Jumat, 16 Januari 2015

Tanpa Pasar Klewer Solo Sepi

Dulu pada jaman penjajahan daerah Klewer di Solo merupakan tempat pemberhentian kereta api, disitu terdapat para pedagang pakaian terutama yang berbahan dasar batik. Banyak sekali pedagang yang mangkal disitu, sambil menjajakan dagangan dengan menyampirkannya pada bahu pedagang tersebut atau menggantungkan pada suatu tempat. Sehingga kain atau baju yang tergantung tersebut kelihatan pating klewer(bergantung acak-acakan). Nah dari situlah nama “PASAR KLEWER” diambil, hingga abadi sampai kini.



Asal tau aja dulunya juga pasar klewer nggak sebesar sekarang, pada tahun 1969 pasar klewer diperluas sebesar sekarang dan direnovasi menjadi dua lantai. Letaknya pun jadi mepet dengan Mesjid Agung Surakarta, yang berada disekitar Keraton Kasuhanan Surakarta. Akibat renovasi tersebut jumlah kios pun bertambah menjadi 2064 unit.



Dengan ramainya pengunjung, penjual sekeliling bertambah banyak, kakilima menjamur. Akhirnya lama kelamaan pasar ini menjadi ikonnya kota Solo. Hampir seluruh kiosnya dihuni oleh pedagang batik, baik yang berkualitas maupun yang ecek-ecek. Pasar ini juga sebagai penampung home industry masyarakat sekitar yang memproduksi batik. Batik yang ditampung disini bahkan juga dikirim dari produsen kota-kota yang ada di Jawa hingga Madura.



Namun kegagahan dan eloknya pasa klewer pada hari Sabtu malam tanggal 27 Desember 2014, sirna. Malam itu klewer terbakar, pas dengan perayaan sekatenan di Solo. Jarak alun-alun tempat sekaten berlangsung dengan klewer cuma sekitar seratus meter. Api berawal dari bagian tengah pasar yang dengan cepat menjalar membakar seluruh areanya.
Karena malam itu tepat dengan perayaan sekaten, maka jalan disekitarnya macet bahkan tertutup dipakai untuk parkir segala macam kendaraan. Sehingga mobil pemadam kebakaran yang akan memadamkan api nggak bisa masuk, tertutup lautan masa.



Toko-toko yang ada disitu, sedang banyak-banyaknya menimbun barang dagangan, persiapan buat sekaten yang akan berlangsung selama satu minggu. Semuanya ludes kobong, nggak tersisa coz barang dagangannya hampir semuanya berbahan dasar kain. Api dengan cepat merambat dari satu kios ke kios lain, asap hitam pekat membumbung tinggi. Tapi mobil pemadam nggak ada, dia tertahan disekitar Jalan Slamet Riyadi Solo, karena masyarakat yang menghadiri sekaten memenuhi areal keraton hingga jalan yang menuju kearah Pasar Klewer.



Mobil pemadam belum juga datang, akhirnya pemilik toko dibantu  masyarakat yang ada disekitar situ, bahu membahu mematikan api. Walau untuk masuk ke dalam pasar terhambat, karena kunci gerbang klewer di pos Satpam penjaga pasar raib… entah kemana ! Padahal menjelang tutup pasar, katanya kunci tersebut masih ada menggantung ditempat kunci.



Karena kejanggalan tersebut, akhirnya merebak isu bahwa klewer dibakar, bukan kebakaran. Ini dikuatkan oleh pendapat seorang pedagang yang mengatakan bahwa, sebelum terbakar pedagang disini berjubel, nggak beraturan dan susah diatur, parkir semerawut, kakilima yang berdagang disekitar pasar bikin macet. Oleh karenanya Pemkot setempat berniat untuk merevitalisasi pasar tersebut. Namun banyak sekali pedagang yang menolak, terutama mereka yang memiliki lebih dari satu kios.



Dari niat revtalisasi pasar tersebut, beberapa pihak keberatan. Dikhawatirkan akan menghilangkan nilai nilai kearifan lokal dan aroma ketradisionalan, termasuk mengikis local genius pasar dalam lorong-lorong yang sempit dan pengap, yang selama ini melekat dengan klewer. Hasil penelitian terkait dampak revitalisasi menyebutkan bahwa nantinya terjadi perubahan interaksi sosial dan pendapatan pedagang, karena harga kiosnya pasti mahal. Isu dimaksud menguatkan bahwa klewer sengaja dibakar. Walahualam.

Saat ini kesibukan disekitar Pasar Klewer nyaris nggak ada, jalan-jalan sepi, kaki lima nggak ada, pedagang asongan menghilang, abang becak pun menjauh. Nggak ada lagi suasana  tradisional. Agar pelanggannya nggak lari, pedagang pasar klewer hanya memasang sepanduk dipagar gedung-gedung disekitarnya, yang menginformasikan bahwa untuk sementara mereka pindah ketempat terdekat. Ada juga pedagang yang jualan menggunakan mobil disekitar klewer, menanti langganannya berkunjung kembali.



Keramaian pasar klewer kini lenyap, dampaknya adalah pengunjung Masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat  sepi. Biasanya hampir semua pengunjung muslim yang datang ikut beribadah dimasjid ini, selain untuk sholat mereka juga beristirahat, sambil tidur-tiduran. Masjid ini peninggalan jaman Sunan Pakubuwono III, yang dibangun pada tahun 1763. Dengan status sebagai masjid kerajaan, maka segala kegiatan yang dilakukan dimesjid ini adalah untuk mendukung kerajaan. Pada saat Ied atau sholat jum’at, sewaktu masih ada Pasar Klewer, jamaah yang sholat penuh. Tapi sejak peristiwa kebakaran, otomatis masjid ini kosong melompong.

Dampak lain adalah pedagang kakilima yang biasanya memadati jalan sekitar klewer, nyaris musnah. Mereka nggak dagang lagi, padahal jumlahnya mencapai 900 orang. Tukang parkir kehilangan pekerjaan, Wanita perkasa yang membantu membawakan belanjaan pengunjung langka, restoran dan warung nasi sekitar klewer nggak ada pembeli, belum lagi para copet yang kehilangan mata pencarian.



Efek kebakaran pasar ini sungguh drastis, merubah situasi kota Solo yang ramai dengan transaksi batik menjadi sepi pengunjung. Pihak Pemkot berniat bekerjasama dengan Keraton untuk menampung pedagang di alun-alun kota Solo, tapi hal itu belum terwujud sebab keraton minta kompensasi uang 3 miliar. Jika uang 3 miliar jadi digelontorkan maka alun-alun boleh dipergunakan, jika tidak maka keraton akan menutup untuk kegiatan pasar.


Mudah-mudahan kedepan, Pemerintah Pusat, Pemkot Solo dan Keraton dapat bekerjasama mencari solusi terbaik, agar Pasar Klewer dapat dibangun kembali. Sehingga dapat menampung kegiatan ekonomi pedagang kecil dan menengah, karena Pasar Klewer merupakan sentra industri batik, yang menjadi ciri khas pakaian kebanggaan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar