Satu – dua dasawarsa lalu, kita masih banyak menemukan
kantor-kantor atau toko tutup jam 2 siang dan menerima situasi tersebut sebagai
hal yang biasa. Bila kita menemukan situasi semacam itu sekarang, kita pastinya
tertawa dan akan segera memberi cap “jadul”..! Kini, bukan cuma rumah sakit yang memberi pelayanan 24 jam. Apotik,
supermarket, perbankan, wartel, bengkel dan toko kebutuhan sehari-hari pun
berlomba-lomba memberi layanan sepanjang hari. Bukankah kini tidak aneh lagi
kita melakukan diskusi, meeting,
pelatihan dan pertemuan bisnis sampai tengah malam? Bekerja “long hours”
telah menjadi rutinitas, bekerja saat weekend seakan sudah menjadi hal yang biasa. Bisakah kita bayangkan, apa jadinya
bila kita tidak menemukan gaya baru dalam menghadapi situasi yang serba berubah
seperti ini?
Kita lihat banyak organisasi yang menuntut karyawannya
untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan menerapkan prosedur dan disiplin
yang kaku. Namun, ternyata tetap saja mereka mengeluhkan kinerja dan produktivitas
yang tidak sesuai harapan. Di tengah situasi kerja menekan, kita pun sering
mendengar karyawan mengeluhkan atasannya: yang tidak ada puasnya lah, yang
sering berubah-ubah lah atau memeras tenaga.
Bagaimana kita menyikapi suasana kerja yang seakan-akan
tidak lagi menyenangkan? Tuntutan ekonomi, sosial dan global begitu
mengharuskan kita berpikir keras untuk me-refresh
gaya kerja kita. Bila kita merasakan organisasi tidak berganti gaya selama
puluhan tahun dan suasana bekerja tidak lagi bergairah, bukankah itu juga
tanda-tanda kuat kita perlu berganti gaya atau bahkan berganti arah?
Tertutup atau Terbuka?
Mana yang lebih baik, menahan dan menjaga
rapat-rapat “rahasia dapur” kita atau membiarkan desain, produk dan distribusi
kita bebas diakses dan dimanfaatkan seluas-luasnya? Tahukah Anda bahwa banyak
akademisi handal di negara kita ternyata menyimpan rapat hasil penelitian
mereka yang canggih dan bisa bermanfaat luas? Ada yang kuatir hasil karyanya
dicontek orang, ada yang berstrategi untuk bertahun-tahun mencari mitra dan
waktu yang tepat untuk mempublikasikan karyanya, sampai tak jarang karyanya
sama sekali tidak sempat terpublikasikan atau bahkan menjadi basi. Masih
bisakah kita menerapkan pendekatan menahan, menjaga dan menyimpan di jaman yang
terus berubah seperti ini?
Dulu, perusahaan yang jeli menangkap kebutuhan
pelanggan, jago memprediksi tren pasar, memiliki sistem dan prosedur yang
lengkap, bisa kita pastikan akan merajai pasar. Mereka bisa “menangkap” banyak
pelanggan dengan pendekatan yang kita kenal dengan Push Platform. Namun, beberapa perusahaan kelas dunia
sekarang justru meninggalkan mindset
ini. Mereka tidak lagi mengejar pelanggan, tak lagi berorientasi memenuhi
kebutuhan pelanggan, namun mereka membebaskan diri berinovasi, membuka diri
terhadap masukan, belajar dari bidang yang berbeda, menciptakan nilai-nilai
baru, menonjolkan keunikan produk dan layanan mereka. Ujung-ujungnya, pelanggan
yang malah mengejar mereka. Gaya baru, “Pull Platform” inilah yang memampukan
organisasi tidak sekedar bisa mengejar ketinggalannya, namun sebaliknya meng-attract values.
Perusahaan atau individu yang berorientasi menahan,
menjaga, merahasiakan, apalagi memikirkan keuntungan diri sendiri kita lihat
jadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang terbuka, fleksibel, berinovasi
dan mengandalkan strength values. Bukankah kita melihat
perusahaan-perusahaan Cina dan India maju begitu pesat dengan open production, open distribution dan proses design yang kreatif? Contoh yang
paling nyata yang dilakukan Adidas dalam Adidas X David Beckham 2010 Lookbook.
Manajemen Adidas mengungkapkan:” Adidas is going from
strength to strength” . Kompetisi sudah tidak bisa kita lakukan dengan
parameter uang lagi, demikian ungkap mereka, tetapi lebih kepada value
creation.
Kolaborasi vs Senioritas
Bila dulu orang takut
memangkas semua yang berbau senioritas karena bukti bahwa pengalaman sangat
diperlukan dalam menjalankan bisnis, saat sekarang pembuktian terbalik sudah
terjadi. Semakin kita menunggu orang agar berpengalaman, semakin lambat juga
perkembangan perusahaan. Satu satunya jalan adalah berkolaborasi. Semakin banyak partisipasi dan interaksi, semakin kinerja
terakselerasi. Inilah gaya kerja dan manajemen perusahaan perusahan India dan
Cina, seperti Li & Fung, Dachangjiang Group, Tata Group. Mereka yang dulunya terbelakang, sekarang menjadi
buah bibir dan fokus bahasan manajemen gaya baru, karena pendekatan yang
memanfaatkan upaya network-centric-
nya.
Sebagai individu, kita masing-masing pun perlu terbuka
dan berorientasi untuk berkolaborasi. Hal yang sering terlupakan adalah
menelaah dan menghargai diri sendiri dan perusahaan kita sebagai kekuatan yang
penting. Kita sendiri sering tidak sadar bahwa ada enerji lebih dan power di
dalam diri kita. Kita perlu meyakini kekuatan kita untuk bereksperimen, mengambil
resiko, bahkan membuat perubahan. Kita perlu berpikir apa kekuatan diri kita
yang bisa kita kontribusikan untuk menjadi nilai tambah pada tim dan pada
pasar.
Selanjutnya, kita perlu memompa dan menggali apa yang secara lembaga atau individu bisa
kita kawinkan, campur, kooperasikan dengan pihak lain. Bayangkan bila dalam
sebuah perusahaan yang isinya 1000 orang semua orang berniat membuat 1
perubahan saja. Apalagi setiap individu itu kemudian mengkolaborasikan upayanya
dengan teman yang lain. Perusahaan seperti ini pasti bisa membuat inovasi tanpa
susah-susah berpikir keras lagi. Kita perlu meyakini bahwa kita memang terlahir
imajinatif dan resourceful.
Menyuburkan “Passion”
Setiap CEO yang ditanya
apa yang paling penting dalam organisasinya, akan menjawab satu kata: manusia.
Namun, bila pengembangan talenta dalam organisasi mandek, biasanya top
manajemen akan langsung menunjuk pada program-program pelatihan, coaching,
mentoring dan segala macam upaya pengembangan SDM yang canggih dan mahal.
Bila manusia dan talenta
benar-benar penting, mengapa jarang kita dengar CEO yang segera menyingsingkan
lengan baju untuk menangai sendiri orang-orang penting yang butuh pengembangan?
Mengapa tidak banyak CEO yang menyatakan
komitmen terhadap peningkatan passion di perusahaan? Padahal, passion jauh melampaui kepuasan, baik pelanggan maupun
karyawan. Hanya bermodalkan passion-lah, kinerja bisa
meningkat ekstrim. Hanya passion yang
menyebabkan karyawan tidak melakukan hitung2an “What’s in it for me”. Kita lihat, pendekatan pada manusia pun
membutuhkan gaya baru. Jika tidak, kita tidak hanya membuat diri kita rawan
kehilangan pasar dan pelanggan, namun juga ditinggalkan karyawan kita sendiri.(Eileen
Rachman & Sylvana Safitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar