Minggu, 27 Desember 2015

J a n d a

“Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu!”
Tyas mengangkat wajahnya, menatap sahabatnya yang duduk di hadapannya. Gelas yang hampir sampai di mulut Tyas terhenti di udara, sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke atas meja. Wajah Nola sudah berubah. Tak ada lagi senyum apalagi tawa di sudut bibirnya yang biasa melengkung dengan cantik itu. Ia pasti marah.

Tiap kali Tyas berkata ingin bercerai dengan suaminya, Nola selalu seperti itu. Ia akan mendengarkan semua keluhan Tyas tentang suaminya, ia juga akan tetap diam dan terus begitu sampai airmata Tyas akhirnya menetes. Saat itulah, Nola akan memeluk Tyas masih tanpa berkata apa-apa. Hanya saja, Nola akan berubah marah setiap kali Tyas mengucapkan keinginannya itu.



“Jangan bercerai! Jangan pernah menjadi janda, Yas! Jangan! Kamu akan sangat menyesal!”
“Kenapa sih, La? Aku heran sama kamu. Mau dengerin aku ngeluh panjang lebar, tapi giliran aku ngebahas soal perceraian, kamu selalu marah kayak begitu. Setelah menikah, sahabatku ya cuma kamu. Sekarang pernikahanku udah kayak neraka begini, aku mau bertahan bagaimana lagi? Kalau bukan sama kamu, sama siapa aku ngebahasnya? Setidaknya denganmu kan aku bisa tahu prosedur perceraian. Kau kan sudah pernah bercerai,” keluh Tyas.

“Karena aku sudah menjadi janda, makanya aku tahu rasanya, Yas.”
“Nah! Why not? Kamu keliatan baik-baik saja setelah bercerai. Sudah berapa lama? Enam tahun? Tujuh tahun?” tanya Tyas enteng. Kali ini ia benar-benar meminum teh jasmine-nya.
“Tujuh tahun lima bulan,” jawab Nola sedikit mendesah. Ia menghela nafas panjang sebelum kembali berkata, “dan sakitnya, pedihnya, masih sangat terasa.”
“Ah, yang benar?”
“Nola yang ada di depanmu, adalah Nola yang berusaha keras menyembunyikan sakit itu, Yas,” gumam Nola. Wangi kopi yang ada di hadapannya, membuat Nola mengambil gelasnya. Seteguk kopi pahit meluncur masuk ke dalam tenggorokannya.
“Tapi kau baik-baik saja kan?”
“Dulu aku sepertimu. Berpikir bahwa ada jutaan janda di luar sana, hidup baik-baik saja. Mereka bisa menjadi orangtua tunggal untuk anaknya, bisa menghidupi hidupnya dan anak-anak mereka, bisa hidup di lingkungan mereka. Sama seperti hari-hari saat mereka menikah. Malah aku melihat mereka hidup dengan gembira. Sesuatu yang kulihat hanya di permukaan,” ujar Nola lirih.

“Tapi itu berbeda ketika aku sendiri yang mengalaminya. Menjadi janda itu saja sudah berat, Yas. Orang-orang akan menilai kalau kita ini adalah manusia gagal, manusia yang tak bisa memahami orang lain dan manusia yang tak bisa hidup dengan orang lain. Lalu mereka akan mulai menghakimi, tanpa mengerti duduk masalahnya. ‘Ah, pasti dia kurang pandai melayani suaminya’, ‘ah, dia pasti tidak sabaran’, ‘dia mah gampang dibodohi jadi suaminya selingkuh kali’ dan ribuan penghakiman lain yang akan membuat dada seakan ingin meledak. Belum lagi harus menghadapi mata yang curiga, mata yang mengintimidasi seakan-akan kehadiran seorang janda akan menjadi virus yang mematikan bagi masyarakat di sekelilingnya. Saat kita hidup dengan cukup, mereka akan berkata ‘yah pasti mantan suaminya yang ngasih tunjangan tuh,’ atau ketika kita hidup dengan berlebih, mereka akan berkata ‘heran kok jadi janda hidupnya malah senang, kerjanya apaan tuh? Jangan-jangan dicerai karena selingkuh dan suka nyari cowok lagi’ tapi anehnya ketika kita hidup susah, malah mereka juga mencemooh ‘sudah tahu gak bisa nyari uang, kenapa cerai? Dasar bodoh!’ dan lingkaran setan itu takkan pernah berhenti melingkupi kehidupan seorang janda. Sampai kapanpun.”

Tyas terdiam. Nola memang tak pernah berkata apa-apa selama ini tentang perasaannya soal perceraian yang terjadi dulu. Dulu ketika bercerai, Nola hanya menangis dan Tyas hanya mampu memeluk serta menguatkannya dengan memintanya sabar. Namun, Tyas juga tahu kata-kata Nola benar. Dia juga sempat mendengar kata-kata sejenis itu. Dari ibunya sendiri yang pernah mengatakan, “Temanmu itu bodoh sekali, Yas. Suami kaya dan ganteng seperti itu kok digugat cerai. Kalau laki-laki selingkuh harusnya diselidiki dulu masalahnya. Jangan apa-apa main cerai! Siapa tahu hanya informasi palsu.”

Saat itu Tyas langsung meminta Ibu untuk tak menyalahkan Nola. Kalau bukan karena melihat sendiri, tentu Nola takkan mungkin menceraikan Rafli. Ibu masih membela mantan suami Nola, tapi Tyas meminta Ibu untuk tak mengucapkan apapun lagi tentang perceraian sahabatnya itu. Seperti Tyas yang juga tak pernah berani menyinggungnya… sampai saat ini.

“Apalagi kalau sudah punya anak-anak. Itu yang paling… paling terberat. Ada saat aku pengen kembali pada mantan suamiku hanya untuk mengatakan apapun yang terjadi aku memaafkannya asal dia kembali menjadi ayah sepenuhnya untuk anak-anak. Ada saat aku berpikir untuk menikahi siapapun yang melamarku saat itu, asalkan dia punya gaji yang cukup untuk menyekolahkan anak-anakku. Memang masalahnya bukan hanya uang. Anak-anak membutuhkan segalanya, Yas. Tidak hanya uang untuk sekolah dan hidup mereka, tapi juga kasih sayang yang lengkap dari orangtuanya. Bagaimana itu bisa terjadi ketika mereka harus hidup terpisah dengan salah satunya?” lanjut Nola.

“Aku memilih mengambil raport anak-anak, lebih cepat atau lebih lambat dari waktu seharusnya. Pekerjaan kujadikan alasan dan untunglah guru anak-anak selalu mengerti. Kamu tahu kenapa alasannya?” Mata Nola berkaca-kaca. “Karena aku iri, iri melihat orangtua yang datang berpasangan, memuji prestasi anaknya sementara anak-anakku….”
“Bukankah Mas Rafli beberapa kali datang ke sekolah, La? Setahuku kalau soal urusan anak, Mas Rafli selalu bekerja sama denganmu,” tukas Tyas.

Nola tersenyum samar. “Itu setelah putri kami tidak naik kelas dan ia masuk rumah sakit karena depresi. Kalau Nurul tak memberitahu perasaannya soal perceraian kami ke psikiater yang menanganinya, mungkin kami takkan pernah sadar kalau perceraian itu tak hanya mempengaruhi kami berdua, tapi juga anak-anak. Sekarang Mas Rafli sepakat untuk ikut serta dalam pendidikan anak-anak, dengan syarat kami tidak datang berdua. Istrinya yang sekarang akan keberatan.”

Tyas kembali terdiam. Nola meraih gelasnya dan meminum beberapa teguk. Tenggorokannya terasa kering setelah mengisahkan seluruh derita yang selama ini ia simpan dalam-dalam.
“Tak ada yang tahu sakitnya menjadi janda, sampai ia menjadi janda. Tapi tak ada salahnya mendengarkan sahabatmu ini, Yas. Cukup aku yang mengalaminya. Cobalah untuk memperjuangkan pernikahanmu. Clear-kan masalahmu sejelas-jelasnya. Jangan berasumsi negatif apalagi bercerai karena asumsi tanpa bukti itu. Mintalah pendapat dari berbagai pihak, jika pikiranmu buntu. Mungkin saja, pendapat itu akan lebih membantumu. Pikirkanlah dengan matang, sejauh mungkin andaikan kata kau bercerai. Akan ada banyak kata ‘sanggup’ yang harus kau lakukan dan itu mungkin termasuk… “

“Apa?” sambar Tyas cepat.
“Memperbaiki genteng atau bahkan mengganti sekring. Kamu sudah bisa?” tanya Nola dengan dahi bergerak naik. Ia tahu benar sifat manja sahabatnya ini. Sifat yang sering dikeluhkan suaminya dulu saat mereka belum menikah dan masih teman kuliah.

Pertanyaan Nola membuat Tyas terdiam lagi. Bagaimana mungkin? Jangankan memperbaiki genteng atau mengganti sekring yang putus, selama ini kalau ada kecoa lewat saja dia sudah teriak-teriak memanggil suaminya. Tyas baru ingat, sepanjang pernikahan ia sangat bergantung pada suaminya. Bahkan sebelum bertemu Nola tadi, Tyas minta diantar jemput oleh suaminya. Sesuatu yang tak pernah dipikirkannya selama ini.

“Pikirkan ya… pikirkan baik-baik, temanku sayang. Pikirkan anak-anakmu, dan dirimu sendiri. Kalau suamimu menyakiti fisikmu, akulah orang pertama yang akan memintamu menceraikanmu. Tapi tidak kan? Cobalah mencari solusi lain selain bercerai. Katanya, kalau satu pasangan bisa berbaikan lagi, hubungan mereka akan lebih baik daripada sebelumnya. Cobalah! Lakukan yang tidak kulakukan dulu!”

Tyas tak menjawab, ia hanya mengangguk. Ia memahami kini apa yang dimaksud Nola. Kalau memang Mas Karim menduakannya, ia akan tetap berjuang sekeras mungkin mempertahankan pernikahannya dengan mencari solusi yang lebih baik selain berpisah. Bukan karena takut menjadi janda, tapi karena ia tak ingin menyesali keputusannya seperti Nola. Kalau memang harus berakhir, Tyas akan menerimanya sekaligus berusaha menghadapi konsekuensinya. Tanpa ada penyesalan.

Menjadi janda bukanlah pilihan, tapi satu solusi. Solusi yang pahit. Solusi yang memiliki banyak konsekuensi. Konsekuensi yang harus diperhitungkan dengan sebaik mungkin.(Sumber Blog : Bunda Iin)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar