Lembaga tentu saja berharap para pegawai
baru menunjukkan sikap excited dengan tempat kerja barunya. Dalam sebuah
sesi orientasi pegawai baru, seorang pimpinan unit kerja menyampaikan pada
sejumlah pegaweai, betapa pentingnya mengkontribusi pikiran dan hati di tempat
kerja. Seorang pegawai kemudian mengajukan pertanyaan, bagaimana bila hati kita
tidak bisa kita curahkan sepenuhnya, karena kita belum benar-benar happy
dengan tempat kerja kita?. Ini tentu saja pertanyaan jujur dan seringkali sulit
kita jawab.
Terus terang, inilah kenyataan yang
kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja ataupun orang yang bekerja. Tak jarang
lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau
rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana
pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis atau
bahkan kultur perusahaan. Namun, bisakah kita langsung mengambil langkah
menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah
itu, Kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima dan
keluarga yang butuh dihidupi. Lalu, bagaimana harus bersikap? Apakah kita harus
seumur hidup bertahan, berangkat kerja setiap hari dengan perasaan berat?
Suasana tidak nyaman yang kita hadapi
bisa juga karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: Kondisi jalan macet,
jarak rumah kantor yang harus ditempuh dalam 2 jam, kasus-kasus korupsi yang
tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya
menyebabkan kita merasa tidak betah di lingkungan, bahkan negara sendiri.
Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Betapa banyak orang yang bernasib seperti
kita, dengan alasan-alasan yang bervariasi. Tentu tantangannya adalah tetap
berpegang pada prinsip, profesionalisme dan menjaga sikap agar tidak lebih
dalam lagi tenggelam dalam rasa tidak happy tadi.
Menurut Timothy Butler,
langkah pertama untuk melepaskan diri dari “uncomfortable zone” adalah
dengan menelaah ke dalam diri dulu, bukan serta-merta menyalahkan lingkungan.
Sering terjadi, tidak mampunya kita melihat sisi positif dari lingkungan kerja
kita disebabkan karena daya adaptasi kita yang kurang optimal. Misalnya saja,
kita kerap frustasi karena kurangnya support dari bagian lain ataupun
pengadaan alat yang lambat sehingga pekerjaan kita terhambat. Padahal,
terkadang kita sendiri yang kurang asertif dan kurang tuntas dalam mengupayakan
pendekatan dengan bagian lain untuk memuluskan proses kerja tersebut. Bukankah
kalau kondisinya begini, kita pun adalah bagian dari masalahnya sendiri?
Pernyataan tidak happy-nya kita
sesungguhnya adalah alarm bahwa kita sedang ada di garis depan dan harus
melakukan suatu perbaikan.
Kalau dipikir-pikir, tidak
pernah ada situasi yang sempurna. Semua sistem, seterkini apa pun, pasti membutuhkan perbaikan. Perasaan
tidak puas dari karyawan atau anggota kelompok manapun perlu kita lihat sebagai cikal bakal suatu perbaikan. Teman saya yang
bekerja paruh waktu di sebuah rumah sakit di negeri Belanda, bertugas mengganti
seprei pasien setiap hari. Untuk seorang yang cerdas dan kreatif sepertinya, pekerjaan ini terasa sangat berat dan membosankan.
Ia pun kemudian mencari jalan yang mudah dan
efisien untuk mengganti seprei pasien yang tidak bisa duduk atau berdiri dari
tempat tidur. Caranya yang lebih mudah, akhirnya ditiru oleh teman-temannya. Bahkan, 20 tahun kemudian, ketika ia berkunjung ke rumah
sakit tersebut, seorang temannya mengatakan bahwa penggantian seprei yang dia lakukan dulu sudah dijadikan sistem di
rumah sakit tersebut. Ini adalah hasil karya seorang yang tidak happy
dengan pekerjaannya.
Berada di satu posisi yang baik
dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa ‘uncomfortable’.
Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan
merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh kesah, tanpa mengolah diri
sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar
semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling
tidak masih punya pekerjaan di tengah keadan ekonomi yang tidak bersahabat.
Kita
sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita
miliki, sesungguhnya 100% otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita.
Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan
kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-reenergize dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita,
kemudian menterjemahkannya ke dalam motif, kekuatan dan ‘passion’ yang
segar. Jika kita mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang
bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa
bersikap proaktif dan melakukan brainstorming
kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita
masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak
teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.
Kotak-katik cara kerja, pembenahan hubungan kerja dan
persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul betul
bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita. Dengan spirit “job crafting’
, kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekedar berbuat lebih baik
dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai
hasil kreasi kita. Dengan perasaan:” sayalah penentu cara kerja saya” , “sense
of control” menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita.(ER&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar