Rabu, 08 Januari 2014

Xenia

Xenia, di kilometer 11.000. Hatiku goyah di atas gelinding roda-roda melemah, diriku mencoba mencuri waktu, mengumpulkan cuilan-cuilannya sedikit demi sedikit seperti mengumpulkan repihan berlian yang tak ternilai harganya. Mungkin aku ingin membangun sebuah gunung dari repihan itu. Tempat bagimu menjadi sebuah altar agar kau bisa menari sedikit lebih tinggi dari bunga-bunga aneka warna bersama gaun merahmu. Dari atas serpihan itu, kelak aku mencoba melewati dan menantang sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih perkasa dari yang pernah terfikirkan sebelumnya.


Xenia,
Kini perasaanku runtuh ke dalam kekosongan. Rasa hampa yang gelap berlumuran gulita. Akulah seorang buta yang terperosok ke jurang gelap tak berujung, tak ada pegangan, jatuh melayang tiada henti. Tapi itu tak penting lagi bagi mata dan perasaan, karena ‘apalah bedanya dengan terperosok ke dalam jurang yang terang benderang meski mata butaku terbuka lebar-lebar’.

Hey…! Biarkan aku melayang mencari keutuhan jiwaku yang terbawa si binar bola mata ceria itu, karena di sana separoh nyawaku terbawa sayap-sayap putih miliknya. Dan bila aku dapat menikmatinya, mungkin itulah serpihan waktuku yang sangat berharga, yang tersisa sebagai pengisi mosaik yang kurang dari jiwaku. Barangkali tak sedikitpun sisa-sisa waktu yang tersedia itu mampu kuberikan padamu sebagai setangkai bunga indah lagi harum selain hanya sebagai sebuah catatan kecil tanpa aku ingin kau mengenalku karena dia.

Ah kau, nafas jiwaku jangan dulu sampirkan pengharapan semangatmu bersama lilin kecilku ini. Biarkan aku mendengarkan lagu-lagu kita ini beriring irama gelinding roda-roda seperti tanpa berujung, karena kutahu aku kelak adalah tumpukan gurun-gurun waktu yang sepi tak berpenghuni.

Xenia…,
Kubawa kau berlari kemanapun, seolah aku sedemikian takut kehilangan detik-detik berharga yang berceceran tak terkumpulkan itu.

Xenia,
Waktu itu kau biarkan angin kencang meniup rambutmu, berkibar mengarung jalanan panjang yang akan kita lalui dengan ke kosongan  hati. Lalu lagu-lagu kenangan mengalun mencoba membujukku untuk tidak mengingat kalimat doktermu yang menyayat : “Kami tidak tahu, mungkin 3 bulan, mungkin 6 bulan, mungkin…, mungkin… dan bla bla bla…”

Xenia,
Bulan redup redam, kenapa kau mesti marah saat selalu kucuri pandang wajahmu sambil nyetir lewat spion?  Harusnya kau paham, aku hanya mencoba menyembunyikan kesempurnaan rasa takutku tentang di mana kelak aku harus bisa sendirian mengurai waktu demi menemukan pemahaman tentang antara : “mengikhlaskan dan menyayangi” dengan “rasa kehilangan panjang”. Akan lebih panjang dari ribuan kali 11.000 kilometer Xenia yang telah kita lewati ini.(PiS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar