Kamis, 31 Maret 2016

Kisah Di Ruang Hemodialisa (Ibu)

Di Ruangan Hemodialisa, kulihat sebuah kepasrahan. Orang-orang yang tak berdaya, berbaring diselimuti kain yang bercap logo rumah sakit. Tubuh mereka lemah, menanti kepastian dari Sang Maha Hidup. Dalam Ruangan bercat putih terdengar bunyi mesin yang berirama, seolah menghilangkan beban mereka menampung darah-darah kotor para pasien. Namun, bagi orang-orang yang tak berdaya itu, cukuplah untuk menyambung hidup mereka melalui jarum-jarum yang terpasang di bagian lengan dan kaki yang terhubung dengan mesin itu.


Dinginnya AC dan dua buah TV cukup untuk menghilangkan penat. Aku duduk di samping sebuah ranjang beroda. Di atasnya tertidur pulas seorang wanita paruh baya. Meski perih menahan sakit karena jarum yang menciumi tubuhnya, tapi kulihat sebuah kepasrahan terpancar dari wajahnya yang mulai berkerut. Kerutan di dahinya itu cukup menjadi saksi ketegaran hidup selama 53 tahun. Namun, masih tersisa sebuah senyuman yang menjadi syarat untukku tetap tabah dan sabar merawatnya, menjaganya sebagaimana ia menjagaku sejak kecil.

Bulan belum sempurna bentuknya ketika kudatangi ia dengan membawa secangkir susu yang akan kunikmati di bawah cahaya redupnya. Namun kusadari kasih ibu ternyata lebih lembut dari cahaya rembulan, lebih indah dari kerlip bintang dan lebih bersinar dari cahaya matahari. Malam ini kunikmati dengan mengenang sebuah kisah indah antara aku dengan ibu.

Hari-hari yang kulalui bersamanya bagai pelangi yang setia menemani alur kehidupanku bersamanya dan mewarnai langkahku. Namun, sekali lagi kukatakan, kasih ibu lebih dari sekedar warna pelangi. Ia yang tegar, pantang menyerah dan tabah, meski harus menopang hidup kelima anaknya sendirian. Masih kuingat, enam tahun yang lalu, ketika sosok yang sangat dicintainya menghembuskan nafas terakhir. Betapa banyak air mata yang terkuras karenanya. Tapi kuyakin, kau tetap tegar, Bu…

Masih terngiang di telingaku, saat kau berucap pada kami, buah hatimu, “Nak, meskipun ayah telah tiada, tapi kalian masih punya Ibu yang akan menemani hari-hari kalian setelah ini. Doakan Ibu ya Nak…”. Bu… pantas saja dulu saat aku akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kau menahanku untuk tetap di sampingmu. “Tidak usah kuliah jauh-jauh Teh, di sini juga masih banyak Perguruan Tinggi yang bagus, ibu yakin kau lebih baik jika tetap tinggal di sini bersama ibu!” pintamu waktu itu.
Semula aku merasa kecewa. Teman-temanku banyak yang kuliah ke luar kota, menggapai mimpi mereka. Sementara aku, masih di sini, kota yang sama sejak aku dilahirkan. Aku pun berusaha penuhi pintamu meski dengan tanda tanya besar tentang alasanmu. Namun ternyata, sejuta tanyaku terjawab ketika di akhir semester pertama aku mendapat Indeks Prestasi tertinggi di jurusan. Nilai sempurna bagi mahasiswa. Dan kini aku sadar, bahwa inilah rencana terindah dari Sang Maha Sempurna untukku.

Masa-masa indah telah aku lalui bersama ibu. Merangkai mimpi bersama.
“Kalau nanti sudah ada yang membawamu pergi, jangan lupakan ibu ya Nak, ibu doakan semoga kau mendapat jodoh yang baik, soleh, dan dapat menyayangimu serta ibumu ini sepenuh hati…” ucapmu waktu itu. Aku hanya mampu tersenyum dan berdoa dalam diam. “Amiin, kabulkan doa ibuku Ya Rabb, hanya Engkaulah Desainer kehidupan terbaik!”

Seperti sebuah roda yang berputar. Hidup tak selamanya indah. Ada mendung di balik hangatnya sinar mentari. Karena langit tak selalu cerah. Masa-masa yang memeras air mata datang, ketika aku merasakan bahagia bersamamu. Mungkin, inilah ujian cinta dari-Nya. Ketika kami terpaksa harus menjual rumah untuk membiayai sekolah dan kebutuhan hidup lainnya. Dari sini aku belajar bahwa hidup membutuhkan sebuah keputusan. Ketika kondisi keuangan yang semakin surut dari waktu ke waktu, akhirnya dengan keputusan yang bulat, kami pergi meninggalkan rumah peninggalan almarhum ayah dan menempati rumah yang sederhana dibandingkan rumah itu.
Inilah kehidupan. Ada hitam ada putih. Ada bahagia ada sedih. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani masa-masa pahit menjadi sesuatu yang terasa manis.

Kondisi keluargaku memang menuntut untuk berkorban dan berjuang lebih keras. Sejak ayah meninggal, kami hanya hidup dari uang pensiunan ayah yang tak seberapa nilainya. Setidaknya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, meski kadang harus meminjam dari yang lain untuk memenuhi kekurangan. Ibu tak sanggup bekerja karena kondisi kesehatannya yang semakin lama semakin menurun. Sementara semua anak-anaknya masih dalam bangku pendidikan. Aku, kakak, dan saudara perempuanku kuliah, adik laki-laki SMP dan si bungsu masih SD. Tentu bukan biaya yang ringan untuk kebutuhan sekolah kami.
“Sekolahlah setinggi mungkin anak-anakku, jadikan hidupmu lebih baik dari sekarang!” harapnya. “Iya Bu, tapi doakan kita juga ya…” jawabku. Sebenarnya aku yakin, tak usah dipinta pun, pasti kau doakan kami ya Bu. Kami tetap menjalani hidup apa adanya dan selalu berusaha tetap tegar.

Syukur tiada henti ketika beberapa tahun selanjutnya kakak dapat bekerja sambil kuliah untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Aku pun tak mau berdiam diri. Dengan kemampuanku dalam hal menulis, akhirnya aku mulai bekerja di bidang jurnalistik meski hanya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, tapi dapat mengurangi beban kakak dan ibu. Kami bertekad, walau harus membanting tulang, tapi pendidikan menjadi yang utama. “Berjuanglah untuk meraih mimpi kalian!” ucapan ibu masih terngiang hingga kini.


Tanda-tanda itu mulai terlihat. Ketika ibu mulai merasakan sakit dalam tubuhnya, kakak ingin membawanya ke dokter, namun ibu menolak. Kutahu, dana telah menghentikan niatmu memeriksakan diri. Sampai  sakitmu bertambah parah, akhirnya kakak memaksakan meminjam uang untuk biaya pemeriksaanmu. Dengan memakai motor yang belum juga terlunasi, kakak membawa ibu pergi ke dokter yang jaraknya tak jauh dari rumah. Dengan khawatir, aku menunggumu pulang.

“Rabb, ampuni hamba-Mu ini yang tak bisa menjalankan amanah-Mu menjadi anak yang berbakti pada orang tua, kusadari betapa lemah diri ini di hadap-Mu. Karena itu kumohon berilah pondasi kekuatan-Mu agar dapat menopang diriku.”
Kabar itu membuatku merasa bersalah padamu, Bu. Dokter mengatakan bahwa kau darah tinggi bahkan hingga tekanan darahmu mencapai di atas 200. Kakak bilang, “Dokter merasa aneh, padahal tekanan darah Ibu sangat tinggi tapi masih terlihat kuat, bahkan dokter khawatir kalau Ibu pulang naik motor!” Aku bertekad, akan kujaga engkau dengan sekuat tenaga, tentu dengan kekutan-Nya.

Beberapa bulan telah terlewati dan sampailah aku pada bulan kemuliaan. Bulan Ramadan tahun ini adalah bulan kebahagiaan serta kesedihanku. Bahagia karena Allah masih memberiku umur untuk merasakan nikmatnya dan kesedihan karena kondisi kesehatan ibu sangat menurun. Di penghujung Ramadan, aku sekeluarga pergi ke tempat kelahiranku dengan niat ingin berlebaran di sana. Sebuah kampung kecil yang penuh dengan kenangan.

Di sanalah semua bermula. Sakit yang ibu derita mulai menjalar ke seluruh tubuh hingga kau tak sadarkan diri. Jiwamu terlihat kuat tapi pikiranmu tak ada disana. Orang-orang kampung mengira kau dirasuki oleh ruh lain hingga didatangkanlah ‘orang pintar’ yang tersohor di kampung. Semula aku tak setuju dengan solusi yang mereka berikan. Hanya, kultur  itu terlalu kuat. Kupandangi ‘orang pintar’ itu dari ujung rambut hingga kaki. Penampilannya aneh! Dia mengobati Ibu dengan cara di luar akal pikiranku. Dan hasilnya bisa dipastikan. Tidak ada! Akhirnya kupaksakan membawa Ibu ke rumah sakit karena kondisi yang semakin parah. Meski kutahu tak ada biaya untuknya. Tapi aku tetap yakin pada pertolongan Allah.

“Ibu menderita gagal ginjal kronis!” vonis dokter setelah memeriksa Ibu. Semula aku tak percaya, tapi dokter memberikan hasil pemeriksaan dari laboratorium.
“Apakah Ibu masih bisa tertolong Dok?” tanyaku khawatir. Aku pernah mendengar dari salah seorang dosen di kampus kesehatan adikku bahwa penyakit gagal ginjal itu seperti lagu “menghitung hari”, tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran itu setelah dokter mengatakan bahwa ibu masih bisa tertolong.

“Iya Nak, organ dalam tubuh ibumu tidak dapat mencerna makanan yang masuk karena ginjalnya sudah tidak berfungsi. Untuk membantunya, dia harus melakukan cuci darah atau hemodialisa,” jelas dokter. “Sampai kapan ibu harus cuci darah?” tanyaku segera. “Seumur hidup.” Jawabnya. Degggg ! Tak kuasa aku mendengarnya. Untuk menopang hidupnya, dia harus merasakan sakit ketika alat-alat medis itu menggigit tubuhnya. ‘Kuatkan hamba ya Rabb...berikan nikmat sehatmu untuk ibuku tercinta....’


Ruangan ini masih seperti semula. Bau obat-obatan yang mengganggu hidung, suara mesin pencuci darah yang menusuk telinga dan dinginnya AC yang membuat suasana hati ini semakin dingin. Lima jam sudah ibu terbaring tak berdaya. Lelah terbayang di wajahnya. Namun, aku takkan pernah lelah menunggu demi melihat kau sehat, kuatkan hatimu, sabar ya Bu, ujian Tuhan sedang menerpa keluarga kita, semoga keluarga kita tabah dan dapat menjalaninya dengan penuh syukur.

3 komentar:

  1. Cinta adalah kemuliaan.
    Bagi hati yg penuh cinta, Smoga selalui diselimuti cinta.

    *herylady @ HD

    BalasHapus
  2. Cinta adalah kemuliaan.
    Bagi hati yg penuh cinta, Smoga selalui diselimuti cinta.

    *herylady @ HD

    BalasHapus
  3. MasyaAllah.. Terharu bc perjalanan hidup bpk.. Beruntung ibu punya ank2 brbakti sprt bpk n saudara2. Gmn kabar ibu skrg pak? Sdh 2 th lbh sy br baca artikel ini. Smg.. Ibu sehat selalu disana.Salam utk beliau 😇🙏

    BalasHapus