Kalau bertransaksi
dengan pedagang “urang awak” (sebutan buat suku Minang di rantau),
aku lebih suka pakai Bahasa Indonesia aja. Aku kapok kalau pakai bahasa minang,
aku bisa bahasa minang karena 8 tahuh tugas di Sumbar. Ini berdasarkan
pengalamanku berbelanja ke Tanah Abang, yang notabene pedagangnya kebanyakan
urang awak. Waktu itu Aku mengantar teman yang datang dari Padang
hendak berbelanja. Ketika tahu pegawai toko itu urang awak, temenku lalu
menawar pakai bahasa Minang. Apa yang terjadi? Pegawai toko itu tetap berbicara dalam bahasa indonesia,
bahasa indonesia logat Minang yang khas, gitu. Aku sudah katakan, pakai bahaso awak se lah da,
tetapi dia tetap bergeming, tetap keukeuh
pakai bahasa Indonesia.
Nggak sekali dua kali pengalamanku
bertemu dengan pedagang urang awak yang perilakunya seperti itu. Maksud
hati pakai bahasa Minang supaya lebih akrab, eh malah pedagangnya terlihat
kurang senang. Kalaupun dia membalas pakai bahasa Minang terkesan agak terpaksa
dan agak kurang ramah melayani. Lamaku berpikir kenapa begitu, akhirnya ketemu
jawabannya dari teman. Ternyata pedagang urang awak itu enggan memakai bahasa
Minang karena khawatir pembelinya yang sesama urang awak itu minta harga lebih
murah. Ya ampuuunnn…., kok begitu sih, padahal niat berbicara dengan bahasa
Minang ya itu tadi, supaya terkesan akrab saja karena sama-sama sakampuang, tetapi keakraban itu
disalahartikan oleh pedagang karena ingin minta murah. Barangkali para pedagang
itu pernah punya pengalaman dimana pembeli yang kebetulan urang awak
merayu-rayu minta harga lebih murah dengan alasan samo-samo sakampuang, masak samo-samo urang awak harga
dimahalkan. Gitu kali….
Di jakarta ada
jutaan perantau Minang beserta keturunannya. Cukup banyak juga jumlah itu,
maklum Jakarta menjadi tujuan utama para perantau. Sebagian besar mereka
berprofesi sebagai pedagang, mulai dari pedagang kaki lima hingga yang mempunyai
toko permanen seperti di Cipulir, ITC Mangga Dua, Pasar Manggarai, dan masih
banyak lagi. Kalau nggak jadi pedagang ya jadi pengusaha rumah makan
padang, mulai dari rumah makan kaki lima hingga restoran besar yang sudah punya
nama. Tiap satu kilometer pasti ada saja rumah makan padang. Nggak susah bagi
urang awak yang selera fanatiknya tidak bisa makan dengan masakan lain mencari
makan di jakarta. Oh iya, selain pedagang dan usaha rumah makan, ada lagi
profesi yang lain, yaitu membuka usaha photo
copy. Bisnis photo
copy di jakarta berkembang pesat karena Jakarta adalah kota kampus,
banyak perguruan tinggi terdapat di sini.
Oke, I know that, paham sekarang. Aku memakai bahasa Minang lihat-lihat situasi. Kalau makan di
rumah makan padang, yang melayaniku belum tentu urang awak. Bisa jadi pemilik
rumah makan padang itu memang urang awak, tetapi para pegawainya belum tentu
urang awak. Aku pakai bahasa Indonesia aja, pasti pegawainya tidak akan
mengerti kalau aku bertanya ini dan itu dalam bahasa Minang. Nanti waktu
membayar kita dilayani oleh pemiliknya yang urang awak itu, barulah
kadang-kadang aku pakai bahasa Minang, tetapi lebih banyak pakai Bahasa Indonesia
aja. Jika bertransaksi dengan pedagang kaki lima atau pedagang di Pasar, aku
lebih suka pakai Bahasa Indonesia aja. Ogah dikira minta harga lebih murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar