Rabu, 16 Maret 2016

Korupsi Kebijakan

Gubernur atau Bupati adalah jabatan kepala daerah yang memiliki gaji tak seberapa bila dibandingkan dengan seseorang yang menjadi direktur diperusahan swasta, namun mengapa banyak orang tertarik memperebutkan kedudukan sebagai kepala daerah. Padahal untuk menduduki jabatan tersebut banyak sekali mengeluarkan biaya, mulai dari biaya pencitraan, kampanye, uang mahar parpol dlsb.



Coba diperhatikan setiap aka ada pilkada disuatu daerah, pasti akan ada perubahan kebijakan yang terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) daerah setempat. Ijin-ijin yang terkait pengelolaan SDA sangat marak dikeluarkan. Ini merupakan salah satu cara mengapa seseorang ingin menjadi kepala daerah, yaitu membuat kebijakan yang dapat menguntungkan dirinya atau bisa disebut dengan korupsi kebijakan.

Hal ini merupakan politik transaksional yang dilahirkan melalui kebijakan penguasa, oleh karenanya perubahan rejim disetiap periode kekuasaan harus diwaspadai. Sebab publik banyak terkesima dengan uporia kemenangan jagoannya sehingga sampai tidak memikirkan bahwa ada sesuatu yang disalahgunakan oleh penguasa yang menjadi idolanya. Ranah kuasa dijadikannya ladang, lumbung atau sumber keuangan pendapatannya untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan menjelang pilkada, termasuk pengembalian uang mahar partai.

Secara sadar kita mengetahui bahwa korupsi pada tahap kebijakan lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan, hal ini akan merusak berbagai macam bidang dan bahkan satu generasi dapat hancur karenanya, sebab dilakukan dalam waktu yang lama. Walaupun kebijakan ini dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, tanpa melawan hukum subyektif.  Namun inilah jenis korupsi yang sangat berbahaya, sebab dari luar tidak tampak korupsi karena dibalut kebijakan yang berbentuk peraturan, keputusan, penetapan dll. Tetapi akibatnya sangat luas, dapat merusak perekonimian diberbagai sektor dan keuangan negara.

Yang pasti kebijakan yang dibuat itu memiliki potensi merugikan keuangan negara, dan disadari bahwa masih ada kebijakan lain yang lebih baik tapi tidak dilakukan, malah kebijakan publik yang dikeluarkan hanya untuk menguntungkan dirinya dan kroni-kroninya secara ekonomi maupun politik. Contohnya kasus yang terjadi di Pemprov Sumatera Utara, yang Gubernurnya dijabat oleh Pak Gatot Pujo Nugroho. Mulai dari Istrinya dan semua rekan-rekannya dianggap bersalah dan telah divonis pengadilan untuk dikirim ke penjara. Serta banyak lagi pejabat kepala daerah lain,  yang saat ini terkena masalah sejenis.

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya korupsi kebijakan adalah dengan melakukan deparpolisasi atau masuk kedalam jalur independen. Yaitu melakukan upaya secara sengaja, menihilkan peran partai politik dalam demokrasi. Sehingga seorang kepala daerah nggak perlu lagi membayar mahar ke partai politik, atau mengeluarkan biaya yang terkait dirinya mencalonkan menjadi kepala daerah. Kita semua paham bahwa partai politik yang seharusnya menjadi penyangga utama demokrasi, telah berubah menjadi lahan usaha bagi politisi untuk meraup uang negara. Bahkan dibeberapa daerah partai politik justru diselimuti wajah dinasti politik, pemilukada hanya menjadi perpindahan jabatan dari suami kepada istri, dari ayah kepada anak dan seterusnya.

Korupsi kebijakan ini patut diwaspadai sebab bukan tidak mungkin terjadi juga pada bidang-bidang lain selain kepala daerah, seperti pada kementrian dan jajaran kantor aparat penegak hukum bahkan lembaga sejenis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Bagi kita yang ada di Bank Indonesia, hal ini nggak perlu ditiru. Sebab semua peraturan tentang pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan uang telah jelas aturan mainnya. Oleh karena itu jika ada kebijakan yang membenarkan sesuatu yang salah maka harus segera diteliti agar tidak terjadi fraud.

1 komentar:

  1. Power tend to corrupt ya pak. Hati2 jika diamanahi power.

    ini hery lady.
    Am nurse at Hd

    BalasHapus