Senin, 11 Januari 2016

Apakah Anda Punya Visi

Jika visi anda tetap, hidup anda akan berubah. Namun bila visi anda berubah-ubah, hidup anda akan tetap! Dalam mengarungi hidup ini, apakah anda punya visi? Apakah anda menuliskannya? Apakah anda sering melihat (atau membacanya)?

Seberapa kuat visi anda? Apakah anda sering “memberi makan” visi anda? Atau jangan-jangan anda hanya merasa sudah punya visi, padahal samar-samar saja? Sehingga tanpa disadari visi anda sering “berubah-ubah”? Salah satu “faktor pembeda” orang-orang sukses dengan mereka yang tidak sukses adalah visi. Mereka yang sukses biasanya punya visi, artinya ia punya kemampuan melihat jauh ke depan. 


Bukan dalam arti secara gaib ataupun ramalan, namun memang bersifat imaginatif. Seorang penulis George Barna mengatakan,”Visi adalah gambaran didalam mata bathin anda mengenai bagaimana nantinya suatu hal akan atau bakal terjadi.” Mereka yang sudah punya visi merasa dunia ini seakan-akan terbuka lebar di hadapan mata batinnya. Visi itu membuat ia begitu bergairah memperjuangkan apa yang “dilihatnya”.

Ia mampu melihat makna tersirat di balik yang ada, yang boleh jadi tak terlihat oleh orang lain. Inilah yang disebut kemampuan melihat peluang. Contohnya Walt Disney. Ia memiliki visi yang luar biasa. Ia mampu mewujudkan suatu tempat dengan bantuan daya khayalannya. Ia mengkhayalkan adanya suatu tempat dimana anak-anak serta keluarganya bisa bergembira bersama memasuki dunia yang sama sekali baru bagi mereka.

Di dalam dunia baru itu, mereka bisa menyaksikan secara nyata tempat-tempat dan tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya mereka kenal melalui dongeng saja. Visi yang luar biasa itu sudah menjadi kenyataan. Diawali dengan Disneyland di California, Amerika Serikat. Lalu disneyland-disneyland baru bermunculan, seperti Disneyland di Orlando, Disneyland di Jepang dan di Perancis.

Hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang tidak punya visi. Ia hanya melihat apa yang ada di depan matanya saja dan apa-apa yang bisa diraih secara mudah saja. Selain itu mereka juga sering membayangkan hal-hal negatif tentang masa depan mereka. Dunia ini terasa begitu ‘sempit’ dan sering mengeluhkan nasib buruknya. Bahkan tak jarang mempertanyakan keadilan Tuhannya.

Lha, ini nggak ada kaitan sama sekali dengan jabatan, gelar, pangkat, atau turunan. Keadaan ini bisa dialami siapa saja, kalangan manapun juga. Mulai dari para supir truk, petani sampai para bankir, bahkan profesor sekalipun. Jadi ... agaknya, orang yang paling pantas dikasihani sebenarnya bukanlah orang yang miskin keuangannya, seperti anggapan kebanyakan orang, melainkan justru orang-orang yang tidak punya visi sama sekali dalam hidup ataupun dalam pekerjaannya.

Punya visi itu penting. Visi akan memberitahu kita apa yang BISA menjadi milik kita, sehingga kita tergerak melakukan sesuatu. Kita akan berusaha keras mewujudkannya. Visi membuat kita tak mudah menyerah. Visi membangunkan kembali semangat kita tatkala kita jatuh. Visi memberi kita keuntungan besar dan membuka lebar pintu peluang. Visi juga akan meningkatkan kemampuan seseorang. Makin luas visinya, makin besar pula potensi yang berkembang di dalam dirinya.

John C. Maxwell mengatakan, visi akan membuat semua pekerjaan kita terasa jadi lebih menyenangkan. Tak ada yang lebih membahagiakan selain perasaan berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan setelah bekerja keras. Puas sekali tentunya! Lebih-lebih lagi bila keberhasilan-keberhasilan kecil itu merupakan jalan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi. Tiap tugas yang kita lakukan akan terlihat seperti tiang-tiang yang akan menyangga "proyek" besar kita.

Bila kita menganggap bahwa hasil pekerjaan itu adalah perolehan yang kita dapatkan melalui visi kita, setiap pekerjaan akan memiliki nilai tinggi bagi kita. Bahkan hasil pekerjaan yang paling sederhana sekalipun akan bisa memberikan kepuasan, sebab dari sana sudah terlihat pekerjaan besar yang akan dicapai selanjutnya.

Ini seperti kisah seseorang yang sedang berbincang-bincang dengan dengan tiga tukang batu tatkala mereka sedang membangun sebuah gedung pencakar langit. Orang ini bertanya pada tukang batu pertama, "Apa yang sedang anda kerjakan?" tukang batu itu menjawab, "Saya sedang mencari nafkah."

Ketika ia menanyakan pertanyaan yang sama pada tukang batu kedua, jawabnya: "Saya sedang menyusun batu bata untuk membuat tembok." Namun saat ia bertanya pada tukang batu ketiga, ia menjawab dengan bersemangat, "Saya sedang membangun sebuah gedung paling hebat yang belum pernah ada sampai saat ini."

Ketiga tukang batu tadi sedang melakukan pekerjaan yang sama. Namun dalam hal ini hanya tukang batu ketiga yang didorong oleh suatu visi. Ia melihat suatu gambaran besar, yang pasti akan menambah nilai pekerjaannya. Pertanyaannya, sekali lagi, apakah anda SUDAH punya visi? Kalau belum, mengapa? Apa yang menghalangi anda untuk segera menyusun visi Anda?

Pengalaman masa lalu, menurut Jim Dornan & John C. Maxwell dalam bukunya “Strategi Menuju Sukses”, memiliki visi tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan. Anda tidak mesti terlahir sudah punya kemampuan melihat berbagai peluang dan mampu memvisualisasikan masa depan. Visi adalah suatu hal yang perlu dibentuk dan dipupuk, dan terus dikembangkan.

Namun tanpa sadar kita sering menghalangi, membatasi berkembangnya visi ini. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu kita. Tanpa sadar kita sering mengukur masa depan kita didasarkan pada riwayat kesuksesan atau kegagalan kita di masa lalu. Kita jadi “korban” keterbatasan yang kita ciptakan sendiri. Ketika yakin kita tidak akan berhasil, sesungguhnya kita membuat batasan pada visi kita dan memenjarakannya dalam “kotak penjara” ciptaan pikiran kita.

Ya memang mungkin saja ada faktanya di masa lalu kita pernah atau bahkan sering menghadapi berbagai kegagalan, bahkan berkali-kali, berulang-ulang. Tapi itu bukan berarti nasib masa depan kita seperti “sudah ditulis Tuhan” sebagai orang yang gagal. Masa depan tak ada hubungannya dengan masa lalu, ujar motivator ulung Skipp Ross dalam salah satu Dynamic Living Seminar-nya. Kita tak perlu membuat garis proyeksi dari masa lalu ke masa yang akan datang. Masa lalu itu adalah history, sudah jadi bagian sejarah kita.

Seperti apa masa depan kita sungguh hanya bergantung pada apa keputusan kita hari ini. Syaratnya ya kita harus “belok”. Mengapa nasib kita hari ini sama dengan kemaren? Mengapa hasil pekerjaan bulan ini kita nggak jauh beda dengan bulan kemaren? Mengapa keuangan kita masih nggak naik-naik?

Pasti kita belum “belok”! Apakah kebiasaan-kebiasaan kita masih sama dengan bulan kemaren? Apakah cara kerja kita masih sama, nggak berubah-berubah? Apakah item-item yang kita lakukan sama saja setiap hari? Kalau ya, berarti memang kita belum “belok”.

“Bila kita ingin hasil yang berbeda, lakukanlah dengan cara yang berbeda.” Bila kita dari bandung, sudah tahu bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah jalan menuju bogor, padahal kita mau ke purwakarta, ya jangan teruskan berada di jalan itu. Beloklah! Ganti arah. Masukilah jalan ke purwakarta. Kalau nggak belok, ya Anda tahu sendiri jawabannya, kemana kita akan sampai.

Bila kita tahu kebiasaan-kebiasan masa lalu kita membuat “kita hari ini” jadi begini, menjadi orang yang bahkan “kita pun membencinya” …. ya berubahlah! Ubahlah satu atau dua kebiasaan lama kita. Pasti “diri kita di masa nanti” tidak akan sama dengan “diri kita hari ini”.

Selain itu rintangan yang juga pada membatasi visi kita adalah “tekanan-tekanan” orang lain, komentar orang lain, “nasehat” orang lain atau pengalaman orang lain. Ada satu cerita seorang ayah bersama anaknya suatu hari membawa seekor keledai ke pasar membeli makanan. Sang ayah duduk dipanggung keledai dan anaknya berjalan kaki. Dalam perjalanan, orang-orang yang mereka lalui berkata, “Kasihan sekali anak itu. Ia harus berjalan kaki, sementara ayahnya yang bertubuh besar dan kuat enak saja mengendarai keledai.“

Maka sang ayah turun dari punggung keledai dan menyuruh anaknya yang menunggangi. Lalu mereka berjalan beberapa saat. Tiba-tiba ada lagi orang-orang lain komentar, “Benar-benar tidak punya rasa hormat pada orang tua. Ayahnya berjalan kaki sedangkan si anak enak saja mengendarai keledai.“ Mendengar itu, lalu mereka kedua-duanya duduk di punggung keledai tadi. Setelah berjalan beberapa saat ada lagi komentar orang-orang, “ Betapa kejamnya! Dua orang sekaligus mengendarai seekor keledai”.

Maka mereka berdua pun turun dari punggung keledai itu dan berjalan bersama. Lalu diperjalanan berikutnya, orang-orang pun komentar, “Alangkah bodohnya mereka! Mereka berdua berjalan kaki, sedang keledai mereka yang sehat dan tidak membawa barang apapun tidak dipergunakan.”

Akhirnya mereka tiba terlambat di pasar. Ketika sampai disana semua orang heran melihat seorang pria dan anaknya sedang menggotong seekor keledai! Sama halnya seperti kedua orang dan keledainya itu, kita pun bisa menjadi terlalu memperhatikan tekanan dan komentar orang lain sehingga kita lupa arah dan tujuan kita yang sebenarnya. Urusan yang sepele serta olok-olok yang tak berarti dapat memenuhi pikiran kita sehingga tak ada lagi tempat yang tersedia untuk visi dalam benak kita. Jangan biarkan hal ini terjadi pada diri kita .


Hal lain yang juga bisa membuat hidup dan visi kita terasa sempit ialah masalah-masalah yang datang bertubi-tubi pada kita. Entah itu masalah fisik kita yang cacat, keluarga kita yang berantakan, bisnis kita yang tak keruan, atau apapun juga. Berbagai masalah itu memang begitu kuat ‘menarik’cita-cita kita melorot turun ke bawah. Disinilah bedanya orang-orang sukses dengan orang-orang gagal sebenarnya.

“Mereka punya masalah yang sama, kesulitan yang sama, tekanan dan rintangan yang datang pun sama-sama stres menghadapinya. Namun inilah bedanya, mereka yang sukses mampu mengatasi dan mengalahkannya, sedang mereka yang gagal sebaliknya. Memang mereka tak mau dan akhirnya (terbukti dengan otomatis) tak berhasil mengatasinya."

Orang-orang sukses selalu fokus pada solusi. Ia pikirkan apa dan bagaimana jalan keluar dari masalah. Sedangkan orang-orang gagal selalu terfokus pada masalahnya. Ia pasti lebih sering berkeluh kesah pada masalahnya, menggerutu, memaki keadaan, menyalahkan situasi. Seperti pada masa sekarang ini, begitu banyak orang yang berkeluh kesah. Sedikit sekali orang yang lebih fokus pada solusi.

Mereka yang sukses siap menerima situasi yang paling jelek sekalipun, lalu ia berpikir keras dan berjuang bagaimana menemukan solusi. Ia akan terus mencari peluang. Karena itu beranikan diri untuk terus bercita-cita tinggi. Lindungi dan jaga impian jangan sampai terkubur oleh situasi. Tak perlu pedulikan datangnya rintangan berupa masalah, keadaan maupun kondisi yang tak diinginkan.

Sejarah membuktikan banyak orang besar yang bisa meraih sukses meski banyak masalah yang juga mereka hadapi. Contohnya adalah Demosthenes, seorang ahli pidato terbesar pada jamannya, yang ternyata penderita penyakit gagap. Saat pertama kali pidato di depan umum, ia ditertawakan. Namun ia memiliki visi untuk menjadi orator besar. Konon kabarnya ia sampai mau memasukkan beberapa butir kerikil ke dalam mulutnya dan berlatih pidato di tepi pantai sambil melawan kerasnya debur ombak.

Begitulah orang-orang sukses. Keadaan apapun tak mampu menahan visinya. Setiap orang memiliki masalah, beberapa diantaranya merupakan kekurangan yang terbawa sejak lahir, sedangkan yang lainnya adalah masalah-masalah yang kita ciptakan sendiri. Apapun masalah yang dihadapi, jangan biarkan visi anda ke masa depan jadi terhalangi. Miliki visi, dan jangan lupa menuliskannya. Gantungkan tulisan tentang visi anda itu di tempat-tempat yang sering terlihat mata anda. Ingatkan terus “otak” anda dengan visi itu. Insyallah hidup kita akan bergerak kesana.(Nilna Iqbal)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar