Mengingat
sejarah dan perilaku kompeni yang telah menjajah negeri ini, kekejaman yang
dibuat di pertambangan batubara Ombilin Sumatera Barat, kerja paksa pembuatan
jalan dari Anyer ke Panarukan, adu domba rakyat dan Pamong Praja disemua
daerah, ah banyak lagi yang bikin aku jadi begitu sentimental. Duduk dan
merenung didepan Museum Fatahilah, di Kota Tua Jakarta rasanya seperti masuk
dalam mesin waktu menuju ke tahun 1600. Saat Hindia Belanda mendirikan VOC
di pelabuhan Sunda Kelapa dengan jembatan Kota Inten-nya.
Berjejer
bangunan kuno peninggalan hindia Belanda masih utuh, meski beberapa telah
diselip bangunan modern milik swasta dan juga dicoret sana sini oleh kaum
vandalis. Karena banyak sekali tulisan yang menyebutkan nama sekolah dan nama
”geng”. Kalau di Singapura perbuatan
vandalism semacam ini, tak diberi ampun dan bila tertangkap aparat dah pasti
kena hukum cambuk, tapi kalau dinegara kita tak tahulah sebab orang orang yang
telah terbukti berbuat jahatpun masih dapat bebas dari jerat hukum.
Dari
berbagai bangunan tua yang ada, sudah nampak beberapa yang direnovasi dijadikan
museum serta beberapa lagi dijadikan bangunan pemerintah. Walau begitu nuansa
Sunda Kelapa tempo Jan Pieterszoon Coen masih sangat kental. Menurut riwayat, Konon kota
tua Jakarta dibangun di lahan seluas 15 hektar. Tepatnya di lahan bekas Pelabuhan
Sunda Kelapa pada tahun 1527. Kota ini diperluas oleh Fatahillah dan diberi nama
Jayakarta. Jan Pieterszoon Coen merebut Jakarta
ketika itu masih bernama Jayakarta dari Portugis lalu menghancurkan
bangunannya. Kemudian membangun kembali Jayakarta dan mengganti namanya jadi
Batavia. Tempatnya agak bergeser dari lokasi semula disekitar
Pasar Ikan menjadi sebelah timur sungai Ciliwung atau sekitar Jalan Kalibesar
sekarang. Pusat kotanya yang terkenal dengan nama Staadhuisplein terletak
di sekitar Taman Fatahillah sekarang.
Bila
ingin menangkap nuansa kental tempo doeloenya, Kota Tua sebaiknya didatangi
pukul 01.00-04.00 WIB dinihari, saat yang ada tinggal bangunan yang sepi dan
diri kita sendiri. Tengah malam seperti itu, nyaris kita tidak bisa melihat
perbedaan bangunan itu masih ada Belandanya atau Belanda sudah pergi. Hingga hadir
begitu saja dalam benak kita seolah-olah pribumi pada zaman itu dan sedang
berdiri ditengah kungkungan penjajahan Belanda. Disana kita bisa merasakan
suasana yang tenang dan angkuh layaknya berada ditempat shooting film Jack The Ripper.
Semakin larut malam menjelang pagi semakin kena nilai klasik kuno yang dicari para
fotografer, yang tak pernah henti menggeksplore angle kota tua, atau para
seniman yang mencari-nilai-nilai diri dengan menepis harga duniawi.
Banyak
pemulung dan pengemis ketika aku menyusuri jalan jalan kota tua yang sebagian
sudah diganti dari aspal menjadi conblock, lalu melihat meriam-meriam serta
butir-butir peluru yang masih ada disekitar Museum, Rasanya aku ingin menjadi pejuang,
masuk kejaman penjajahan, menjadi orang yang naik ke gedung Staadhuis, Balai
Kota Belanda saat itu, kemudian merobek warna biru bendera belanda, lalu
menengok dari puncak Staadhuis sambil berteriak ”merdeka, merdeka”. Tapi aku baru
tersadar kalau disana tidak lagi berkibar bendera merah putih biru, dan aku
baru sadar kalau negara kita sudah merdeka sejak tahun 1945. Staadhuis sekarang
namanya Museum Fatahilah, dulunya selain sebagai Balai Kota juga penjara. Bahkan
Cut Nya Dien dan Pangeran Diponegoro pernah dipenjara didalamnya.
Kota
tua tidak sekedar mengawetkan bangunan masa silam tapi juga mengabadikan
sepenggal kesehariannya. Yaitu terlihat dengan adanya sewa pakaian mandoor
jaman belanda, atau pakian noni dengan topi bunga tulipnya. Ada juga ojek
sepeda, penjaja makanan khas betawi seperti selendang mayang, kerak telor, kue
rangi, lontong sayur. Mereka merupakan
secarik peri kehidupan Jakarta tempo doeloe.
Melihat Jakarta dari Kota Tua, Jakarta
seperti tua renta. Kota yang lelah, seperti tuna wisma yang mengisi kamar-kamar
kosong nan gelap di gubuk gubuk kardus bekas, atau pemulung yang terseok-seok
disela-sela gedung mati, yang tidur disisi meriam-meriam tua. Jika dibandingkan
melihat Jakarta dari Plaza Senayan, Central Park atau Hotel Kempinski, Jakarta amat
menyilaukan. Kehidupan berjalan dalam kecepatan yang tinggi, glamour,
menerbitkan air liur. Jakarta seolah gadis puber yang baru pertama
kali haid, ranum menggoda. Disinilah, kontradiksi Jakarta menganga, seperti
menganganya waktu antara 1527 dan 2013. Sebagaimana kota tua dibiarkan tak
terawat, seolah olah ia disisihkan dari Jakarta.
Kawasan Kota Tua telah menjadi
bagian yang terlupakan dalam maintenance Jakarta. Revitalisasi dan pemeliharaan
kembali kawasan itu telah dicanangkan, namun hasil nya belum maksimal.
Seharusnya penataan kembali kawasan Kota Tua menjadi prioritas karena tempat
ini dapat menjadi sumber ilmu dan bukti heroisme bagi kaum muda dan generasi
mendatang. Meski VOC nya telah lama bangkut dan Belanda terusir dari Indonesia,
peninggalannya harus dijadikan nilai tambah atau sumber PAD sebagai pegganti kekayaan
alam negara ini yang dulu dibawa penjajah kenegaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar