan bahwa, sebesar apapun dana yang dikeluarkan, jika bisa jadi anggota DPR dan pejabat negara, maka biaya tersebut akan mudah dikembalikan nantinya. Bahkan yang tidak punya rasa malu, ada juga caleg yang nekat merampok hanya untuk mencari dana kampanye. Hal ini menggambarkan betapa segala macam cara akan dilakukan untuk bisa jadi anggota DPR.

Dalam cerita yang lain, mereka yang ingin jadi anggota DPR dan pejabat negara lainya tidak punya rasa malu meminta bantuan kepada dukun dengan ahrapan mereka lolos terpilih dalam pemilu nantinya. Melihat fenomena tersebut tentunya kita sangat prihatin, ternyata negara yang begitu kaya raya dengan keindahan alanya dan tambang di dalamnya akan dikelola oleh mereka-mereka yang kita ragukan niat tulus mereka dalam mengelola negara dan masyarakatnya.

Memang teramat sangat berbeda, pahlawan dengan pecundang sangatlah berbeda. Tidak hanya dari niat saja yang berbeda, tapi sangat terlihat dengan perilaku dan kinerjanya. Aku hanya ingin mengingatkan dan membandingkan dengan para pendiri dan pejuang bangsa yang membangun negara ini dengan perjuangan dan darah mereka.

Mereka benar-benar berkorban tidak hanya harta dan benda mereka tapi juga nyawa mereka. Bahkan hampir semua pejuang negara kita terdahulu belum sempat menikmati perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan, ajal telah lebih dahulu menjemput mereka. Tapi lihatlah mereka para penikmat kemerdekaan sekarang. Mereka mengaku menjadi wakil rakyat dan mengabdi untuk negara, tapi perilaku dan gaya hidup mereka hanya mencerminkan keegoisan mereka atas kesejahteraan diri mereka sendiri dan partainya serta golonganya.

Kita sangat berharap, walau mungkin pesimis atas perilaku dan moral anggota DPR dan pejabat negara kita yang semakin “menjijikan”, kita tetap harus tetap optimis dan berharap, pada Pemilu 2014 nanti akan terpilih wakil-wakil rakyat dan pejabat negara yang memang memiliki tujuan mulya dan tidak hanya ingin mencari kekayaan untuk dirinya dan partainya serta golonganya saja tapi benar-benar untuk kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. (Blog Detik-Ari ES)


Jika Saya Jadi Anggota DPRD Banten

Jika saya menjadi Anggota DPRD Banten, maka garis politik saya hanya satu: ikut apa kehendak Keluarga Ratu…

Karena mereka lah yang sesungguhnya menentukan hitam putih Banten hari ini. Keluarga itu mengisi seluruh pojok kekuasaan di tatar Sunda bagian barat ini. Jangankan di eksekutif, di mana Ibu Tiri, Menantu, Adik, dan Ipar Atut bercokol. Bahkan jabatan-jabatan organisasi sosial pun tak lepas dari cengkraman mereka (seperti KNPI Banten, Tagana Banten, dan entah apalagi).


Jika saja di Banten ada perhimpunan Hansip atau RT, maka pasti Ketuanya adalah dari keluarga keturunan Almarhum Chasan Shohib itu. Sekedar mengingatkan, menurut temuan ICW, milyaran rupiah uang rakyat Banten mengalir ke organsiasi-organsiasi itu (dengan judul Dana Hibah atau Dana Bantuan Sosial).

Tiga tonggak cabang kekuasaan politik tak ada yang lepas dari cakar kekuasaan mereka. Selain Eksekutif, juga berkecambah di legislatif (atau DPRD). Di situ pun jalur kekerabatan Ratu Atut bertautan. Bahkan Ketua DPRD Banten sekalipun, tak lain adalah orang yang pernah menjadi tukang menenteng-nenteng tas Almarhum Chasan Shohib (orang tua Atut).

Akan terlalu kasar jika saya mengatakan Ketua DPRD Banten adalah bekas suruhan Chasan Shohib —meski faktanya memang begitu. Dari puluhan Anggota DPRD Banten yang kini duduk, belasan diantaranya adalah inner circle Ratu Atut, alias lingkaran inti Sang Tersangka KPK itu. Dan mereka tak datang dari satu partai, melainkan hampir semua partai besar…
Lalu bagaimana dengan suara rakyat?

Ah, menipu rakyat Banten semudah meniup kapas di ujung jemari. Mereka cukup disogok dengan dua bungkus Indomie di malam Pilkada. Selesai. Jangan mimpi rakyat Banten yang jumlahnya jutaan itu bisa kritis. Dari dulu, para pemberontak Banten hanya terdiri dari segilintir, dan perlawanan mereka pasti segera pupus. Jangankan rakyat jelata, mereka yang kuliah S2 sekalipun, ada yang menjadi pengunjung rutin makam keramat, para jurnalisnya juga dengan bangga pamer foto salaman dengan pejabat, dan aktivis mudanya yang di KNPI menjadi pendukung setia keluarga Sang Ratu. Intinya: Sang Ratu selalu digugu.

Lagipula, rakyat Banten mudah ditakut-takuti bahkan dengan dongeng kosong sekalipun. Cukup membayari para Jawara yang sangar, maka mereka pasti bungkam. Tinggal menyebar isu santen, maka mental rakyat pasti mengkeret. Rakyat Banten sudah lama percaya, bahwa keluarga Ratu Atut tak bisa dikalahkan. Sudahlah, jangan harap rakyat Banten akan membela pihak yang benar. Mereka hanya tahu dibayar!

Memang ada kelompok kritis dan militan. Tapi jumlahnhya bisa dihitung dengan jari. Saya memang salut dengan kawan-kawan ICW dan jaringannya di Banten, yang giat membongkar korupsi Dana Hibah dan Uang Bantuan Sosial di Banten. Saya juga memberi apresiasi kepada para akademisi. Mereka itu hebat! Seperti titisan para cendekiawan Banten tempo doeloe yang pro pada kebenaran. Akan tetapi, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, tak akan mendengarkan seruan mereka, karena mereka jumlahnya terlalu sedikit, dan mereka tak akan memberi proyek apapun terhadap saya.

Maka tak ada yang salah, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, maka kiblat politik saya adalah keluarga besar Sang Penguasa…

Dengan gurita kekuasaan keluarga Ratu Atut yang menjalar ke sana ke mari, maka apa yang tak bisa mereka lakukan? Puluhan Anggota DPRD Banten tak lain hanya menjadi the rubber stamp belaka, alias pemberi cap stempel persetujuan. Tak bisa ada pendapat yang tak setuju. Semua takluk.

Dari sisi kemerdekaan politik, anggota DPRD Banten bahkan jauh lebih buruk nasibnya dibanding Volksraad zaman kumpeni dahulu. Waktu itu, meski disetir pemerintah kolonial, tapi para anggota Volksraad masih bisa kritis, berani mengirim Petisi, dan berani mundur bila pendapatnya tak dihargai (misalnya, Agus Salim, yang menyebut parlemen Hindia Belanda itu sebagai Komedi Omong belaka).

Tetapi jangan salah, dari sisi kemewahan hidup, Anggota DPRD Banten adalah raja diraja. Apa merk mobil mewah yang tak dimiliki para anggota dewan di sana? Prinsip menjadi anggota dewan di Banten adalah tak apa pendapat tak dihargai, yang penting pendapatan selalu diberi. Isi kepala mereka adalah proyek apa yang bisa dilahap.

Bagaimana tidak, tiga fungsi utama Anggota DPRD, masing-masing fungsi anggaran, fungsi legislasi, dan fungsi pengawasan, bisa diolah menjadi uang semua.

Dalam menyusun budget, maka poin-poin mata anggaran dan pagu nominal, telah dipesan lebih dahulu. Bukan sembarang pesanan, karena hal itu adalah barang yang pasti jadi. Tak boleh dikoreksi. Semua orang Banten tahu, APBD Banten memang ditandatangani Pimpinan DPRD, tetapi atas persetujuan orang yang kini mendekam di balik jeruji KPK —dan pemilik belasan mobil super mewah. Anggota DPRD Banten faham betul teori ini. Maka, daripada berpikir keras meloloskan program yang pro rakyat miskin, jauh lebih baik mengakomodasi permintaan proyek dari keluarga. Pasti ada uang lelah.

Lalu bagaimana dengan dua fungsi lain yang tersisa? Yakni soal pengawasan dan pembuatan peraturan daerah (fungsi legislasi)?

Fungsi pengawasan dewan, anggap saja itu “mata pelajaran Pengantar Ilmu Politik” untuk mahasiswa Untirta semester pertama. Tak ada gunanya sama sekali. Apa yang harus diawasi? Di Banten, mana ada program atau proyek yang dilakukan dengan memenuhi standar. Semua berkualitas buruk. Karena nilai proyek sudah digunting sebelum pekerjaan dilaksanakan. Jangankan Anggota DPRD Banten, tukang pangkas rambut di Pasar Benhil Jakarta pun tahu, bahwa ada 1.300 kasus korupsi di Banten. Untuk tahu kebobrokan berbagai kualitas program Pemda Banten tak perlu pengawasan lapangan oleh legislatif, cukup anda bisa baca tulis saja. Semua itu terlihat di depan mata.

Kata seorang pakar, ada dua cara merampok APBD Banten. Cara pertama, adalah melakukan mark up atau penggelembungan nilai anggaran (untuk kemudian masuk ke kas penguasa). Cara kedua, memotong uang proyek dengan cara menurunkan kualitas pengerjaan proyek. Dan ini dilakukan oleh para cukong yang berebut menjadi kontraktor.

Pun begitu dengan soal legislasi. Sama buruknya. Di Banten, pernah terjadi polemik sesaat, persis ketika satu setengah tahun lalu Radar Banten memuat berita protes dari Ketua Komisi Kebebasan Informasi Publik Provinsi Banten, tentang Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Provinsi Banten. Yang jadi kontroversi adalah karena Ranperda itu 100 persencopypaste dari Ranperda milik Provinsi Sulawesi Selatan. Benar bukan, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, untuk apa bekarja benar, karena semuanya bobrok.

Anda mungkin bertanya-tanya, sejahat itukah DPRD Banten? Jawaban sudah tegas hari-hari terakhir ini. Coba baca di media massa: DPRD Banten sepakat memutuskan Ratu Atut sebagai Gubernur Banten (meski yang bersangkutan kini menjadi “primadona” Rutan Pondok Bambu). Luar biasa DPRD Banten, lebih memilih dipimpin tahanan KPK. Itu saja…(Endi Biaro)


Menjelang Perayaan Malam Tahun Baru

Dalam menyongsong tahun baru 2014, Pemda DKI banyak sekali membuat acara. Diantaranya adalah “Malam Tahun Baru” yang dilaksanakan di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, hebat dan bakalan menarik bagi warga Jakarta yang mencari hiburan.

Pada malam itu di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman penuh dengan aroma romantis. Lampu remang-remang, suasana riang, banyak musik, banyak hiburan. Membuat kaum muda hanyut dalam tawa riang dengan pasangannya. Lepaslah penat para pemuda Jakarta dalam pelukan sang kekasih. Di panggung-panggung hiburan akan menyediakan musik yang disukai. Suka dangdut, joget di panggung dangdut. Kalau suka musik jazz, datang ke panggung jazz.


Tentunya acara ini sangat diminati oleh warga yang berduit, kalau nggak punya duit ya dirumah saja menikmati kesusahan hidup di Jakarta.  Kalau nggak punya duit alias boke nggak usah ikut-ikutan, yang punya duit biarin aja menikmati hasil jerih payahnya. Kenapa harus punya duit, karena untuk menuju lokasi  perayaan malam tahun baru, seseorang harus menggunakan kendaraaan umum atau kendaraan pribadi. Dan bagi yang menggunakan kendaraan pribadi tempat parkirnya terbatas serta harga parkir yang harus dibayar nggak seperti biasanya, mahal.

Bagi pertkantoran yang berlokasi disekitar jalan Thamrin dan Sudirman-pun kena imbasnya, Pegawai yang pulang kerja akan kembali kerumah menjadi terhambat, padahal tanggal 31 Desember hari kerja dan jam kerja pun full satu hari. Entah bagi institusi pemerintah dan swasta yang punya kebijakan sendiri mengenai jam kerja Pegawainya pada hari itu. Boleh setengah hari  atau diliburkan sekalian. Tapi kalau buat perbankan pasti masuk terus karena BI sendiri tetap memberlakukan kerja full satu hari.

Buat yang menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, hari itu lalulintas jadi njelimet, karena arus lalulintas banyak yang dialihkan. Penutupan ruas jalan sepanjang jalan Sudirman - Thamrin, mulai dari Dukuh Atas sampai dengan Bundaran Patung Kuda (depan Indosat), dilakukan pengalihan arus lalu lintas pada ruas jalan tertentu. Nah lho.. repotkan, apalagi buat yang belum hapal jalanan di Jakarta, pasti pusing tujuh keliling.

Buat yang nggak suka hiburan, atau memang pada malam tahun baru sakit dan nggak punya duit, enakan di rumah, ikutan begituan cuma cari masalah, macet, rame, ribet, ntar kecopetan lagi... Di rumah lebih nyaman, toh besok tanggal 1 dan tanggal 2 dan seterusnya, akan kembali seperti biasa nggak ada yang spesial, bersyukur sama Yang Maha Kuasa aja, cukup sudah.


Menurutku perayaan malam tahun baru, malam bercumbunya anak muda Jakarta, diantara kepenatan hidup dan kegembiraan, diantara keprihatinan dan kebahagiaan. Ini acara yang menghambur-hamburkan uang, jauh dari perilaku agama islam, dan Jokowi malah mendukung acara beginian. Tapi bukan Jokowi namanya kalau nggak membuat sesuatu yang kontroversial. 

Minggu, 29 Desember 2013

Kenapa Atut Jadi Gubernur Banten ?

Kenapa Ratu Atut terpilih jadi Gubernur? jawabannya adalah karena dia merupakan pilihan pemilih. Kenapa pemilih memilih Ratu Atut? hanya pemilihlah yang tau. Salah satunya adalah karena dia terkenal, apalagi wakilnya. Rakyat pemilih akan memilih siapa yang mereka kenal atau liat, siapa yang sering muncul di TV atau media, mereka tidak tau prestasi calon gubernur, bupati, walikota, anggota DPRD, DPR bahkan Presiden.


Saat ini banyak orang yang mencalonkan jadi presiden tapi keluarganya berantakan dan nggak punya prestasi. Wiranto waktu jadi Pangab gagal karena terjadi kerusuhan peristiwa Trisakti dan Semanggi, Oma Irama banyak istri, Prabowo cerai dari istrinya yang anaknya Suharto, Aburizal Bakri bermasalah dengan lupmpur Lapindo. Kenapa mereka berani mencalonkan diri dan nggak malu dengan keadaannya yang demikian, karena di Indonesia masyarakatnya membolehkan. Nggak seperti di Amerika masalah moral calon sangat berperan, jangankan sampai kawin cerai, ada gosip yang kurang baikpun masyarakatnya nggak akan menerima calon tersebut.   

Rakyat kita masih buta politik, sebagian besar tidak tau dampak politis, ekonomi atau budaya jika dia milih si A atau si B. Sebagai contoh: memilih artis jadi anggota DPR, apa sih dasar politis masyarakat memilih, apa dampak politik yang dinginkan rakyat? gak jelas toh…! tapi mereka lebih familiar dengah wajah dan nama. Mungkin jika si Badu, seorang masyarakat desa yang giat melakukan perubahan dan menciptakan lapangan kerja serta pelestarian lingkungan mencalonkan diri jadi anggota DPR tidak akan terpilih karena belum pernah diberitakan di koran atau TV.

Ratu Atut juga dipilih karena banyak orang melihat penampilan pakaian, sepatu, accesoris, tas yang ber merk yang nggak mungkin kebeli sama pemilihnya. Wajah yang berkilau karena diamplas uang. Inilah wajah perpolitikan di Indonesia pencitraan ! Dan sifat konsumerisme manusianya yang lebih menghargai merk daripada hatinya.

Terus terang waktu pilgub saat itu, aku seumur hidup baru sekali jadi pemilih pilkada Banten. Waktu itu aku memang milih atut, bukan karena dia pinter atau sejenisnya, tetapi karena dia incumbent. Kami rakyat Banten emang sudah tau kalo si atut korupsi pada periode pertama, aku pikir modal dia sudah balik pada periode pertama, jadi aku berharap korupsi minimum akan berkurang. Dari pada milih gubernur baru yang sudah hampir pasti korupsi untuk mengembalikan modalnya, tapi kenyataannya si atut terlalu serakah hingga dia dijerat KPK.


Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna. Manusia tidak cukup berilmu dan beriman, tapi berhati bersih. Bukti dan nyata, asal di sogok dengan dalih uang umroh dan sumbangan untuk Pesantren. Para Ustad, Kiyai mau saja memilih dan mengajak santrinya untuk memilih, nggak peduli calonnya terindikasi korupsi. Saya sebagai wong Banten isin (malu).


Sekarang Atut dihujat, dicaci, dihina oleh rakyatnya. Aku sadar bahwa salah satunya aku-lah yang memilihnya, jadi sekarang aku akan berhenti mengeluh pada pemerintah yang kotor, saat ini aku mulai memperbaiki diri sendiri insyaallah bila aku baik, rakyat Banten baik melahirkan pemimpin yang baik pula. Wallahu alam bi shawab

Selasa, 17 Desember 2013

Ayah, Catatan Sebuah Hati

Kawan, saat menulis tulisan ini, aku teringat masa-masa indah bersama ayah. Saat beliau membuatkan aku panah dari bambu sehingga tangannya terluka. Saat beliau merawatku ketika kuku kakiku hampir lepas. Sewaktu kecil kuku kakiku sering lepas. Aku tak tahu apa sebabnya. Yang jelas ayah selalu menggendongku jika aku sakit seperti itu.


Saat bermain bulu tangkis dengannya.Waktu itu kami menggunakan kok dari bulu ayam yang di pasang ditongkol jagung beserta raket yang terbuat dari papan atau tripleks. Meskipun sederhana tapi beliau selalu mewujudkan apa yang ku minta. Ketika beliau membelikan pistol saat aku sakit. Setelah itu aku langsung sembuh saking gembiranya. Saat aku memakai sepedanya hingga beliau terlambat masuk kerja. Beliau tidak marah kawan.

Saat aku membuat martabak mi dengannya. Kami mulai setelah shalat isya. Tiga bungkus mi dan tiga telur habis, tapi martabaknya tak jadi-jadi. Beruntung ibu bangun, sekali buat langsung jadi. Dan yang paling berkesan buatku adalah saat beliau mengambil raportku. Beliau tak pernah absen untuk menerima raportku. Apapun pekerjaan dan kesibukkannya, beliau selalu hadir untuk menerima raportku. Dengan sepeda kesayangannya beliau selalu datang tepat waktu. Dan saat namaku disebut sebagai juara kelas, beliau tersenyum bangga kepadaku. Senyum bangganya itu adalah hadiah yang sangat berarti bagiku. Senyum yang selalu memotivasiku untuk terus juara. Senyum yang akan selalu ku kenang. Senyum yang tak pernah aku lihat semenjak peristiwa itu. Bahkan meskipun aku menjadi yang terbaik di sekolah, senyum itu telah hilang dan tak dapat aku saksikan lagi.

Kawan, hidup tanpa orangtua itu sunguh tidak mengenakan. Saat kau sakit, saat kau kalah, atau bahkan saat kau bahagia, kepada siapa kau berbagi? Saat kau menang, siapa yang akan memelukmu dengan bangga? Saat kau kalah, siapa yang akan menyemangatimu untuk bangkit lagi? Saat kau terluka, siapa yang akan mengobati lukamu? Saat kau mendapat peringkat pertama, adakah orang yang lebih bangga padamu melebihi ayahmu? Atau saat kau patah hati, adakah yang lebih tahu luka hati melebihi ibumu?

Kawan, seandainya anak-anak yatim itu tidak mengenal Penciptanya, maka mereka akan terus merasa hampa, sunyi, sepi, sedih, tak bahagia dan putus asa dalam menjalani hidup ini. Namun aku yakin, dalam setiap kejadian selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Kita memang bisa bertanya, tapi yakinlah bahwa apa yang Allah tuliskan itu jauh lebih baik dan indah dari apa yang kita sangka.


Sungguh, hidup tanpa orangtua itu sungguh sangat tidak mengenakan, tapi lebih tidak mengenakan lagi, punya orangtua namun kita hanya menyia-nyiakan mereka, punya orangtua namun kita tidak bisa membahagiakan mereka, punya orang tua namun selalu menyakiti hati mereka, punya orangtua tapi selalu membuat mereka kesal, marah, dan menangis, punya orangtua namun lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman, punya orangtua namun tak pernah membalas kebaikan mereka meskipun hanya dengan kecupan hangat dan ucapan terimakasih, punya orangtua namun tak pernah mendoakan mereka, punya orangtua namun tidak bisa membuat dirinya masuk kedalam surga.

Kawan, jika belum bisa membahagiakan mereka, minimal jangan buat mereka bersedih! jika belum bisa memberi mereka uang minimal jangan menjadi beban! jika belum bisa membuat mereka tersenyum, minimal jangan buat mereka menangis!

Kawan, sesuatu yang berharga kadang baru terasa saat ia telah tiada. Jangan sampai kesadaran itu datang saat mereka telah pergi meninggalkanmu. Kawan, sering kali kusaksikan banyak orang bertobat setelah kematian orang yang ia cintai, namun sayang mereka kembali lupa setelah berlalu masa yang panjang. Mungkin mereka menanti kematian orang yang ia cintai lainnya untuk bisa kembali bertobat. Namun, jangan sampai kitalah yang menjadi sebab orang lain bertobat karena mereka kehilangan orang yang ia cintai.(Senyum Syukur)


Menangkap Daun Hijau di Tabek Patah-Sumatera Barat

Menangkap sebuah gambar dari alam yang indah sesuai dengan keinginan hati, agar kekaguman yang menyelimuti diriku bisa kubagi tanpa harus berkata-kata, tidaklah sulit bagi seorang fotografer yang profesional, tapi bagiku hal itu seperti melawan arus sungai dengan tujuan cepat-cepat menggapai hulu.


Meski demikian, aku tak mau membungkam keinginan berbagiku walau jelas tak menemui makna sempurna. Jadi kucoba meng-klik beberapa bagian dari pemandangan ini dengan sedikit harapan agar teman-teman yang terlanjur masuk kehalaman ini merasakan gemuruh kagum yang tersirat di seluruh nadiku atas kebesaran dan kemahakuasaan pencipta.

Memang sungguh sayang, aku tak memiliki kamera yang pro. Tapi segala yang kudapat, meski kecil, taklah membuatku menggerutu hingga melemparkan nilai diri atau merendahkan nilai diri hingga jatuh kepada keserakahan dan ketidak sabaran. Kupikir aku masih bisa mencoba berbagi kekaguman yang menyelimuti hati dan pikiranku ini walau dengan mengabadikan foto daerah ini memakai kamera pocket dan kamera handphone. Dan engkau yang berjiwa seni, mungkin bisa mengimajinasikannya melalui hal-hal serupa yang pernah kau lihat, menutupkan kedua bola mata dan membayangkan seperti apa yang kulihat ini.


Sobat! Ngarai ini menurutku tidak kalah indahnya dengan ngarai atau jurang yang ada di bagian Indonesia yang lain, tempat aku biasa menumpahkan rasa rindu dan membungkam rasa sepi saat masih tinggal di Padang. Tidak ada wisatawan yang mau datang kesini, terkecuali orang-orang luar yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang tinggal di sini.

Bisa kukatakan kondisi tanaman di Tabek Patah mirip dengan kondisi tanaman yang di Pulau Jawa, hanya ada sedikit pohon hijau, yang rimbun adalah rumput-rumput liar, sejenis gulma atau pakis berdaun hijau.

Dan bila kekaguman itu ada pada dirimu, seperti yang ada pada diriku, kurasa saat itulah perasaan  kita berjalan menuju titik yang sama. Keagungan Sang Pencipta.(PiS)



Senin, 16 Desember 2013

Belajar Pada Anak

Tak selamanya orangtua selalu benar. Terkadang, banyak orangtua yang justru mendapat banyak ilmu dari anak mereka. Banyak pengalaman yang pernah kita alami, contohnya ketika aku menyuruh anakku laki-laki namanya Deny, menutup pintu. Saat itu, aku nggak mendengar anakku berkata “Iya” karena suaranya kecil. Merasa tak mendapat respon dari Deny, aku lantas menaikkan nada bicara untuk menutup pintu. Lalu anakku berkata, "Pa, kenapa sih papa enggak bisa pelan-pelan nyuruhnya."


Setelah aku mendengar ucapan Deny, lantas terenyuh hatiku dan meminta maaf padanya. Memang "itu hal sederhana tapi aku banyak belajar dari Deny. Anakku  baru berumur 7 tahun tapi sudah bisa jadi guru buat kehidupan ahlakku".

Anak belajar dari lingkungan dan kehidupannya sehari hari, jika kita mudah untuk meminta maaf padanya maka insyaallah dia akan menjadi orang yang pemaaf. Kita jangan merasa tidak punya harga diri jika kita minta maaf kepada anak, karena disitu kita sedang memberinya pelajaran untuk berbudi luhur.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar membenci.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iri, ia belajar kedengkian.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan keadilan, ia belajar rasa aman.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Jika anak dibesarkan dengan keramahan, ia yakin sungguh indah dunia ini.

Banyak cara untuk memberi pelajaran pada anak, agar dia menjadi seperti orang yang kita inginkan, yaitu anak yang sholeh-sholehah, berbakti pada orangtua dan berguna bagi nusa dan bangsa.(Greenyazzahra)

Kamis, 12 Desember 2013

Belajar Bernyanyi

Burung… kakaktua, hinggap di jendela.. Nenek sudah tua, giginya tinggal dua… 

Tentu syair lagu anak-anak seperti  di atas pernah hinggap dalam memori  masa kecil kita. Pasti ingatan masa kecil, ia akan lekat dan menjadi ingatan abadi kita. Lagu-lagu tersebut kuhapal dan bisa menyanyikannya waktu kelas satu SD, tentu diajari sama guru-guruku yang cantik,  yang tangannya bagus sehingga kalau tepuk tangan suaranya lantang, plok … plok …plok… gitu. Aku sangat mengagumi cara beliau bertepuk tangan, nyaring bunyinya mengiringi kami bernyanyi. Tapi itu hanya kenangan dijaman aku kecil dulu…


Sekarang, lagu-lagu tersebut sering sekali mampir ke telingaku, hampir setiap hari, bisa jadi sehari dua kali, setiap pagi jam 8 atau sore sekitar jam 5. Lagu-lagu anak-anak tersebut di medley bersambung dengan lagu naik kereta api, tut..tut..tut… siapa hendak turut ke Bandung – Surabaya…

Hal ini bisa terjadi karena keponakanku, yang menginjak usia 2 tahun 7 bulan sangat menyukai lagu-lagu tersebut. Bahkan dia sudah hapal syair-syairnya. Dengan kefasihan lidahnya yang masih jauh dari sempurna, dia sering menyanyikannya yang akhirnya mengundang tawa bersama.  Dia belajar lagu-lagu tersebut bukan dari guru TK, karena dia memang belum sekolah. Play Group pun belum. Dia belajar nyanyinya lewat Mang Odong-odong yang selalu setia menjemputnya untuk keliling beberapa blok di sekitar rumah. Sepanjang perjalanannya, kaset lagu-lagu anak-anak diputarkan. Dan Neng Geulis pun asyik menikmati sambil goyang-goyang kepala, terangguk-angguk seirama dengan lagunya.

Tiap menjelang jam tayang Neng Geulis sudah harus rapi, kemudian menunggu kedatangan odong-odong tersebut. Aku sembari menyuapinya, duduk di depan sembari say hello pada tetangga yang lalu lalang. Tapi mereka juga sudah pada paham, sapaannya juga tak jauh dari kalimat,”Nunggu odong-odong ya, dik?” … Hehehe… aktifitas rutin sih … Kalaupun aku tidak sempat, pasti  mimin yang asisten rumahtanggaku mengasuhnya sambil menemaninya.

Terus terang, aku sangat berterimakasih pada Mang Odong-odong tersebut, Ibu-ibu penitip anak- biasa memanggilnya demikian, nama aslinya sampai kami tak mengetahuinya. Orangnya sangat sabar, sayang pada anak. Dan rasanya aku pribadi kok enjoy banget dengan aktifitas Neng Geulis yang tak pernah absen naik odong-odong langganannya.

Pertama, Mang Odong-odong terbukti sayang anak, kalau ada yang rewel selalu sanggup menenangkannya. Bahkan pernah aku melihatnya tak canggung membopong anak yang telah belepotan BAB di celananya. Mungkin saking asyiknya bernyayi, sampe tak terasa BAB di bebek-bebekan yang dinaikinya.


Kedua, aku mengetahui rumah dan keluarga dari Mang Odong-odong, sehingga hati juga tidak was-was perihal kemana anakku dibawa pergi. Mang Odong-odong dulunya penjual es cendol , yang kemudian beralih profesi sebagai ‘guru TK’. Rupanya mengelola odong-odong lebih menjanjikan daripada mendorong gerobak cendol.

Ketiga, Neng Geulis akhirnya juga mengenal banyak teman, setidaknya dengan teman-teman sebaya yang sudah menjadi pelanggan tetap odong-odong tersebut.
Keempat, Biarlah neng Geulis belajar nyanyi dari sana karena kalaupun sekolah TK kelak, belum tentu dia akan diajari lagu-lagu tersebut.

Sebenarnya aku-lah yang harusnya menjadi guru nyanyi bagi keponakanku. Tapi, terus terang kok aku kurang telaten ya. Kurang bijak juga kalau menjadikan waktu sebagi alasan, karena toh aku bukan wanita karier yang waktunya banyak di luar rumah. Sebagian besar waktuku meski sembari mengerjakan banyak hal, habis di rumah. Di bawah usia TK, keponakanku selalu dekat denganku. Tapi ya itu tadi, … aku kok kurang telaten mengajarinya menyanyi.

Jadi bagiku, peran Mang Odong-odong sangat membantu dalam mengajari anak bernyanyi dan bersosialisasi. Tak banyak pula biaya yang harus kukeluarkan. Ongkos untuk Neng Geulis tidak pernah dilebih atau kurangkan, Cuma Rp. 2000,- dari pertama naik sampai anak habis tinggal Neng Geulis seorang yang kemudian diantar ke depan rumah. Di kasih lebih selalu tidak mau. Makanya, secara pribadi aku sering memberinya bingkisan semacam kaos, baju untuk anak atau cucunya atau bahkan sekedar kue-kue. Yah, … hitung-hitung nitip anak sih…(Saw-Bandung)



Rabu, 11 Desember 2013

Ribet

Suatu kali saya makan di salah satu resto soto, tepat disamping meja saya ada pasangan muda juga sedang makan. Terlihat mereka sedang sibuk mempelajari menu (padahal menunya cuma aneka soto dan ayam goreng).
 
Tibalah sang pelayan resto datang dan menanyakan makanan yang akan dipesan. Terlihat sang pria lebih santai dgn menyilahkan sang wanita memesan lebih dahulu. Dan mulailah wanita itu menyiksa sang pelayan dgn pesanannnya 

 
“Eh mas, ini ayamnya ayam kampung kan? Mmm saya pesen soto kudus, nasi dicampur ya, suwiran ayamnya minta yg bagian dada jangan yg paha atau leher ya, pokoknya dada, bisa kan? Terus togenya minta agak banyakin, terus gak pake seledri ya mas, pake bawang goreng putih boleh dikasih, terus minta jeruknya jangan lupa ya.”
 
“Mmm. Minumnya saya mau es kelapa muda tapi minta yang baru dibuka, yang segar, kalo gak fresh atau ketuaan saya gak mau ya. Terus sirupnya yang minta yang merah ada kan? Es nya dipisah ya dipisahin di gelas sendiri. Terus minta juga gorengan lauk2 yang ada ya. Mas udah dicatet semua ya, jangan sampe salah loh ya….” ketus wanita muda itu.
 
“Baik bu, sudah saya catat,”jawab pelayan resto. “Lalu, bapak pesanannya apa?”
 
Sang pria tersenyum menjawab dengan santai , “Samain aja mas.”
 
Pernah mengalami kejadian serupa? Atau malah Anda sendiri sang pelakunya. Lalu dimanakah Anda berada? Termasuk menjadi yang GAMPANGAN sepert sang pria atau menjadi yang suka RIBETAN ala wanita tadi. 
(Rully Bhaskara)

Teman

Sahabat...
Jangan penuhi hidup kita dengan nuansa berprasangka negatif, Ataupun praduga yang membuat kita lelah sendiri Padahal orang lain belum tentu seperti prasangka kita.

Boleh jadi orang yang kita sangka buruk, sesungguhnya ia sangat baik Boleh jadi orang yang kita anggap jutek atau sombong, sesungguhnya ia hanya kurang bisa bicara.


 Jadi bangunlah prasangka baik, agar hidup ini terasa penuh warna dan semakin indah, jiwa akan tenteram dan hatipun akan tenang

Jadilah hidup bagai air yang mengalir...
Ringan tanpa beban mengikuti arus dengan ikhlas, Tapi tetap harus ada prinsip yang dipegang, bahwa kita mengalir sesuai dengan fitrah dan keridloan-Nya

Kita sudah dewasa, Kita tahu semua itu...
Namun kadangkala kitapun masih perlu untuk selalu diingatkan

Itulah gunanya teman...
Meski tanpa gandengan tangan, Meski jarak cukup jauh memisahkan...
Bahkan meski kita belum pernah ketemu, Tapi hati kita bisa mengukur...
Siapa yang pantas dijadikan teman ...???(Kang Dede FA)



Selasa, 10 Desember 2013

Hati-hati Dengan Do'a

Suami istri itu sepakat: jika menikah nanti, inginnya punya anak setahun kemudian, tidak langsung. Meskipun mereka juga tidak ingin mengonsumsi pil KB atau suntik, karena khawatir kebablasan, seperti banyak cerita pasangan yang akhirnya tak kunjung punya anak gara-gara itu.

Namun, sekian bulan kemudian, keinginan punya anak itu muncul. Entahlah, perasaan keduanya agak hambar jika menikah tak segera menimang anak. Ada saja yang bertanya, sudah hamil apa belum? Kapan punya anak? Dan seterusnya. Tak hanya mereka, orang tua dan eyang juga ditanyai hal serupa oleh tetangga dan saudara.

Seperjalanan waktu kemudian, pasangan suami istri ini terlibat konflik dengan kedua orang tuanya. Awalnya konflik itu terjadi antara adik dan ibunya, tapi lama-kelamaan merembet kemana-mana. Tahu-tahu keduanya ikut terlibat, dan justru konflik itu kian parah antara mereka dan kedua orangtuanya, khususnya ibu. Dan akibat konflik itu, pasangan suami istri yang baru saja menikah ini, sampai pergi meninggalkan rumah dan tinggal di rumah nenek.

Saat itulah muncul kabar gembira, si istri hamil. Sebenarnya, mendengar anaknya hamil, sang ibu bahagia bukan kepalang, karena ia akan segera menimang cucu pertama. Tapi akibat konflik diantara keduanya, kebahagiaan itu terkubur begitu saja. Dan dengan kuasa Allah, kehamilan itu akhirnya mengalami keguguran. Menurut dokter, hal ini karena kelelahan dan si istri terlalu banyak fikiran.

Mereka akhirnya menyadari, hal itu mungkin karena keinginan atau doa mereka. Yakni tak ingin langsung punya anak, tapi menunggu setahun setelah menikah. Sehingga, saat akhirnya ingin punya anak, Allah beri tapi segera diambil kembali. Hal itu sesuai dengan doa mereka semula.

Yang kedua, barangkali ini juga akibat dari ibu yang tidak ridha. Konflik yang terjadi antara anak dan ibu, pasti si anak yang kena getahnya. Terlepas siapapun yang salah, anak harus mengalah dan tak menimbulkan kebencian dan kemarahan ibu. Barangkali karena marahnya ibu, sehingga tanpa sadar ia berharap sesuatu tidak baik terjadi pada anaknya. Dan Allah mengabulkan doa itu, bayi yang sudah di depan mata itu di ambil kembali oleh Allah.

Maka hati-hatilah dengan keinginan dan doa anda. Allah senantiasa memperhatikan dan berkenan menjawab doa anda, karena Allah Maha Mengabulkan. Maka berdoalah yang baik, juga berkeinginanlah yang baik. Selain itu, jagalah hubungan dengan kedua orangtua, terutama ibu. Karena doa ibu pasti terkabul, dan ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua.

Perbaiki hubungan dengan orang tua, bahagiakan mereka. Insyaallah kita akan dibahagiakan oleh Allah. Wallahu a’lam.( Muhammad Syukron Maksum).


Senin, 09 Desember 2013

Istriku Seorang Mualaf

Istriku seorang mualaf, tapi dalam hal beribadah terkadang aku malu dengannya. Karena dia lebih rajin beribadah dan lebih rajin mengikuti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ajaran agama islam. Aku sangat bersyukur mendapatkan istri dia, walau seorang mualaf, tapi banyak memberikan masukan islami padaku. Diantaranya ia amat menghormati orangtuanya, dan lebih sering memberikan motivasi lebih untuk menghormati mereka.

Pernah sewaktu mau lebaran, ketika aku sedang mengemasi barang-barangku buat pulang mudik, istriku bertanya “Pak bawa oleh-oleh apa untuk orangtua kita dikampung?”. Aku menjawab sekedarnya saja , yaitu membawa kue-kue dan parcel yang kubeli di mall kemarin.


Menurutnya kalau cuma itu yang diberi untuk orangtua, sangat tak pantas. Karena kue-kue dan parcel itu lebih pantas diberikan pada relasi, atasan atau teman sejawat. Orangtua kita harus diberikan lebih dari itu, karena mereka telah banyak berkorban jiwa dan hartanya demi kita. Tapi kenapa kita membalasnya dengan ala kadarnya?. Kita harus beli pakaian dan sesuatu yang menjadi kesukaan mereka.

Ternyata kata istriku apakah cuma sekedar itu yang kita berikan pada orangtua kita, tidak..! kita harus memberi lebih.   Kita harus memberikan perhatian agar mereka senang, agar mereka merasa terhormat, agar mereka merasa benar-benar bermartabat, kita sudah hidup berkecukupan karena pengorbanan dan kasih sayang  mereka. Mereka yang menjadikan kita berada didalam jalan ilahi. Maka kita harus memberikan yang terbaik buat orangtua.

Untuk perjalanan mudik, kita biasanya begitu sibuk dengan segala macam persiapan, tapi mengapa untuk orangtua hanya sedikit makanan, bahkan ada yang membelinya ditengah jalan. Tanpa dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya.

Aku tertegun, selama ini aku merasa sudah biasa pulang setahun sekali dengan membawa makanan ala kadarnya untuk ayah dan ibu di kampung. Bahkan ketika kembali ke Jakarta, aku membawa lebih banyak lagi oleh-oleh dari kampung.  Karena sudah rutin seperti itu, aku menganggapnya itu hal yang lumrah.

Lewat istriku, Tuhan telah mengingatkanku bahwa, untuk lebih banyak mendapat rezeki, karir menjadi baik, hidup berkecukupan, kebahagiaan yang abadi dan mendapat berkah dari-Nya, adalah dengan mengikutsertakan orangtua dalam daftar orang yang kita bikin senang. Aku harus menambah porsi bakti dan kebaikan yang kuberikan pada orangtuaku, agar mereka bahagia, dan gembira. Kulakukan yang terbaik sebagai tanda terima kasih pada mereka, agar aku termasuk asy-syakirun dan mendapat semua kemudahan dari Allah SWT.


“Ya Allah, aku sangat ingin membahagiakanmu ayah dan ibu seperti aku sangat mendambakan karunia kebahagiaan dari-MU. Ya Allah, berikan aku Ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, berikan aku kekuatan untuk mengerjakan amal kebaikan yang Engkau ridhoi, masukanlah aku kedalam golongan hamba-Mu yang shaleh”.

Khayalan Tentang Surga

Seandainya suatu hari ada yang membuktikan bahwa surga itu terletak di suatu tempat di planet lain. Apakah yang akan kita lakukan?
 
Mungkin sebagian dari kita akan berlomba-lomba kesana. Dan berusaha sebisa mungkin segera menuju tempat itu dengan apapun yag kita punyai. Bahkan demi untuk mencapai surga, mungkin harus menggunakan pesawat dengan kecepatan sekian juta cahaya perjam. Dengan biaya tinggi, menggunakan teknologi super canggih dan energi untuk penelitian akan terkuras habis. Demi mencapai surga diplanet itu, apapun akan dikorbankan.
 

Lalu semua orang berbondong-bondong berupaya untuk mengantri. Mendaftarkan diri dalam agen travel ruang angkasa menuju planet surga. Dan yang paling penting dalam perjalanan ke planet surga, adalah bekal. Layaknya perjalanan jauh, bekal disiapkan secukup mungkin. Karena perjalanan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Entah beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun.
 
Saudara, mengkhayal tentang surga. Dimana letaknya, sejauh apakah surga itu. Sebenarnya surga ada di dekat dengan kita, sangat dekat dalam kehidupan kita. Ia hadir dirumah kita, nggak jauh. Perjalanan menuju surga adalah segala sesuatu kebaikan yang kita perbuatan. Dengan mengisi perabot-perabot rumah tangga kita, berupa keimanan, ketakwaan, kejujuran, keikhlasan dan rasa syukur. Diantara orang tua, anak, family dan sahabat yang berada di dekat kita.
 
Rumah adalah pondasi awal meraih surga. Rumah sebagai mihrab cinta menuju ke-ridho-an Tuhan. Rumah tak hanya kita pahami seperti kebanyakan orang, hanya berkaitan dengan suami dan istri. Tapi lebih jauh untuk segenap penghuni dan tetangga serta orang yang berada disekitarnya. Surga dalam rumah itu sejatinya amat melekat dengan sosok ayah dan ibu, orang tua kita. Karena mereka adalah jembatan yang dapat mengantarkan kita menuju surga.
 
Kita boleh beramal shaleh sebanyak-banyaknya diluar rumah, tapi jangan lupakan jalan terdekat yang ada di rumah kita. Ini berarti bahwa kita harus benar-benar sepenuhnya berbakti pada orang tua, melebihi baktinya seorang pembantu pada majikan, melebihi baktinya seorang bawahan pada atasan. Seandainya orangtua kita tidak tinggal di rumah kita, maka untuk berbakti kita dapat menjalin silaturahmi dengan sering berkunjung. Atau dengan cara apapun yang dapat membuat hatinya senang dan tersenyum. Tak boleh membuat dirinya tersinggung, sakit hati apa lagi sampai murka.
 
Karena ridho Tuhan akan diberikan jika orang tua kita sudah memberi maaf dan ridho atas kesalahan yang kita perbuat. Jika mereka sudah berada di dunia lain, kita dapat menjalinnya dengan selalu mengirimkan do’a dan melakukan segala sesuatu yang terbaik demi kebahagiaannya. Gambaran bahwa surga berada dibawah telapak kaki ibu adalah bahwa, kita harus berbuat baik kepadanya, asal tidak bertentangan dengan agama.
 
Saudara, daripada bengong. Kita melamun membayangkan kesenangan yang tidak nyata. Atau mengkhayal enaknya hidup di surga yang terlalu jauh. Alangkah lebih baik berbuat nyata mendekatkan surga di antara kehidupan kita. Karena kesempatan tak akan pernah kembali dua kali.