Pelajaran yang terkandung dalam
kalimat itu sebenamya adalah pemahaman tentang fungsi makan dalam kehidupan. Bahwa makan itu
sebenamya adalah kebutuhan untuk hidup, bukannya hobi atau gaya hidup. Dengan kata
lain, kita sering mendengar jargon ini Makanlah untuk hidup. Bukannya hidup
untuk makan.
Ini perlu dipikirkan, terutama di era
modern ini karena fungsi makan telah bergeser dari fungsi sesungguhnya.
Tadinya, makan dan minum itu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mencukupi
gizi dalam tubuh sehingga bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih
produktif. Namun, kebanyakan orang justru menempatkan aktivitas makan itu
sebagai kegiatan konsumtif. Bukannya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
melainkan justru ‘membuang’ manfaat.
Coba perhatikan berapa banyaknya waktu
dan energi terbuang untuk mengurusi makanan. Ketika seseorang menempatkan
makan, sebagai aktivitas konsumtif, maka dia telah terjebak dalam pusaran
aktivitas yang menyita banyak waktu dan energinya, sekadar untuk makan. Dia
memulainya dengan berpikir untuk makan enak hari ini. Sehari tiga kali. Setelah
itu dia akan mencari tempat untuk makan yang dia anggap enak itu. Atau jika tak
mencari di rumah makan, dia harus menyiapkan beli bahan-bahan untuk memasak
sendiri. Setelah itu, dia habiskan waktu untuk makan, karena ia nggak ingin
melewatkan suasana makan yang memang telah dia idamkan kenikmatannya, biasanya
mereka tidak menyadari bahwa makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh nya telah
melewati takaran wajar.
Kalau hal demikian ini kemudian
menjadi kebiasaan dan gaya hidup, maka ia telah terjebak pada pola makan yang kurang
baik. Jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya terlalu berlebihan,
komposisinya nggak bagus, ritme pencemaan terlalu berat membebani fungsi tubuh.
Yang terjadi selanjutnya adalah ketidakseimbangan yang berujung pada kondisi
sakit setelah sekian tahun kemudian. Sekali lagi orang mengeluarkan energi
tambahan untuk mengeluarkan biaya pengobatan dan waktu yang tak sedikit untuk
mengurusi efek makan yang kurang baik polanya. Apalagi, jika sakit itu menjadi
kronis. Kita mesti bolak balik masuk rumah sakit atau ke dokter keluarga.
Betapa banyak energi dan waku terbuang hanya untuk megurusi makan dan akibat
daripada pola makan yang tak baik itu.
Pola makan produktif itu hanya bisa
terjadi jika sejak dari niat atau motivasiya sudah benar. Yaitu, bahwa makan
bukan diposisikan sebagai tujuan melainkan sekadar fasilitas atau cara mencapai
tujuan. Namun demikian, bukan berarti kita nggak menikmati makanan dan suasana
makan itu sendiri. Yang perlu ditekankan disini adalah persepsi yang
‘proporsional dan jernih’ dalam menyikapi ‘kenikmatan’ yang seringkali menjebak
masuk ke dalam penderitaan itu.
Seseorang harus memahami dan menyadari
kondisi tubuhnya sendiri. Bahwa tubuh sudah memiliki alarm yang sangat canggih.
Jika kondisi tubuh mengalami penurunan tertentu, maka ia akan ‘membunyikan
alarmnya’. Termasuk ketika kekurangan gizi dalam tubuh, maka badan akan membunyikan
‘alarm’ lapar. Sadarilah bahwa makan yang baik adalah ketika badan telah
membutuhkan. Jadi ukurannya adalah ‘kebutuhan’ bukan keinginan. Sebab kalau
sekedar keinginan kita bakal terjebak pada hawa nafsu yang tidak pernah ada
batasnya. Hawa nafsu mendorong menuju pada kehancuran dan penderitaan.
Sedangkan pemenuhan ‘kebutuhan’ bakal membawa pada keseimbangan yang bersifat
alamiah. Meskipun masih ingin makan, kalau perut sudah terasa kenyang,
hentikanlah. Sebab jika ‘alarm kenyang’ ini tak digubris akibatnya bisa
membahayakan kesehatan kita sendiri.
Efeknya mulai dari tak efisien dan tak
efektifnya pencemaan, lantas diikuti dengan metabolisme yang tidak sempuma,
sampai akhimya terjadi penumpukan zat-zat racun di seluruh jaringan dalam
tubuh. Kekenyangan juga berakibat pada nggak efisiennya proses berpikir. Dalam
konteks inilah Tuhan menghendaki agar umatnya bisa merasakan gerak alamiah yang
terjadi di dalam tubuhnya maupun di lingkungan sekitarnya. Karena di dalam
mekanisme alamiah itu terdapat kunci keseimbangan, kesehatan, dan keberhasilan
hidup. (Yuari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar