Saat
aku masih di bangku SMA, Fariz Rustam Munaf atau “Fais” panggilan sehari
harinya adalah salah satu artis yang aku kagumi. Posternya bersama dengan
poster The Beatles adalah poster artis yang menempel di dinding kamarku. Aku
juga mengkoleksi kaset hampir semua album maupun single-single kompilasinya
dengan musisi lain. Salah satu penampilannya di TVRI saat itu yang takkan
pernah aku lupakan, adalah ketika ia menyanyikan lagu Nada Kasih, berduet
dengan Neno Warisman. Saat itu Fais memakai setelah jas putih, terlihat tampan
dan gayanya macho, membawa setangkai mawar, dan dalam keremangan kabut, muncul
dengan langkah pasti mendekati sofa disebelah piano, di mana Neno Warisman
duduk. Aku yang masih ABG langsung terpana, merasa bahwa yang duduk di sofa itu
diriku sendiri, dan setelah itu Fais mendekati piano dan main piano hingga lagu
usai.
Menurutku Fariz adalah seseorang yang dilahirkan untuk
bermusik, dia seorang pemusik atau seniman musik yang nggak bisa dibuat atau
dipersiapkan. Musik yang lahir dari dirinya adalah karya yang dihasilkan
melalui kontemplasi yang hanya dia dan Tuhan yang tau. Mengamati karya karyanya,
misalnya Asmara Perdana tentu akan memberikan pedengar lagunya suatu pencerahan
tentang makna sakral dari yang namanya cinta pertama, melalui alunan nadanya
yang melankolik. Lagu itu bisa memisahkan
sudut paling gelap dan rahasia dari seorang Fariz. Apapun itu, dia merupakan sosok musisi yang
tak bisa ditampik perannya. Fariz enggan dikenal sebagai artis. Ia adalah
seorang seniman, pelakon seni serba bisa. Fariz adalah seorang penyanyi,
pencipta lagu, penata musik, kibordis, drummer, gitaris, bassis, produser,
bahkan juga pelukis. Fariz RM adalah salahsatu perevolusi musik Indonesia,
melangkah ke seberang menuju pembaharuan.
Di saat
tren musik di negeri ini masih terbuai dalam balada yang mendayu-dayu, Fariz
malah menawarkan konsep musik yang danceable
ala Earth Wind & Fire dengan penonjolan pada aransemen brass section sebagai aksentuasi dan teknik bernyanyi falsetto. Setahun
kemudian, Fariz R.M. membentuk grup Transs, yang personelnya antara lain Erwin
Gutawa, pemusik yang sekarang banyak dikaitkan dengan aransemen berbau
orkestral. Dengan Transs, Fariz menawarkan konsep musik fusion, yang akhirnya
membuat sejumlah grup musik terinspirasi untuk menggarap musik fusion, yang
memadukan jazz dan rock. Transs adalah grup yang maunya beridealisme tinggi.
Ini terlihat dari kalimat yang tertera pada sampul album Transs, Hotel San
Vicente (1981): "pembaharuan musik Indonesia dalam warna, personalitas,
dan gaya". Boleh jadi kalimat itu berkonotasi gagah-gagahan belaka. Namun
patut diakui, sejak pemunculan Transs, mulailah muncul grup-grup fusion seperti
Krakatau, Karimata, Emerald, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar