Dulu pada jaman penjajahan daerah Klewer di
Solo merupakan tempat pemberhentian kereta api, disitu terdapat para pedagang
pakaian terutama yang berbahan dasar batik. Banyak sekali pedagang yang mangkal
disitu, sambil menjajakan dagangan dengan menyampirkannya pada bahu pedagang
tersebut atau menggantungkan pada suatu tempat. Sehingga kain atau baju yang
tergantung tersebut kelihatan pating
klewer(bergantung acak-acakan). Nah dari situlah nama “PASAR KLEWER”
diambil, hingga abadi sampai kini.
Asal tau aja dulunya juga pasar klewer nggak
sebesar sekarang, pada tahun 1969 pasar klewer diperluas sebesar sekarang dan
direnovasi menjadi dua lantai. Letaknya pun jadi mepet dengan Mesjid Agung Surakarta, yang berada disekitar Keraton
Kasuhanan Surakarta. Akibat renovasi tersebut jumlah kios pun bertambah menjadi
2064 unit.
Dengan ramainya pengunjung, penjual sekeliling
bertambah banyak, kakilima menjamur. Akhirnya lama kelamaan pasar ini menjadi
ikonnya kota Solo. Hampir seluruh kiosnya dihuni oleh pedagang batik, baik yang
berkualitas maupun yang ecek-ecek. Pasar ini juga sebagai penampung home industry masyarakat sekitar yang
memproduksi batik. Batik yang ditampung disini bahkan juga dikirim dari
produsen kota-kota yang ada di Jawa hingga Madura.
Namun kegagahan dan eloknya pasa klewer pada
hari Sabtu malam tanggal 27 Desember 2014, sirna. Malam itu klewer terbakar,
pas dengan perayaan sekatenan di Solo. Jarak alun-alun tempat sekaten
berlangsung dengan klewer cuma sekitar seratus meter. Api berawal dari bagian
tengah pasar yang dengan cepat menjalar membakar seluruh areanya.
Karena malam itu tepat dengan perayaan
sekaten, maka jalan disekitarnya macet bahkan tertutup dipakai untuk parkir
segala macam kendaraan. Sehingga mobil pemadam kebakaran yang akan memadamkan
api nggak bisa masuk, tertutup lautan masa.
Toko-toko yang ada disitu, sedang
banyak-banyaknya menimbun barang dagangan, persiapan buat sekaten yang akan
berlangsung selama satu minggu. Semuanya ludes kobong, nggak tersisa coz barang dagangannya hampir semuanya
berbahan dasar kain. Api dengan cepat merambat dari satu kios ke kios lain,
asap hitam pekat membumbung tinggi. Tapi mobil pemadam nggak ada, dia tertahan
disekitar Jalan Slamet Riyadi Solo, karena masyarakat yang menghadiri sekaten
memenuhi areal keraton hingga jalan yang menuju kearah Pasar Klewer.
Mobil pemadam belum juga datang, akhirnya
pemilik toko dibantu masyarakat yang ada
disekitar situ, bahu membahu mematikan api. Walau untuk masuk ke dalam pasar
terhambat, karena kunci gerbang klewer di pos Satpam penjaga pasar raib… entah
kemana ! Padahal menjelang tutup pasar, katanya kunci tersebut masih ada
menggantung ditempat kunci.
Karena kejanggalan tersebut, akhirnya merebak
isu bahwa klewer dibakar, bukan kebakaran. Ini dikuatkan oleh pendapat seorang
pedagang yang mengatakan bahwa, sebelum terbakar pedagang disini berjubel,
nggak beraturan dan susah diatur, parkir semerawut,
kakilima yang berdagang disekitar pasar bikin macet. Oleh karenanya Pemkot
setempat berniat untuk merevitalisasi pasar tersebut. Namun banyak sekali
pedagang yang menolak, terutama mereka yang memiliki lebih dari satu kios.
Dari niat revtalisasi pasar tersebut,
beberapa pihak keberatan. Dikhawatirkan akan menghilangkan nilai nilai kearifan
lokal dan aroma ketradisionalan, termasuk mengikis local genius pasar dalam lorong-lorong yang sempit dan pengap, yang
selama ini melekat dengan klewer. Hasil penelitian terkait dampak revitalisasi
menyebutkan bahwa nantinya terjadi perubahan interaksi sosial dan pendapatan pedagang,
karena harga kiosnya pasti mahal. Isu dimaksud menguatkan bahwa klewer sengaja
dibakar. Walahualam.
Saat ini kesibukan disekitar Pasar Klewer
nyaris nggak ada, jalan-jalan sepi, kaki lima nggak ada, pedagang asongan
menghilang, abang becak pun menjauh. Nggak ada lagi suasana tradisional. Agar pelanggannya nggak lari,
pedagang pasar klewer hanya memasang sepanduk dipagar gedung-gedung
disekitarnya, yang menginformasikan bahwa untuk sementara mereka pindah ketempat
terdekat. Ada juga pedagang yang jualan menggunakan mobil disekitar klewer,
menanti langganannya berkunjung kembali.
Keramaian pasar klewer kini lenyap, dampaknya
adalah pengunjung Masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat sepi. Biasanya hampir semua pengunjung muslim
yang datang ikut beribadah dimasjid ini, selain untuk sholat mereka juga
beristirahat, sambil tidur-tiduran. Masjid ini peninggalan jaman Sunan
Pakubuwono III, yang dibangun pada tahun 1763. Dengan status sebagai masjid
kerajaan, maka segala kegiatan yang dilakukan dimesjid ini adalah untuk
mendukung kerajaan. Pada saat Ied atau sholat jum’at, sewaktu masih ada Pasar
Klewer, jamaah yang sholat penuh. Tapi sejak peristiwa kebakaran, otomatis
masjid ini kosong melompong.
Dampak lain adalah pedagang kakilima yang
biasanya memadati jalan sekitar klewer, nyaris musnah. Mereka nggak dagang
lagi, padahal jumlahnya mencapai 900 orang. Tukang parkir kehilangan pekerjaan,
Wanita perkasa yang membantu membawakan belanjaan pengunjung langka, restoran
dan warung nasi sekitar klewer nggak ada pembeli, belum lagi para copet yang
kehilangan mata pencarian.
Efek kebakaran pasar ini sungguh drastis,
merubah situasi kota Solo yang ramai dengan transaksi batik menjadi sepi
pengunjung. Pihak Pemkot berniat bekerjasama dengan Keraton untuk menampung
pedagang di alun-alun kota Solo, tapi hal itu belum terwujud sebab keraton
minta kompensasi uang 3 miliar. Jika uang 3 miliar jadi digelontorkan maka
alun-alun boleh dipergunakan, jika tidak maka keraton akan menutup untuk
kegiatan pasar.
Mudah-mudahan kedepan, Pemerintah Pusat, Pemkot
Solo dan Keraton dapat bekerjasama mencari solusi terbaik, agar Pasar Klewer
dapat dibangun kembali. Sehingga dapat menampung kegiatan ekonomi pedagang
kecil dan menengah, karena Pasar Klewer merupakan sentra industri batik, yang
menjadi ciri khas pakaian kebanggaan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar