Gubernur atau Bupati adalah jabatan kepala
daerah yang memiliki gaji tak seberapa bila dibandingkan dengan seseorang yang
menjadi direktur diperusahan swasta, namun mengapa banyak orang tertarik
memperebutkan kedudukan sebagai kepala daerah. Padahal untuk menduduki jabatan
tersebut banyak sekali mengeluarkan biaya, mulai dari biaya pencitraan,
kampanye, uang mahar parpol dlsb.
Coba diperhatikan setiap aka ada pilkada
disuatu daerah, pasti akan ada perubahan kebijakan yang terkait dengan Sumber Daya
Alam (SDA) daerah setempat. Ijin-ijin yang terkait pengelolaan SDA sangat marak
dikeluarkan. Ini merupakan salah satu cara mengapa seseorang ingin menjadi
kepala daerah, yaitu membuat kebijakan yang dapat menguntungkan dirinya atau
bisa disebut dengan korupsi kebijakan.
Hal ini merupakan politik transaksional yang
dilahirkan melalui kebijakan penguasa, oleh karenanya perubahan rejim disetiap
periode kekuasaan harus diwaspadai. Sebab publik banyak terkesima dengan uporia
kemenangan jagoannya sehingga sampai tidak memikirkan bahwa ada sesuatu yang
disalahgunakan oleh penguasa yang menjadi idolanya. Ranah kuasa dijadikannya
ladang, lumbung atau sumber keuangan pendapatannya untuk mengembalikan semua
biaya yang telah dikeluarkan menjelang pilkada, termasuk pengembalian uang
mahar partai.
Secara sadar kita mengetahui bahwa korupsi
pada tahap kebijakan lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan,
hal ini akan merusak berbagai macam bidang dan bahkan satu generasi dapat
hancur karenanya, sebab dilakukan dalam waktu yang lama. Walaupun kebijakan ini
dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, tanpa melawan hukum subyektif. Namun inilah jenis korupsi yang sangat
berbahaya, sebab dari luar tidak tampak korupsi karena dibalut kebijakan yang
berbentuk peraturan, keputusan, penetapan dll. Tetapi akibatnya sangat luas,
dapat merusak perekonimian diberbagai sektor dan keuangan negara.
Yang pasti kebijakan yang dibuat itu memiliki
potensi merugikan keuangan negara, dan disadari bahwa masih ada kebijakan lain
yang lebih baik tapi tidak dilakukan, malah kebijakan publik yang dikeluarkan
hanya untuk menguntungkan dirinya dan kroni-kroninya secara ekonomi maupun
politik. Contohnya kasus yang terjadi di Pemprov Sumatera Utara, yang
Gubernurnya dijabat oleh Pak Gatot Pujo Nugroho. Mulai dari Istrinya dan semua
rekan-rekannya dianggap bersalah dan telah divonis pengadilan untuk dikirim ke
penjara. Serta banyak lagi pejabat kepala daerah lain, yang saat ini terkena masalah sejenis.
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya korupsi
kebijakan adalah dengan melakukan deparpolisasi atau masuk kedalam jalur
independen. Yaitu melakukan upaya secara sengaja, menihilkan peran partai
politik dalam demokrasi. Sehingga seorang kepala daerah nggak perlu lagi
membayar mahar ke partai politik, atau mengeluarkan biaya yang terkait dirinya
mencalonkan menjadi kepala daerah. Kita semua paham bahwa partai politik yang
seharusnya menjadi penyangga utama demokrasi, telah berubah menjadi lahan usaha
bagi politisi untuk meraup uang negara. Bahkan dibeberapa daerah partai politik
justru diselimuti wajah dinasti politik, pemilukada hanya menjadi perpindahan
jabatan dari suami kepada istri, dari ayah kepada anak dan seterusnya.
Korupsi kebijakan ini patut diwaspadai sebab
bukan tidak mungkin terjadi juga pada bidang-bidang lain selain kepala daerah,
seperti pada kementrian dan jajaran kantor aparat penegak hukum bahkan lembaga
sejenis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bagi kita yang ada di Bank Indonesia, hal ini
nggak perlu ditiru. Sebab semua peraturan tentang pengadaan barang dan jasa
serta pengelolaan uang telah jelas aturan mainnya. Oleh karena itu jika ada
kebijakan yang membenarkan sesuatu yang salah maka harus segera diteliti agar
tidak terjadi fraud.
Power tend to corrupt ya pak. Hati2 jika diamanahi power.
BalasHapusini hery lady.
Am nurse at Hd