Rabu, 24 Januari 2018

Pelihara Hewan Liar


Memelihara hewan liar tapi jinak lainnya, adalah suatu kebanggan tersendiri.  Bagi setiap manusia, tantangannya adalah mempunyai hati untuk saling menyayang sesama mahluk Allah. Biasanya masyarakat yang hobi memelihara dan membeli satwa liar sering kita jumpai pada masyarakat perkotaan. 

Hampir setiap minggu pada saat car free day, didepan Gedung Sarinah Jakarta. Ada anggota komunitas pecinta hewan yang berkumpul untuk memamerkan hewan kesayangannya. Mulai dari Iguana, kucing hutan, bajing, musang, ular dll.


Memelihara ular, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang tidak lazim karena karakter ular yang ganas. Maupun rasa takut yang timbul dari dalam diri mereka sehingga mereka menganggap bahwa memelihara ular adalah hal yang tidak biasa. memelihara ular adalah hal yang Luar biasa! Memang di alam mereka akan bersikap defensif, namun pada dasarnya ular akan menghindari manusia, insting defensif memang melekat pada ular yang ditemukan atau dibawa dari alam, namun ada juga yang dari alam memang sudah jinak dan jarang menggigit.

Ular butuh kasih sayang seperti kita memelihara hewan lain baik itu kucing atau anjing. Sejak kita memelihara ular, perlakukanlah mereka sebagai hewan peliharaan, memberi makan mereka secara rutin, peduli akan kesehatan mereka.
 

Tapi walaupun kita sayang dan care, aku sebenarnya nggak setuju dengan memelihara hewan liar. Dengan membeli dan memelihara satwa liar sama saja kita mendukung proses percepatan punahnya satwa tersebut dari habitat alam aslinya. Menurut undang-undang no 5 tahun 1990 tentang “Eko System Konservasi Sumber Daya Alam”, jangankan memiliki  perbuatan mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi, akan terkena sangsi.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita yang hobi dan gemar memelihara hewan liar, sebaiknya memberi kesempatan pada hewan2 itu untuk dapat hidup ditempat aslinya, karena dengan membiarkan mereka hidup dialamnya, maka kelestarian hewan terjaga sehingga keseimbangan alam berjalan secara alami. Buat yang hobi melihara hewan liar, aku berpesan bahwa mereka tetap hewan liar walaupun jinak dan masih harus dianggap berbahaya.

 

 

 

Belajar Pada Anak


Tak selamanya orangtua selalu benar. Terkadang, banyak orangtua yang justru mendapat banyak ilmu dari anak mereka. Banyak pengalaman yang pernah kita alami, contohnya ketika aku menyuruh anakku laki-laki namanya Deny, menutup pintu. Saat itu, aku nggak mendengar anakku berkata “Iya” karena suaranya kecil. Merasa tak mendapat respon dari Deny, aku lantas menaikkan nada bicara untuk menutup pintu. Lalu anakku berkata, "Pa, kenapa sih papa enggak bisa pelan-pelan nyuruhnya."

 


Setelah aku mendengar ucapan Deny, lantas terenyuh hatiku dan meminta maaf padanya. Memang "itu hal sederhana tapi aku banyak belajar dari Deny. Anakku  baru berumur 7 tahun tapi sudah bisa jadi guru buat kehidupan ahlakku".

 

Anak belajar dari lingkungan dan kehidupannya sehari hari, jika kita mudah untuk meminta maaf padanya maka insyaallah dia akan menjadi orang yang pemaaf. Kita jangan merasa tidak punya harga diri jika kita minta maaf kepada anak, karena disitu kita sedang memberinya pelajaran untuk berbudi luhur.

 

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar membenci.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iri, ia belajar kedengkian.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan keadilan, ia belajar rasa aman.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar dermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Jika anak dibesarkan dengan keramahan, ia yakin sungguh indah dunia ini.

 

Banyak cara untuk memberi pelajaran pada anak, agar dia menjadi seperti orang yang kita inginkan, yaitu anak yang sholeh-sholehah, berbakti pada orangtua dan berguna bagi nusa dan bangsa.(Greenyazzahra)

 

Selasa, 23 Januari 2018

Mental Pembelajar


Seorang teman melakukan upaya lebih hebat dari psikolog sosial manapun yang saya kenal. Ia mendapat tugas untuk menaikkan tingkat kualitas nenas kalengan di pabrik yang ia pimpin dan memutuskan untuk menaikkan tingkat kebersihan gaya hidup para karyawannya. Riset dilakukan ke rumah-rumah karyawan dan upayanya kemudian  berkisar antara pembersihan rambut, dapur di rumah, pakaian para karyawan dan banyak hal lain yang menyangkut gaya hidup karyawan secara keseluruhan. Upaya pembelajaran itu juga tertular ke rumah-rumah karyawan dan akhirnya membuahkan hasil yang sangat signifikan bagi pabrik. “Tidak mudah merubah cara hidup, persepsi dan nilai individu. Namun, bila melihat hasilnya, kita tak akan mundur. Kita akan terus berusaha melakukan pembelajaran, karena peningkatan harkat hidup merupakan keindahan yang tidak ada duanya” demikian komentar teman saya itu.


 


Meskipun pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai 2 sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang yang tidak komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara proses pembelajarannya sering tertinggal dan tidak didalami.


 


Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada keluarannya. Kita sering tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau tidak.  Belum lagi, kesempatan ”benchmark” atau ”studi banding” sering tidak kita manfaatkan betul sebagai ”pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.


Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya  Fifth Discipline banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di Negara tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.


 


Peter Senge berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati  sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru.


 


Untuk menjadikan sebuah organisasi atau bahkan negara pembelajar, kita memang perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita:


 


Jangan Meraba-raba


Secara “back to basic” marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar US dollar. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam  ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang berobsesi untuk memperoleh data yang benar.

 

Eksperimen dan Riset Tidak Selalu  di Laboratorium

Dari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul “riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegiatan ”mencari tahunya”. Misalnya,”Saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik di beli Canon atau Nikon” atau “Saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawi saja selama seminggu”. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru. Ini sangat  berguna bagi kita yang memang selalu harus memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru  melalui kesulitan dan  kesempatan  yang kita alami.

 

Belajar di Mana Saja, Pada Siapa Saja


Dalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, menemukan persepsi dari sisi lain ”best practise” dalam implementasi, penyelesaian  pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem ’lesson learnt’, di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai ”Santayana Review” yang berasal dari ahli filsafat George Santayana yang pernah menyatakan: “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”.


Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana cara kita mengajukan pertanyaan dalam mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam pengetahuan di organisasi kita. Tentunya cara yang ”friendly” untuk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan dengan situasi massanya.(expert).


 

 

Rabu, 17 Januari 2018

Dilarang Korupsi


Hidup ini diwarnai berbagai nilai yang terkadang bisa harmonis dan sinkron satu sama lain, tetapi terkadang bertentangan dengan sangat mencengangkan. Ayah saya adalah seorang yang sangat simpel. Menjabat sebagai kepala cabang sebuah BUMN selama puluhan tahun, ia berprinsip untuk tidak memanfaatkan sepeserpun uang, barang ataupun fasilitas milik negara. Tidak sulit baginya untuk menentukan mana pemberian yang berbau gratifikasi, mana yang bukan. Semua pemberian dan kemudahan ditolak, titik. Hidupnya aman, tentram, tetapi tidak berkecukupan. Isteri  dan anak-anak perlu menerima konsekuensi dengan lapang dada, mencari tambahan sendiri sebisa- bisanya. 

 

Saat ini, hidup tidak sesederhana itu. Kita dikejutkan dengan kasus-kasus sogok-menyogok, di kalangan pemain, pelatih dan pengurus klub sepak bola. Tidak hanya terjadi di negara sendiri saja tetapi sudah sampai tingkat dunia di mana 14 gembong FIFA, termasuk pemimpinnya, Sepp Blater, mengaku menerima sogokan sebanyak 150 juta dollar AS. 

 


Belum lagi berita di media massa belakangan ini, mengenai perempuan karier, anggota dewan, yang pada dasarnya sudah sangat berkecukupan, tertangkap tangan menerima uang. Sementara slogan-slogan anti korupsi diteriakkan, praktik korupsi tetap berjalan lancar, tanpa rasa malu ataupun bersalah, seolah-olah ini adalah hal yang normal, senormal matahari terbit di ufuk timur. 

 

Korupsi adalah sebuah pilihan, walaupun bukan pilihan yang sederhana. Banyak perusahaan yang masih tergoda untuk menggunakan jasa importir gelap, yang notabene berarti melakukan penyelundupan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memilih cara ini akan membuat bisnis lebih kompetitif dan akhirnya lebih menguntungkan. “Kalau saya saja yang tidak melakukannya sementara kompetitor melakukan, saya akan kalah bersaing“ begitu argumen para pebisnis. Apakah pemimpin dan pelaku bisnis ini tidak ingin praktik-praktik yang lebih bersih?

 

Banyak orang menginginkan perubahan, tetapi di dalam kenyataannya, tidak banyak yang mau memerangi korupsi secara ekstrim. Berapa banyak dari kita yang ketika tertangkap melanggar peraturan lalu lintas, akhirnya mengeluarkan sogokan dari koceknya dengan dalih agar “tidak berbelit-belit” mengingat masih banyak hal penting lain yang perlu diurus. Bahkan, kadang sambil juga menyalahkan lembaga yang mau menerima sogokan. Ada yang bahkan merasa bahwa kegiatan ngobyek di luar pekerjaan, atau menggunakan fasilitas kantor untuk mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai sesuatu hal yang wajar, bahkan dengan bangga bercerita pada rekan-rekan kerjanya yang lain. Ada yang menjadi pimpinan lembaga antikorupsi, namun merasa tidak berdaya untuk memeranginya. Terlalu banyak apel busuk dalam keranjang, yang kalau disingkirkan semua, siapa yang tersisa untuk bekerja nanti? 

 

Menyetop korupsi: perjuangan seumur hidup 

 

Kita tidak mungkin menyerah kalah menjaga moral kita. Kita telah memenjarakan menteri beserta beberapa pimpinan lembaga penting terkait, yang berkuasa dan dihormati karena terbukti melakukan korupsi. Lembaga-lembaga yang tadinya sakti dan berpengaruh dalam menentukan harga minyak di negara kitapun, akhirnya bisa dihentikan operasinya. Bukankah ini pertanda bahwa kalau mau, kita memang bisa memerangi korupsi? Proses demi proses memang harus kita lakukan, tidak bisa asal terabas, dan membasmi. Semua detil harus ditelaah dengan seksama. Jadi, selain berkampanye, seorang pemimpin harus berjuang tanpa lelah dan melakukan tindakan korektif yang tidak ada habisnya. 

 

Sampai di mana kita? 

 

Demikian juga kita tidak bisa menyalahkan orang yang menerima sogokan saja. Yang menyogok, dan yang mengetahui terjadinya sogokan, juga memiliki derajat kesalahan yang sama. Kita perlu mengakui bahwa korupsi adalah penyakit kronis masyarakat secara sosial dan ekonomis. Pembenaran-pembenaran seperti kelumrahan, stereotip ke lembaga tertentu maupun keboborokan mental perlu kita cermati dengan hati-hati, dan bertanya pada diri sendiri: ”Bagaimana dengan kita?” Siapkah kita untuk tidak melakukan sogokan yang paling kecil sekalipun, baik kepada pejabat pemerintah, politisi, maupun pengambil keputusan pembelian di perusahaan klien kita? Walaupun kita yakin bahwa semua orang dalam organisasi harus mempraktikkannya, pemimpin harus memulai dan memberi contoh.

 

Dalam pesan tahunannya, Sudirman Said menulis, “Pangkat, jabatan, dan kekuasan adalah sementara yang dapat hilang kapan saja. Yang permanen adalah perilaku kita jika kita mampu membangun nilai-nilai: jujur, profesional, melayani, inovatif, dan berarti. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi banyak orang. Mari kita berikhtiar menjadi sebaik baiknya manusia, dengan membangun sikap dan perilaku; bukan mengandalkan kekuasaan dan jabatan.“ Pesan yang mendalam mengenai pembentukan karakter ini akan sangat ampuh bila dalam keseharian semua orang menjadi polisi bagi orang lain, semua orang ingin menjaga dan menegakkan kebenaran, semua orang tidak mengambil jarak dari kesalahan atau penyelewengan, tetapi perlu merasa terluka bila kesalahan sekecil apapun terjadi. Ingat anak cucu.(Expert)


 

Kamis, 11 Januari 2018

The Best I Can Be


Jangan mempersempit duniamu, dari yang engkau bisa pandang, tapi bukalah sejauh engkau dapat merasakan. Ingat “Iqra” (baca) apa yang bisa kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan segala yang tercipta di dunia ini, Tuhan tidak pernah membatasi manusia untuk berkreasi dan mengeplorasi alam yang telah diciptakanNya. Tuhan menjadikan kita sebagai manusia yang wajib hadir di muka Bumi (sebagai khalifah), bukan manusia yang sunnah, makruh, apalagi haram.

 


Segala kemampuan yang diberikan oleh Tuhan terkadang kita tidak menyadarinya, bahwa kita telah memiliki sesuatu yang hebat. Malah kita kita mendiamkannya bahkan unlock your potential, tidak kita keluarkan. Jika kita bekerja hanya menjadi beban berat, “suasana di kantor tidak kondusif” atau “atasan tidak kompeten”. Apapun yang dikerjakan di kantor hanyalah pekerjaan rutin yang membosankan.

Kini harus mulai mulai bertanya, apa HRD kantorku masih peduli pada orang seperti-ku ? Setelah 15 tahun bekerja diposisi seperti sekarang, sebagai pegawai yang promosi melalui macam macam tes, bikin makalah dan wawancara ? Apa HRD masih memikirkan orang macam aku, sekolah cuma sampai SMA, biarpun macam-macam pelatihan Peningkatan Mutu Ketrampilan (PMK) mulai dari yang ecek ecek sampai dengan yang serius telah kuikuti.

Aku harus evaluasi diri, apalagi aku sering mengkritik keadaan dan mengkritik orang lain, aku harus waspada karena aku sedang terjangkit penyakit kanker emosi pada tahap paling tinggi. Kritik hanya akan menjadikan keadaan lebih buruk dari pada memperbaiki. Aku harus evaluasi diri, dimana kekuranganku…? Kini mulai kubuka lembaran pembelajaran yang penah kulewati, apa saja yang sudah kuketahui tapi belum kulaksanakan dan kuamalkan..? People don’t resist change, they resist being changed

Aku sekarang nggak mau mengagumi orang lain, tapi aku melihat diri sendiri, aku nggak mau membanding bandingkan dengan orang lain, nggak mau menganggap orang lain hebat. Sebab saat mengagumi orang lain sebenarnya banyak hal yang bisa digali dari diri kita sendiri, kekuatan kita sering tertutup karena membandingkan diri, aku begini engkau begitu. Membandingkan boleh saja asal itu menjadi rangsangan untuk lebih termotivasi, membandingkan boleh saja asal kita saling berlomba untuk mempunyai kebaikan. Jika membandingkan itu tidak pada tempatnya terjadi, maka rasa syukur adalah obatnya.

Syukur adalah mengungkapkan rasa terima kasih atas apa yang dimiliki saat ini, tetapi tidak berhenti untuk berbuat lebih baik, untuk meraih suatu yang lebih besar lagi. Syukur bukan berarti berpuas diri, syukur bukan berarti duduk diam tak bersemangat untuk memperbaiki diri. Syukur adalah sesuatau yang dinamis, denga syukur justru membuat kita antusias untuk melakukan dan mengerjakan banyak hal mencapai sasaran yang lebih tinggi.

Bersyukur juga bukan berarti kita terjebak dengan kata sibuk. Sejak pagi hingga malam tumpukan pekerjaan sudah masuk ke level 10. Namun kita kita tidak mampu menyelesaikannya yang seharusnya memang dikerjakan, pekerjaan kita sering tertunda karena sering ada hal kecil, yang remeh remeh menganggu, misalnya merokok terlalu lama dikantin, bermain ponsel, main games di computer, sibuk membaca Koran sampai berjam-jam, sibuk buka facebook, apakah kita sibuk marah dengan keadaan? sibuk mengeluh?. Jika sibuk kita degan hal seperti itu berarti sibuk kita adalah sibuk tidak produktif. Banyak hal yang penting tapi lebih banyak hal yang lebih penting

Makanya ubah dari sekarang dari tidak produktif menjadi produktif, yaitu buat kesibukan yang memberikan nilai tabah (value) bagi diri kita, keluarga, masyarakat dan orang lain. Kita hanya berfokus secara akurat tajam pada sesuatu yang mampu menaikan nilai kita sebagai manusia. Bukan seseorang yang hanya menanti waktu dengan perubahan fisik yang ada dalam dirinya. Sertai pertumbuhan diri secara spiritual, intelektual, dan emosional. Sibuk produktif adalah sibuk yang penuh konsentrasi, saat bekerja pastikan pikiran dan tubuh didedikasikan untuk pekerjaan. Saat belajar pastikan pikiran tidak terpecah, agar energi bisa menembus apa yang menjadi target. Setiap perubahan meskipun perubahan yang lebih baik, pasti ada ketidaknyamanan. Dan ketidaknyaman itulah yang harus diubah menjadi kenyamanan.

Setelah semua yang terbaik kita lakukan, maka jadilah orang pertama yang memberi. Kita bisa memberi dengan senyum terbaik, kita bisa memberi dengan nasihat, kita bia memberi dengan doa, kita bisa memberi dengan jabat tangan yang erat untuk memberikan semangat pada orang lain, apapun itu lakukan dengan ketulusan, maka kita akan merasakan sensasi kebahagiaan yang luar biasa. Kita dapat menjadi bahagia dengan menerima dan mencintai kenyataan yang kita miliki, bersyukur dengan yang ada, berharap dengan yang belum ada, lepaskan segala energi “keinginan” kita kepada  Sang Pencipta, maka jalan jalan kehidupan kita akan lebih bermakna ( Sumber  “BATIC” by : Bang Jaja, Mas Pur, Mas Irfan, Kang Yasier).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tiga Anggota DPR


Tiga orang anggora DPR yang terkena kasus korupsi sedang berada di penerbangan di pesawat Angkatan Udara.

Anggota pertama: (Mengeluarkan uang 100 ribu) “Aku akan membuang uang ini dan membuat seseorang di bawah senang.”

Anggota ke dua: (Tidak mau kalah) “Kalau itu, saya akan membaginya menjadi dua 50 ribuan dan membuangnya turun. Itu akan membuat dua orang di bawah senang.”

Anggota ke tiga: (Tidak ingin dua kandidat ini mengalahkan) “Saya malah akan mengambil sepuluh lembar uang 10 ribuan dan membuang mereka, dan membuat 10 orang sedikit lebih bahagia.”

Pada titik ini pilot yang telah mendengar semua bualan ini dan tidak tahan lagi,

Pilot: (Keluar ke kabin penumpang) “Jika saya membuang kalian bertiga keluar dari pesawat ini, aku akan membuat 200 juta orang Indonesia berbahagia!”

 

Anggota DPR


Ada orang desa yang terpilih menjadi anggota DPR RI. Orang tersebut mendatangi seorang Kyai dikampungya dengan mobil mewah dan disertai dengan supir serta ajudannya.

Anggota DPR RI       : Pak Kyai, hebat mana saya dengan pak lurah?”

Pak Kyai                : “Yaa jelas hebatan anggota DPR RI, gaji 1 banding 1000.”

Anggota DPR RI       : “Kalau dengan Bupati pak Kyai?”(tersenyum bangga)

Pak Kyai                : “Yaa masih hebat DPR RI, punya kewenangan menentukan anggaran.”

Anggota DPR RI       : “Kalau dengan menteri Kyai?”

Pak Kyai                : “Yaa, masih hebatan DPR RI, menteri takut dengan DPR RI.”

Anggota DPR RI       : (Tersenyum sambil) “Betul, Betul, Kalau dengan presiden, Kyai?”

Pak Kyai                : “Yaa, masih hebat DPR RI, presiden juga takut sama DPR RI.”

Anggota DPR RI       : “Lah, kalau dengan Nabi, gimana pak Kyai?”

Pak Kyai                : (Terdiam sejenak sambil) “Yaa, masih hebat DPR RI.”

Anggota DPR RI       : “Kok bisa? Pak Kyai ada-ada saja.”

Pak Kyai                   : “Nabi masih takut sama Tuhan! Kalau DPR RI sudah nggak takut lagi sama Tuhan, karena sring korupsi!”.

 

Pergunakan TI atau Mati


Penumbuhan usaha yang di-inspirasikan dari adanya kreatifitas dan inovasi merupakan model ideal dalam rangka pembangunan yang bertujuan mengoptimalkan potensi sumberdaya tersedia dan bersifat partisipatif. Oleh sebab itu, pengungkapan kiat-kiat usaha dan penularan inovasi usaha tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Itulah awal dari pembentukan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Tujuan UMKM adalah mengembangkan usaha yang dimiliki masyarakat, agar dapat dikenal dan diminati, sehingga nantinya menjadi usaha yang menjadi favorit dan dicari.
 

Usaha-usaha yang dapat diperjuangkan melalui UMKM bermacam-macam mulai dari kuliner, obat-obatan, jamu, jasa, hingga pengelolaan barang industri rumahan seperti : membuat sabun deterjen, membuat lem kertas, membuat huruf timbul pada tembaga, minyak angin, obat nyamuk keras batangan, jamu beras kencur, sirup nanas, es cream, gula kelapa, nasi goreng keliling, toge goreng, sari buah dalam botol, garam, usaha kuliner rumah makan dan lain-lain.

Memulai sebuah usaha atau bisnis, sepertinya nggak akan langsung bisa sukses, jatuh bangun diawal merintis sebuah usaha sudah pasti ada. So jangan mudah menyerah, belajar dan belajar dari kesalahan dan kekurangan, meskipun usaha sudah bisa berjalan sempurna, pasti masih tetap ada hambatan.

Ketika mulai sebuah bisnis baru yang sering terjadi adalah membelanjakan modal untuk membeli barang yang tidak diperlukan dalam produksi dan penggunaan biaya operasional yang tak perlu. Atau bisa jadi untuk biaya promosi yang tanpa disadari terlalu berlebihan, akhirnya produk kurang untuk dijual. Selain itu modal yang dimiliki juga terbatas, sedangkan profit belum menghasilkan. Maka yang terjadi adalah kerugian dan mearasa gagal dalam awal usaha.

Bank Indonesia melalui PBI No 17/12/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015, telah memberikan peluang kepada perbankan untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan pada UMKM, berupa pelatihan kredit/account officer, pelatihan, fasilitasi dalam pemanfaatan pmeringkat kredit (credit rating) untuk usaha kecil dan usaha menengah dan publikasi serta pemberian award. Dengan adanya PBI ini berarti perbankan secara utuh harus siap membantu pengembangan UMKM termasuk laporan progress bisnisnya. Selain itu Bank Indonesia juga memberikan bonus kepada bank yang bisa menyalurkan kredit ke sektor usaha UMKM diatas rasio yang ditentukan.

Upaya BI untuk mendorong pertumbuhan kredit UMKM adalah dengan memberikan kelonggaran batas atas LFR hingga menjadi 94% dengan kualitas kredit baik. Selain itu terdapat ketentuan dari segi NPL, yaitu bahwa rasio NPL total kredit bank secara bruto (gross) ,5% dan rasio NPL kredit UMKM bank secara bruto (grsoss) ,5%. UMKM di Indonesia hamper mencapai 50 juta unit usaha namun tidak semua bankable.

Selain itu upaya BI dalam membantu pengembangan UMKM adalah melakukan kesepakatan bersama dengan Kementrian Koperasai dan Usaha Kecil dan Usaha Menengah anatara lain :

1.    Tujuannya adalah mendayagunakan dan mensinergikan sumber daya dari para pihak dalam rangka peningkatan akses pembiayaan dan pengembanagn UMKM, menuingkatan pengetahuan dan ketrampilan UMKM.

2.    Pelatihan Business Development Sevice Provider (BDSP) atau konsultan Keuangan Mitra Bank dan Inkubator.

3.    Penelitian dalam rangka pengembangan UMKM termasuk biaya, produktivitas, daya saing, nilai tambah dan kualitas UMKM.

4.    Hyperlink dan sosialisasi penggunan situs resmi Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia dan Bank Indonesia.

5.    Fasilitasi penyelenggaraan intermediasi perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dengan UMKM melalui Bazar, Expo, Workshop, Pameran

6.    Fasilitasi dan koordinasi pembentukan Perusahaan Penjamin Kredit Daerah

Berbagai upaya lain yang telah dilakukan BI dengan berbagai institusi antara lain : Kerjasama di Sektor Pertanian dengan Kementrian Pertanian, dengan PT Jatropa Green Energy tentang kerjasama Pengembangan Klaster Komoditas Jasa Pagar, dengan Gabungan Kelompok Tani Mekarmukti dan PT Mitratani Agro Unggul tentang kerjasama Pengembangan Klaster Cabai, dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan tentang Percepatan Pembanganan Sektor Kelautan dan Perikanan sebagai Salah Satu Sektor Unggulan dalam Perekonomian Indonesia.

Walaupun telah banyak yang dilakukan BI dalam pengembangan UMKM, ada tiga masalah yang masih harus diperhatikan adalah : terbatasnya akses pembiayaan yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan UMKM dalam menyusun keuangan, kedua terbatasnya akses pasar (marketing) yang belum jelas sehingga menyulitkan UMKM untuk memasarkan hasil produksinya keluar negeri. Karena produksinya hanya diorientasikan pada kebutuhan lokal, padahal pasar dunia sanmgat terbuka. Ketiga terbatasmya ketrampilan sumberdaya dan tidak memiliki Divisi khusus untuk reseach.
 

Oleh karena itu BI disarankan untuk menganjurkan UMKM bisa membuka pasarnya secara strategis. Saat ini pembukaan jalan tol di seluruh Indonesia sedang gencar dilakukan, disana terdapat rest area, yang bisa dimanfaatkan untuk menempatkan UMKM yang bermutu memasarkan hasil produknya, Selain itu penggunaan teknologi sangat diperlukan, penggunaan teknologi akan sangat membantu usaha skala mikro dan kecil cepat berkembang. Walaupun dari hasil survey saat ini penerapan dan adopsi teknologi masih sangat rendah. Itu sebabnya peran BI secara global men-support agar UMKM mau menerapkan dan mengadopsi teknologi supaya cepat berkembang, produksi bertambah dengan kualitas yang baik dan pasar yang jelas kalau perlu dilakukan penjualan secara on line.

Pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai 50 juta orang, ini sebuah peluang yang besar. Untuk mendorong hal ini sebaiknya BI mendorong UMKM binaan untuk  meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap peran strategis teknologi informasi, melakukan pelatihan, materi yang diberikan seputar pengenalan internet, bagaimana menggunduh materi promosi ke internet dan melayani penjualan, termasuk pembayarannya. Dengan berjualan didunia maya, produk UMKM cepat dikenal masyarakat, bahkan hingga ke mancanegara. Tanpa menggunakan TI saat ini usaha disegala bidang akan ketinggalan kereta, makanya tekankan pada UMKM “GUNAKAN TI ATAU MATI” tergilas jaman.

Karena penggunaan teknologi masa kini bukanlah sesuatu yang percuma, langkah tersebut harus digalakan kepada semua UMKM. Memacu bisnis dengan penggunaan TI sangatlah diprioritaskan, pertumbuhan dan perkembangan positif UMKM jelas sangat menjanjikan. Sebab pasarnya menjadi global dan produksinya jadi bermutu. UMKM tidak perlu mengerti Bahasa pemrograman, karena sudah banyak startup lokal yang dapat membuat website dengan harga terjangkau. Sebagai salah satu contoh, jika UMKM memiliki produk yang bermutu mereka bisa menjualnya secara online untuk menjaring lebih banyak pelanggan seperti memanfaatkan banyak layanan marketplace online yang sudah tersebar di internet.

Selain itu dari segi kredibiltas UMKM bisnisnya semakain bagus dan bankable, karena menggunakan teknologi informasi berarti mau ikut dalam pembiayaan komersial, karena mempunyai asset yang riil dan dapat menjadi jaminan pemberian kredit. Secara tidak langsung maka UMKM tersebut telah mengoptimalkan E-banking serta meningkatkan cross selling dan integrated marketing. Yang pada akhirnya UMKM menunjang financial inclusion system perekonomian Indonesia.

Kuatkan Mental Menjelang Pensiun


Ada kenalan menceritakan sedihnya ketika “tidak menjabat lagi”. Salah seorang pejabat di sebuah Satker (Departemen) dihampiri petugas keamanan ketika memarkir mobilnya di tempat biasa. Petugas menyatakan bahwa tempat parkir tersebut diperuntukkan pejabat baru, dan beliau dipersilakan menggunakan tempat parkir umum.

 

Hal-hal ini tentu menyakitkan hati, apalagi bila kita tidak siap untuk mengantisipasinya. Di situasi lain, ada orang yang sudah diperlakukan baik-baik, dengan program pensiun yang jelas, tetap uring-uringan dan merasa tidak nyaman berkepanjangan. Kita, yang tidak merasakan situasi ini dengan mudah menertawakan sang individu dan tidak bisa mengerti mengapa yang bersangkutan seolah-olah tidak rela melepas jabatannya itu.

 

Beberapa orang tampak sangat siap untuk menjalani kehidupan barunya selepas menjabat. Seperti halnya mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anis Baswedan, yang naik sepeda motor mengantar anaknya sekolah. Orang-orang seperti ini tampak tidak menderita secara fisik, mental, dan sosial. Sementara beberapa lainnya tampak berusaha menggapai-gapai status sosial yang dulu pernah ditempatinya.

 

Situasinya menjadi lebih buruk bila mereka mulai bersikap reaktif terhadap situasi sekitar. Kita tahu bahwa di Indonesia, jabatan atau kedudukan berakhir di kisaran 60 tahun. Pada usia yang demikian, fisik manusia pada umumnya masih sehat. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para senior ini? Apakah betul rasa tidak nyaman ini lazim dan tidak perlu kita tanggulangi. Bukankah kita semua akan menghadapi situasi seperti ini? Sudah siapkah kita?

 

Orang yang mengalami kecemasan seusai masa jabatannya, lalu tidak bisa move on, seolah berpegang pada kejayaan masa lampau dan bereaksi mengganggu, seperti marah-marah tidak bisa mengukur situasi, cepat tersinggung, tidak bisa beradaptasi dengan situasi terkini, dan menyerang pendapat maupun kebijakan pengganti-penggantinya. Ada rasa tidak “selesai” ketika meninggalkan jabatannya.

 

Tidak selesai secara emosional, individu tidak bersiap untuk bergerak dari keadaan full power menjadi, mungkin, no power. Untuk orang-orang tertentu, hal ini bukanlah masalah besar. Namun ada individu-individu yang tetap berpegang pada masa lalunya dan tidak bisa melepaskannya dengan legowo.

 

Individu yang pada masa jabatannya tidak pernah melakukan refleksi diri, terfokus pada prestasi, dan menggunakan banyak power untuk mencapainya, bisa-bisa lupa membuat langkah mundur. Amatlah penting untuk menghitung, kapan masa jabatan selesai, apa yang sudah dipersiapkan ketika fasilitas dan kuasa tidak ada lagi, dan bagaimana meninggalkan legacy yang baik.

 

Power memang sering memabukkan dan rangkulannya susah dilepaskan. Individu seperti ini biasanya akan mengupayakan agar ia tetap memegang kendali, di luar jabatannya, dan menyiapkan pengganti-pengganti yang bisa ia kendalikan. Hal ini sering kita lihat pada dunia politik. Bila upaya ini dilakukan untuk meneruskan misi tertentu, tidak seharusnya individu berfokus pada power, tetapi ia sebaiknya berfokus pada misi organisasi, lembaga atau negaranya, dan mengupayakan agar para penerus bisa mengemban misi yang sama.

 

 

Sangatlah manusiawi bila kita merasa sedih apabila sebelumnya kita dielu-elukan lalu sekarang harus survive sendiri di lingkungan sosial. Selayaknya kita senantiasa mengingatkan bahwa jabatan dan pekerjaan hanyalah tugas yang dibebankan pada kita. Kita perlu menjaga nama baik dan meninggalkan karya-karya yang bisa dimanfaatkan penerus kita.

 

Prof Sedyatmo penemu fondasi cakar ayam, merupakan salah satu contoh individu yang tidak perlu berkoar-koar mengenai karyanya. Cukup dipakai saja. Mantan CEO Mandiri Agus Martowardojo mungkin tidak pernah menciptakan produk yang khas. Namun keyakinan beliau bahwa yang beliau tinggalkan akan berjalan lancar, baik tim maupun dalam bentu kerja, membuat beliau tidak perlu sering-sering menengok ke belakang, dan mengulang-ulang apa yang terjadi di masa lalu.

 

Bagaimana bila kita memang tidak mempunyai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang signifikan di pekerjaan kita? Kita bisa mengkaji dan menantang diri untuk menguatkan daya adaptasi kita karena setiap manusia dibekali akal budi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru.

 

Kuatkan “self esteem”

Salah satu cara menguatkan diri kita dalam situasi yang tidak kondusif adalah menguatkan penghargaan kepada diri sendiri, alias self esteem. Berdasarkan teori Maslow, manusia yang semula mencari kepuasan fisik, rasa aman dan sosial pada saatnya akan mengarahkan dirinya kepada kebutuhan menghargai prestasi diri sendiri, dan menikmatinya.

 

Orang-orang yang tidak sempat memikirkan penghargaan dirinya sendiri ini dan tetap berkutat pada materi, serta kuasa, akan merasa lebih sakit bila situasi berubah. Upaya menguatkan esteem dapat dilakukan dengan memulai hobi baru atau bergerak di lembaga-lembaga sosial, atau keagamaan. Yang paling penting, individu bisa menemukan kebahagiaan lebih dari dalam dirinya.

 

 

Taman Kanak- kanak


BELAKANGAN ini kita menyaksikan banyak sekali tontonan perbuatan orang yang tak jarang membuat kita mengernyitkan dahi atau geleng-geleng kepala melihat tingkah laku manusia yang tidak pantas. Tidak hanya orang-orang di sekeliling kita, bahkan presiden negara adidaya pun tak kunjung berhenti memberi kejutan. Beliau mungkin lupa bahwa sebagai seorang pemimpin, dirinya akan terus  menjadi sorotan, mulai dari body language-nya menghadapi mitra-mitranya, sampai kepada tutur kata dan kebijakan yang diambilnya.
 
Kecanggihan teknologi juga tindak terkecil sekalipun dapat terekam dan diputar ulang serta disebarluaskan. Di negara sendiri pun kita terperangah mendengar ungkapan-ungkapan dari individu yang kita anggap perlu dipanut, tetapi kemudian mengungkapkan hal-hal yang tidak pantas, yang hanya bisa diekspresikan oleh orang yang belum mengenal pelajaran etik, sopan santun, ataupun budi pekerti.
 
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga tak jarang melihat orang yang begitu merasa “mendapat angin” langsung menunjukkan kepongahannya, tidak sadar bahwa perilakunya bisa membuat orang menderita, merasa kalah dan tertekan. Di dalam organisasi kita juga mulai merasa sulit menemukan orang yang matang, bisa menahan emosi, bisa berhubungan dan menghadapi orang lain dengan dewasa dan bertanggung jawab. Ungkapan lama tentang fenomena “a little boy inside the man” bila diamati memang terjadi pada tiap individu. “Tua memang belum tentu dewasa”. Orang yang kadar anak kecilnya tinggi sering kali kesulitan menunjukkan disiplin, tanggung jawab, kepedulian, dan stabilitas emosi yang konsisten. Bahkan, seorang psikolog di Afrika Selatan mengungkapkan bahwa dalam asesmen di negaranya, sudah lazim dibedakan antara usia fisik dan usia emosi.
 
Orang yang usia emosinya tidak sesuai, biasanya akan menunjukkan gejala-gejala anak kecil, terutama pada saat tertekan. Sebagaimana kita ketahui, anak usia taman kanak-kanak biasanya tidak bisa menahan kemarahannya dan menunjukkan tingkah laku tidak terkontrol ketika kemauannya tidak dituruti. Orang dewasa tentunya mampu menimbang dulu bagaimana ia harus beraksi, apakah situasinya tepat untuk beraksi dan bagaimana tanggapan orang lain terhadap reaksinya tersebut tidak impulsif seperti anak-anak TK yang memang belum mencapai tingkatan dimana mereka bisa membedakan tindakan yang beradab dan yang belum. Istilahnya reaksi anak-anak biasanya lebih dikuasai oleh dorongan id mereka, di mana peranan superego yang ditularkan oleh orang tua belum terlalu kuat. Kebiasaan-kebiasaan mem-bully, mempersalahkan orang lain, tidak mengakui kesalahan, ataupun tidak sabar dan tidak mampu menunjukkan komitmen memang perlu dilatih dan dikembangkan oleh orang usia dewasa.
 
Gagal Dewasa
Belajar menjadi dewasa itu seperti layaknya orang yang jatuh bangun dalam belajar naik sepeda. Dia perlu mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya bisa menemukan keseimbangan dan menikmati setiap kayuhannya. Bisa saja jatuh bangun ini disebabkan karena kurangnya bimbingan atau individu memang banyak memelihara mekanisme pertahanan yang sebenarnya perlu didobrak dirinya sendiri. Mekanisme pertahanan diri yang muncul ini sering kali dilatarbelakangi oleh kecemasan yang tidak mudah diraba oleh individu untuk melakukan penelaahan yang mendalam dan wawas diri. Individu justru perlu menghadapi sendiri situasi-situasi social yang menantang untuk menumbukan kedewasaan itu; tidak bisa belajar hanya dengan mengamati dari kejauhan. Kita pun tidak bisa jago naik sepeda dengan hanya membacanya dari buku, bukan? Orang yang berniat untuk jadi lebih dewasa perlu menantang rasa rendah diri dan kepasifannya dan mengerem kerja mekanisme pertahanannya sedikit demi sedikit.
 
Aktifkan “observing ego”
Istilah observing ego merujuk pada kemampuan orang untuk melihat kesalahan dirinya dan belajar kesalahannya. Kita juga sering menggunakan istilah kemampuan untuk keluar dari diri kita sendiri, dan melihat diri kita dari diri kita sendiri, dan melihat diri kita dari sisi yang berbeda. Marah dan lepas kontrol adalah hal yang manusiawi. Yang membuatnya berbeda adalah apakah setelah suatu kejadian kita berusaha menelaah, mempelajarinya dan berusaha meminimalisir reaksi negatif dan menggantinya dengan reaksi yang lebih positif? Sebagai orang berusia dewasa, meningkatkan diri untuk menjadi lebih matang membutuhkan pergulatan batin tanpa rasa lelah. Namun, hal ini sangat kita perlukan, apalagi menghadapi generasi yang jauh lebih muda dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
 

Kuasai Hidup Anda
Dalam keseharian, kita sering merasa bahwa tugas utama kita adalah memperbaiki orang lain, misalnya anak, anggota tim, bahkan stakeholder lainnya. Sementara itu, agenda yang paling sering terlupakan adalah niat untuk mengasah kematangan pribadi kita. Bahkan, sikap negatif pun sering kita carikan pembenaran sehingga kita tidak merasa memerlukan perbaikan. Padahal, kita semua tahu bahwa dengan bersikap positif, kita bisa lebih bahagia dan mempunyai energi lebih utuk melakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan Michael Jackson dalam lagunya juga mengatakan “if you want to make the world a better place, take a look at yourself and make a change.”
 
Banyak kebiasaan baik menuju kematangan dan kedewasaan emosional. Latihan mengucapkan syukur dan terima kasih untuk setiap kejadian dalam keseharian akan membuat kita lebih bahagia. Kita juga perlu meyakini bahwa dalam hidup ini tak ada jalan buntu. Kita bisa menata ulang sasaran kita. “sometimes you win and sometimes you learn”, kata Robert Kiyosaki. Kita pun bisa mengimajinasikan situasi-situasi tidak enak, seperti ditinggalkan orang yang kita andalkan, dicaci-maki orang sehingga kita menjadi lebih siap dan kuat ketika benar-benar menghadapi situasi seperti itu.
 
Jalan menuju kematangan ini akan jauh lebih ringan bila kita mampu mendeskripsikan hidup kita dengan kata-kata positif. Kata-kata seperti : lemas, bosan, kacau, marah sungguh memberi pesan kepada jiwa kita bahwa hidup memang sulit. Kebiasaan berespons dengan sarkasme membuat muka kita kian pesimistis. Kita akan sukses melewati anak tangga kematangan kita bila kita mampu melihat permasalahan dan langsung berpikir mengenai solusinya. Kematangan jiwa ini tidak bisa digantikan oleh mesin secanggih apa pun dan hanya bisa diperoleh dengan latihan oleh diri sendiri.(Experd : ER &EJ)