Kamis, 16 April 2015

Inflasi Adalah Pencuri

Rakyat kini kian berat menanggung beban hidup, beberapa waktu lalu tanpa gembar-gembor pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM berupa bensin dan Solar sebesar Rp 500,-. Padahal diawal bulan Maret 2015 harga BBM tersebut telah menjadi harga yang lumayan ideal bagi masyarakat, khususnya di level grassroot yaitu Rp 6.900,-/liter untuk bensin, dan Rp 6.400,-/liter untuk solar.


Harga BBM murah menjadi dambaan masyarakat karena dengan nilai sebesar itu biaya transportasi yang dikeluarkan relatif kecil, baik untuk biaya transportasi pribadi maupun transportasi angkutan barang, yang berdampak daya beli masyarakat menjadi kuat.

Namun bila harga BBM dinaikan sedikit saja, secara otomatis tarif angkutan umum dan berbagai kebutuhan pokok melonjak. Inflasi menjadi liar walaupun pada tanggal 14 April 2015, Bank Indonesia telah mengumumkan bahwa BI Rate tetap 7,5 %. Tetapi harga barang pokok di pasar nggak terkontrol. Cabe naik, beras naik, minyak goreng naik sampai ikan basah dan ikan asin pun naik, ditambah harga harga elpiji 12 kg ikutan naik. Sedangkan pengusaha kecil maupun sopir angkot serta sopir kopaja, tanpa persetujuan Organda ber-inisiatif sendiri menaikan tarifnya dari Rp 1000,- s.d Rp 3.000,-.

BI Rate nggak bisa mengendalikan kenaikan harga yang dirubah semaunya oleh para pelaku ekonomi di pasar, walaupun pemerintah telah menententukan harga pokok dari barang tersebut. Sebab BI Rate diciptakan bukan untuk menekan inflasi, tapi untuk mengontrol inflasi. Karena BI Rate merupakan salah satu alat moneter yang dapat menjaga kestabilan nilai rupiah. Walau inflasi lagi tinggi, BI nggak sembarangan nuruninnya, couse penyebab inflasi banyak banget bukan perubahan kurs doang, tapi niat pemerintah menaikan harga BBM dan penerimaan pajak sangat mempengaruhi.


Saat ini BI menetapkan BI Rate sebesar 7,5 % guna mengarahkan defisit transaksi berjalan ketingkat yang lebih sehat sebesar 2,5 s.d 3 %, agar sasaran besaran inflasi menjadi akurat sekitar 4±1%. Selain itu penetapan BI Rate sebesar itu adalah untuk mewaspadai resiko eksternal dan domestik terkait harga komoditas global meskipun harga minyak dunia naik. Termasuk resiko inflasi yang berakibat dari kurangnya pasokan dan kelancaran distribusi bahan pangan.

Asal tahu aja bahwa BI Rate nggak selamanya bagus buat bisnis, buktinya walaupun BI rate rendah namun bunga kredit bank tetap tinggi. Mungkin ini disebabkan suku bunga lending facility dipatok 8,00% oleh BI. Apalagi tingkat efisiensi perbankan masih rendah, karena beban operasional terhadap pendapatan bank yang nggak seimbang.

Oleh karena untuk menciptakan BI Rate yang ideal, inflasi yang reasonable dan stabil bisa tercapai sesuai sasaran (mengutip ungkapan Victor Arya Bekti H di BLINK), serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang moderat juga meningkat, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Bank Indonesia antara lain :
1.BI harus terus memperkuat kebijakan moneter.
2.BI harus lebih sering berkoordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dan transaksi berjalan, dengan lebih menggiatkan Tim TPID yang bearada di KPw.
3. BI harus mendorong pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk membuat roadmap pengendalian inflasi, agar Tim TPID pemerintah setempat mempunyai pedoman dan program kerja yang jelas.
4. BI konsisten menjaga kestabilan nilai rupiah.




Inflasi adalah pencuri (mengutip ungkapan Wahyu Setyoko di BLINK). Makanya BI terutama yang didaerah, harus mendorong dan menjalin hubungan yang inten serta bersinergi dengan stakeholders, guna mengantisipasi pergerakan inflasi yang wajib dikendalikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar