Sebagai bank sentral, salah satu fungsi Bank
Indonesia (BI) adalah menjaga kestabilan nilai rupiah dan sistem
pembayaran. Guna menjaga sistem
pembayaran tersebut BI melakukan pengelolaan uang termasuk pengedarannya. Untuk
menjaga agar kondisi uang yang beredar dimasyarakat selalu dalam kondisi baik
(segar), maka BI mengatur uang yang beredar di masyarakat.
Kondisi uang yang beredar sangat bervariasi,
ada yang baik atau layak edar (ULE), ada juga yang tidak baik atau tidak layak
edar (UTLE) diantaranya : lusuh, sobek, cacat, rusak atau uang yang telah
ditarik dari peredarannya. Adapun uang yang tidak layak edar tersebut
dimusnahkan dengan cara meracik, melebur, atau cara lainnya, sehingga tidak
lagi menyerupai uang Rupiah.
Untuk menjaga agar uang Rupiah yang beredar
di masyarakat senantiasa berada dalam kondisi yang bersih dan layak edar (clean money policy), BI mengganti uang
tidak layak edar tersebut, dengan jumlah yang sama sehingga dapat memenuhi
kebutuhan transaksi masyarakat.
Dalam melakukan pegedaran uang tersebut salah
satu yang dilakukan adalah remise,
sebuah kata yang berasal dari Bahasa Belanda artinya pengiriman uang. Pengiriman
dilakukan ke berbagai kantor perwakilan BI melalui darat, laut dan udara.
Banyak masyarakat yang nggak tahu kalau ada kegiatan remise yang
dilakukan oleh BI baik di Kantor Pusat maun di Kantor Perwakilan. Kegiatan ini
dilakukan secara rutin agar kegiatan ekonomi dan perbankan yang ada berjalan
dengan baik, dan ketersediaan uang segar selalu menjadi prioritas dalam pengedaran
uang. Sehingga dalam melakukan transaksi, masyarakat merasa nyaman.
Saat ini remise dilakukan menggunakan
transportasi yang relatife modern, mulai dari mobil, kapal laut maupun pesawat
udara. Dijaman De Javasche Bank, semua kegiatan itu dilakukan menggunakan
transportasi tradisional. Saat itu yang ada adalah gerobak yang ditarik
menggunakan kuda, uang yang diedarkan adalah mata uang yang berlaku saat itu
yaitu gulden (Nederlandsch Indie). Walau disebagian daerah tertentu banyak juga
yang memberlakukan uang yang diciptakan daerah setempat.
Kita dapat membayangkan berapa lama waktu
yang dipergunakan untuk menempuh perjalanan dari satu kota kekota yang lain.
Apalagi saat itu kondisi jalan nasih berupa tanah, sedangkan sekelilingnya
berupa kebun dan hutan. Namun yang pasti saat itu belum ada istilah clean money
policy, karena jumlah penduduk masih sedikit sehingga uang yang beredar nggak terlalu
lusuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar