Sabtu pagi itu aku ke pasar “Kopro” di Tanjung
Duren, didepan pasar penuh sesak dengan berbagai pedagang kakilima dengan
segala macam jualannya. Salah satu dari mereka, bukan berdagang tapi memberi
pertunjukan ke Pengunjung pasar berupa kesenian “Topeng Monyet”. Aku melihatnya sekilas dan terus
berpikir, mengapa seorang pemuda yang gagah sehat pada usia yang produktif,
harus di carikan makan oleh sang monyet? Apakah nggak ada pekerjaan lain yang
bisa dilakukan, tanpa memberi beban kepada sang monyet untuk melucu. Miris
melihat generasi bangsa besar, yang katanya kaya raya. harus bertahan hidup
dengan bantuan kerja keras seekor monyet dijalanan.
Apakah monyet habitatnya di pasar atau
jalanan tengah kota? Monyet tak bisa berontak, rantai kuat melingkar di
lehernya, tak bisa marah "aku
juga ingin hidup di hutan, menikmati kehidupanku sebenarnya" jerit
sang monyet. Tak ada yang pernah mengerti, apa yang di rasakan sang monyet,
mencoba melucu dijalanan, tak jarang pukulan mendarat dipantatnya. Sang Tuan
memaksanya harus melucu, dengan irama tak beraturan, mengharap recehan
terlembar dari sang kikir, monyet pasrah tak kuat melawan.
Dimanakah kau sang tuan, ketika
teman-temanmu di masa lampau bersemangat belajar, menggapai cita2nya dengan
bekerja keras?. Pasti lain cerita kehidupan sang monyet, bila tuannya mau
bekerja keras, belajar menempuh pendidikan dimasa yang lampau. Tak ada yang
salah dengan mencari rezeki yang halal, tapi masih pantaskah mengharapkan
recehan dari tarian monyet dengan topengnya? Bukankah sang Tuan masih
bisa bekerja di tempat yang lain? masih 1000 pekerjaan tersedia di Jakarta,
tanpa harus memanfaatkan binatang. Malu
rasanya, hidup dari hasil keringat seekor monyet, masihkah ada sisi
kemanusiaan? Malu rasanya, ketika pejabat ramai-ramai berjibaku triliunan
rupiah dengan KPK, rakyatnya harus hidup dengan bantuan seekor monyet
dijalanan.(Gita.R.P)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar