Senin, 09 Juni 2014

Alon Waton Kelakon

Ingin berputar-putar menikmati kota Yogya, naik saja becak. Sebuah kendaraan tradisional yang dikayuh dari belakang. Aku menggunakan jasa becak untuk berkeliling kota menikmati ramainya Yogya, memandangi hiruk pikuknya pedagang kakilima dan blusukan kelkuar masuk jalan sempit. Sambil menikmati suasana sore yang ramai dengan berbagai kegiatan.

 

Becak menjadi transportasi pilihan karena merupakan sarana transportasi ramah lingkungan yang unik, rendahnya kecepatan kayuh justru menguntungkanku untuk dapat menikmati suasana kota lebih lama, tapi kasian juga sama mas beca yang mengayuh, karena kelihatan agak ngos-ngosan nafasnya.




Menurutku jika mau lebih adil, becak memiliki keunggulan yang tak mampu dipenuhi moda transportasi lainnya. Becak adalah transportasi umum yang nirpolusi dan tidak mengotori, mampu melayani door to door dan interaktif pngemudi dengan penumpangnya, socially acceptable serta mampu menjangkau hampir semua kawasan urban perkotaan, praktis dari sisi mekanikalnya. Becak juga mempunya ipotensi turisme yang sangat prospektif jika dikembangkan dan dikelola secara total, nggak dipandang secara parsial.



Sepanjang jalan yang melewati malioboro tampak deretan becak menyelimuti pandangan mata. Para tukang becak ada yang ngipas-ngipas topi kepanasan, mengisap rokok klobot yang beraroma cengkeh, berbincang dengan sesama, dan ada juga yang sedang tidur di becaknya. Kalau begini rasanya nggak perlu jalan-jalan ketempat wisata karena pemandangan ini saja sudah membuat bahagia. Pemandangan ini nggak ada di kota-kota besar macam Jakarta yang sesak dengan kemacetan dan kepulan asap debu serta penghuninya yang sibuk bekerja.



Namun becak jugalah yang menghasilkan pikiran bahwa becak merupakan transportasi yang nggak manusiawi, manusia tidak memanusiakan manusia, coz yang naik merasa enjoy  dan enak sedangkan yang mengayuh mengeluarkan energi maksimal, seperti orang yang sedang melakukan kerja paksa. Ada juga yang bilang bahwa becak adalah pemerasan kemanusiaan, nggak sepantasnya manusia yang beradab dan mengerti HAM menghalalkan becak menjadi transportasi, becak dianggap memperbudak manusia secarahalus.



Terlepas dari semua itu, becak di Yogya mampu bertahan dan bersaing dengan bus, taksi atau angkutan lainnya. Daya lajunya yang lamban dan kapasitas penumpang yang hanya dua orang menciptakan romantisme sendiri yang justru digemari. Kalau sedang berkunjung ke Yogya jangan lupa naik becak. Kehidupan tukang becak yang biasa-biasa saja, sebagai wong cilik terlanjur melekat dengan stereo tip “nrimo ing pandum, alon-alon waton kelakon”. Ada juga penarik becak yang sering memanfaatkan ketidaktahuan wisatawan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan menawarkan harga yang tak lazim.


Coba deh inget-inget kapan terakhir naik becak. Kalau ke Yogya jangan heran jika ada becak yang seliweran di jalan protokol, becak harus dipertahankan sebagai identitas budaya dan pariwisata. Oleh karena itu revitalisasi becak diperlukan agar lebih nyaman dan aman sehingga lebih banyak mendatangkan wisatawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar