Seorang
teman melakukan upaya lebih hebat dari psikolog sosial manapun yang saya kenal.
Ia mendapat tugas untuk menaikkan tingkat kualitas nenas kalengan di pabrik
yang ia pimpin dan memutuskan untuk menaikkan tingkat kebersihan gaya hidup
para karyawannya. Riset dilakukan ke rumah-rumah karyawan dan upayanya
kemudian berkisar antara pembersihan rambut, dapur di rumah, pakaian para
karyawan dan banyak hal lain yang menyangkut gaya hidup karyawan secara
keseluruhan. Upaya pembelajaran itu juga tertular ke rumah-rumah karyawan dan
akhirnya membuahkan hasil yang sangat signifikan bagi pabrik. “Tidak mudah
merubah cara hidup, persepsi dan nilai individu. Namun, bila melihat hasilnya,
kita tak akan mundur. Kita akan terus berusaha melakukan pembelajaran, karena peningkatan
harkat hidup merupakan keindahan yang tidak ada duanya” demikian komentar teman
saya itu.
Meskipun
pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai 2
sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang yang tidak
komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji
guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun
kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara proses pembelajarannya sering
tertinggal dan tidak didalami.
Kita
pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses
pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada
keluarannya. Kita sering tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta
kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau
tidak. Belum lagi, kesempatan ”benchmark” atau ”studi banding” sering
tidak kita manfaatkan betul sebagai ”pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering
kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman,
persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi
sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya,
pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.
Ketika
Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Discipline banyak
organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada
upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di Negara
tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan
sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan
dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang
tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal
ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang
tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap
kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan
pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.
Peter
Senge berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur
diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau
dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia
yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang
sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap
realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang
punya paradigma baru.
Untuk
menjadikan sebuah organisasi atau bahkan negara pembelajar, kita memang perlu
meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh
kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita:
Jangan Meraba-raba
Secara “back to basic”
marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar
untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang
sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa
ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar
US dollar. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam
ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang berobsesi
untuk memperoleh data yang benar.
Eksperimen dan
Riset Tidak Selalu di Laboratorium
Dari seorang eksekutif
yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak
memberi judul “riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegiatan ”mencari
tahunya”. Misalnya,”Saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik di beli
Canon atau Nikon” atau “Saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau
saya makan sawi saja selama seminggu”. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan
pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh
pengetahuan baru. Ini sangat berguna bagi kita yang memang selalu harus
memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan
kesempatan yang kita alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar