Dalam suatu sesi ‘brainstorming’ di sebuah kelas pelatihan, peserta segera mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya
untuk membahas cara-cara penanggulangan ‘chaos’. Selang beberapa lama,
seseorang bertanya: “Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan ‘chaos’?”. Segera
semua orang menengok ke arahnya. Ada yang melontarkan pandangan aneh, seolah
mempertanyakan “Kok, tidak mengerti istilah yang begitu populer?”. Ada juga
yang mencibir, seolah bertanya, “Dari tadi ke mana saja...”. Tapi, ternyata,
tidak seorang pun kemudian bisa dengan lancar mendefinisikan arti kata itu
dengan tepat dan memuaskan. Ternyata, dalam banyak situasi, orang sering sudah
menyambar dan berkomentar terhadap suatu isu atau masalah tanpa mencocokkan
asumsi, menyamakan persepsi mengenai istilah-istilah yang sedang dibicarakan.
Mendefinisikan kata, apalagi sebuah problem,
ternyata tidak mudah. Padahal, banyak ahli yang mengatakan
bahwa begitu kita bisa mendefinisikan sebuah problem dengan tepat, kita
sudah 50% menemukan solusinya.Tidak heran
bila Einstein mengatakan: “ if I had one hour to save the
world I would spend fifty-five minutes defining the problem and only five
minutes finding the solution”. Sayangnya,
dalam masyarakat kita dan kehidupan yang serba mau cepat ini, kita tidak banyak melihat
contoh-contoh pendefinisian problem dengan cermat. Banyak
masalah yang mengambang tanpa penyelesaian, karena tidak terfokusnya
permasalahan. Misalnya saja, mengapa
Situ Gintung jebol? Situ Gintung itu sebuah apa? Bagaimana dibuatnya? Bagaimana
pemeliharaannya? Apa ancamannya? Dalam pemberitaan, kita pun kadang sulit
mencerna, kunci permasalahan dari suatu situasi. Padahal, pemahaman terhadap
inti masalah ini sebenarnya perlu berkembang bukan saja dibenak para ahli, tapi
juga di benak masyarakat yang sudah bersekolah, sehingga intelektualitasnya
bisa membawanya ke arah solusi lingkungan juga. Dengan tidak jelasnya
permasalahan, masyarakat yang sadar pun bisa hanya diam saja, ketika
menyaksikan pembahasan masalah besar yang pemecahannya melenceng jauh
dari persoalan semula sehingga membawa keluaran yang keluar jalur. Bukankah hal
ini sangat membahayakan?
Buat Akar Masalah Kelihatan
Mendefinisikan problem sering tidak
dipandang penting atau bahkan tidak diagendakan dengan sengaja oleh banyak orang.
Contohnya, bila kita sedang menghadapi gejala penjualan turun, kita sering
langsung menanggapi dengan solusi yang itu-itu saja, misalnya
menurunkan harga, melakukan promosi atau cara lain yang memang sudah umum
dilakukan orang. Tidak lazim bagi kita untuk mundur selangkah, mendefinisikan masalah
berdasarkan fakta yang lebih luas dan memahami duduk perkaranya. Apakah
penjualan menurun ini berkaitan dengan pasar yang lesu? Ketidakcocokan produk
dengan tuntutan pasar lagi? Salesman yang tidak bergairah? Atau, unsur lain lagi? Tentu saja akar masalah yang berbeda, pemecahannya akan berbeda ekstrim satu sama
lain.
Kita perlu sadari bahwa kebiasaan kita ‘jump into solutions’ begitu banyak mempengaruhi
mutu solusi. Ada perusahaan yang membuat aturan main di rapat-rapat brainstormingnya,
untuk menyalakan lampu ketika solusi belum dipilih. Pada saat lampu menyala,
setiap peserta rapat tidak diperkenankan memilih solusi. Baru setelah lampu dipadamkan, kelompok mulai
memilah-milah solusi dan kemudian berfokus pada penyelesaian masalahnya. Presdir
perusahaan tersebut
mengatakan:”The Problem Is To Know What the Problem Is”. Jadi tidak heran juga, mengapa Gus Dur menjadi
terkenal dengan ungkapannya:” Kalau bisa mudah, kenapa dibuat susah?”
Pernyataan ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa kita bisa menghemat banyak
energi bila kita menemukan inti suatu permasalahan.
Bertanya itu Sakti
Tidak heran di pendidikan dasar
modern saat sekarang, kegiatan bertanya, dipisah sebagai subyek penting, bahkan
diberi angka tersendiri. Tanya jawab yang terfokus memang sering membuat orang
lebih pintar. Pertanyaannya, mengapa tidak banyak orang yang mau bertanya,
tidak mencari waktu dan mengklarifikasikan suatu pernyataaan, perkataan ataupun
penawaran. Padahal sudah ada
peribahasa :”Malu bertanya sesat di jalan”.
Berkembangnya ilmu
pengetahuan, adanya Wikipedia yang menjadi ensiklopedi milik bersama,
situs-situs pengetahuan dan profesi yang demikian banyak, belum menjamin
individu menguasai suatu masalah yang terjadi sesaat. Dengan mudahnya mengakses pengetahuan, kita tetap tidak
bisa langsung bersikap sok tahu, sok pinter dan langsung saja menyambar tanpa
tahu esensi masalahnya. Kita tetap perlu
mengorek dan menggali karena pendalaman masalah sangat
berguna untuk menjawab masalah. Di sinilah bertanya
efektif bisa menjadi alat sakti untuk membawa kita pada pemahaman masalah yang
lebih tajam. Kita perlu bertanya: Apa sebenarnya yang sangat dipentingkan
pelanggan? Apa kebiasaan pengguna jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas?
Apa yang diperlukan setiap penduduk agar supaya gizi cukup? Bagaimana hidup
dari perikanan Indonesia? Bagaimana cara Negara bisa berswasembada pangan
kembali? Sayangnya memang, kegiatan seperti studi banding pejabat pemerintah
untuk belajar dari pengalaman orang lain tidak dilengkapi dengan kegiatan
‘enquiries’ yang tajam, sehingga belum benar-benar menghasilkan lompatan dalam
solusi bagi Negara kita.
Kata kunci yang tepat
Reaksi bengong & apatis dari
karyawan muncul saat tim manajemen Toyota meminta karyawan melakukan
brainstorming tentang bagaimana meningkatkan produktivitas. Begitu pernyataan
brainstorming diputar menjadi:”Bagaimana membuat pekerjaan kita lebih mudah?”,
segera saja respons bengong berubah menjadi antusiasme karyawan dalam memberikan
usulan dan opini. Kita lihat, perbedaan kata ‘produktivitas’ dan ‘kemudahan’ bisa membawa dampak besar
bagi pencarian solusinya. Ternyata, solusi untuk meningkatkan
produktivitas bisa dilaksanakan bila karyawan juga memikirkan bagaimana ia
memudahkan pekerjaannya. Lagi-lagi pemilihan kata yang tepat akan berpengaruh pada
solusi yang sedang kita cari. Berarti, selain cermat bertanya, kita pun perlu
pandai memilih kata-kata, bila ingin menemukan esensi masalah.(Expert :
ES&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar