Rabu, 17 Januari 2018

Dilarang Korupsi


Hidup ini diwarnai berbagai nilai yang terkadang bisa harmonis dan sinkron satu sama lain, tetapi terkadang bertentangan dengan sangat mencengangkan. Ayah saya adalah seorang yang sangat simpel. Menjabat sebagai kepala cabang sebuah BUMN selama puluhan tahun, ia berprinsip untuk tidak memanfaatkan sepeserpun uang, barang ataupun fasilitas milik negara. Tidak sulit baginya untuk menentukan mana pemberian yang berbau gratifikasi, mana yang bukan. Semua pemberian dan kemudahan ditolak, titik. Hidupnya aman, tentram, tetapi tidak berkecukupan. Isteri  dan anak-anak perlu menerima konsekuensi dengan lapang dada, mencari tambahan sendiri sebisa- bisanya. 

 

Saat ini, hidup tidak sesederhana itu. Kita dikejutkan dengan kasus-kasus sogok-menyogok, di kalangan pemain, pelatih dan pengurus klub sepak bola. Tidak hanya terjadi di negara sendiri saja tetapi sudah sampai tingkat dunia di mana 14 gembong FIFA, termasuk pemimpinnya, Sepp Blater, mengaku menerima sogokan sebanyak 150 juta dollar AS. 

 


Belum lagi berita di media massa belakangan ini, mengenai perempuan karier, anggota dewan, yang pada dasarnya sudah sangat berkecukupan, tertangkap tangan menerima uang. Sementara slogan-slogan anti korupsi diteriakkan, praktik korupsi tetap berjalan lancar, tanpa rasa malu ataupun bersalah, seolah-olah ini adalah hal yang normal, senormal matahari terbit di ufuk timur. 

 

Korupsi adalah sebuah pilihan, walaupun bukan pilihan yang sederhana. Banyak perusahaan yang masih tergoda untuk menggunakan jasa importir gelap, yang notabene berarti melakukan penyelundupan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memilih cara ini akan membuat bisnis lebih kompetitif dan akhirnya lebih menguntungkan. “Kalau saya saja yang tidak melakukannya sementara kompetitor melakukan, saya akan kalah bersaing“ begitu argumen para pebisnis. Apakah pemimpin dan pelaku bisnis ini tidak ingin praktik-praktik yang lebih bersih?

 

Banyak orang menginginkan perubahan, tetapi di dalam kenyataannya, tidak banyak yang mau memerangi korupsi secara ekstrim. Berapa banyak dari kita yang ketika tertangkap melanggar peraturan lalu lintas, akhirnya mengeluarkan sogokan dari koceknya dengan dalih agar “tidak berbelit-belit” mengingat masih banyak hal penting lain yang perlu diurus. Bahkan, kadang sambil juga menyalahkan lembaga yang mau menerima sogokan. Ada yang bahkan merasa bahwa kegiatan ngobyek di luar pekerjaan, atau menggunakan fasilitas kantor untuk mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai sesuatu hal yang wajar, bahkan dengan bangga bercerita pada rekan-rekan kerjanya yang lain. Ada yang menjadi pimpinan lembaga antikorupsi, namun merasa tidak berdaya untuk memeranginya. Terlalu banyak apel busuk dalam keranjang, yang kalau disingkirkan semua, siapa yang tersisa untuk bekerja nanti? 

 

Menyetop korupsi: perjuangan seumur hidup 

 

Kita tidak mungkin menyerah kalah menjaga moral kita. Kita telah memenjarakan menteri beserta beberapa pimpinan lembaga penting terkait, yang berkuasa dan dihormati karena terbukti melakukan korupsi. Lembaga-lembaga yang tadinya sakti dan berpengaruh dalam menentukan harga minyak di negara kitapun, akhirnya bisa dihentikan operasinya. Bukankah ini pertanda bahwa kalau mau, kita memang bisa memerangi korupsi? Proses demi proses memang harus kita lakukan, tidak bisa asal terabas, dan membasmi. Semua detil harus ditelaah dengan seksama. Jadi, selain berkampanye, seorang pemimpin harus berjuang tanpa lelah dan melakukan tindakan korektif yang tidak ada habisnya. 

 

Sampai di mana kita? 

 

Demikian juga kita tidak bisa menyalahkan orang yang menerima sogokan saja. Yang menyogok, dan yang mengetahui terjadinya sogokan, juga memiliki derajat kesalahan yang sama. Kita perlu mengakui bahwa korupsi adalah penyakit kronis masyarakat secara sosial dan ekonomis. Pembenaran-pembenaran seperti kelumrahan, stereotip ke lembaga tertentu maupun keboborokan mental perlu kita cermati dengan hati-hati, dan bertanya pada diri sendiri: ”Bagaimana dengan kita?” Siapkah kita untuk tidak melakukan sogokan yang paling kecil sekalipun, baik kepada pejabat pemerintah, politisi, maupun pengambil keputusan pembelian di perusahaan klien kita? Walaupun kita yakin bahwa semua orang dalam organisasi harus mempraktikkannya, pemimpin harus memulai dan memberi contoh.

 

Dalam pesan tahunannya, Sudirman Said menulis, “Pangkat, jabatan, dan kekuasan adalah sementara yang dapat hilang kapan saja. Yang permanen adalah perilaku kita jika kita mampu membangun nilai-nilai: jujur, profesional, melayani, inovatif, dan berarti. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi banyak orang. Mari kita berikhtiar menjadi sebaik baiknya manusia, dengan membangun sikap dan perilaku; bukan mengandalkan kekuasaan dan jabatan.“ Pesan yang mendalam mengenai pembentukan karakter ini akan sangat ampuh bila dalam keseharian semua orang menjadi polisi bagi orang lain, semua orang ingin menjaga dan menegakkan kebenaran, semua orang tidak mengambil jarak dari kesalahan atau penyelewengan, tetapi perlu merasa terluka bila kesalahan sekecil apapun terjadi. Ingat anak cucu.(Expert)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar