Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari
ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim.
Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi.
Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk
melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi.
Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja
di bawah mereka menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak
mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain.
Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing
departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?
Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur
ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya
ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi
lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi
dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap
tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah
berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu
sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya,
mengapa kerja tim bisa melempem?
Menciptakan ‘Chemistry’
Seorang teman saya mempertanyakan, apakah tidak eratnya kerja tim
disebabkan tidak adanya ‘chemistry’ diantara anggotanya? Pertanyaannya kemudian disusul dengan pertanyaan standar: “Apakah kita perlu pelatihan “outbound’ lagi?” Meskipun kita bisa merasakan keakraban dan pemahaman yang lebih baik
mengenai anggota tim melalui program outbound yang singkat, namun pertanyaan
yang menggelitik adalah apakah kita tidak meyakini bahwa kita bisa menciptakan
koneksi dengan orang lain dan meracik ‘chemistry’ dalam keseharian kita di tempat kerja? Pepatah lama
mengatakan: “There are no
misunderstandings; there are only failures to communicate”. Dari sini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tidak bisa mempermasalahkan
buruknya ‘chemistry’ di antara sekelompok orang jika kita belum secara
sungguh-sungguh berupaya membuat koneksi yang berkualitas.
Teman saya berkelakar, “masak kalah sama semut. Semut saja bila bertemu dengan sesamanya meluangkan waktu sejenak untuk
bertegur sapa”. Bagaimana dengan kita? Bukankah kita banyak membuang kesempatan
untuk membangun koneksi, apakah itu saat bertemu di dalam lift, berpapasan di
jalan, bertegur sapa di pagi hari, bahkan saat harus berdiskusi mendalam
untuk memecahkan masalah, membahas “daerah abu-abu” ataupun mengkomunikasikan
komitmen yang perlu diangkat. Jangankan orang yang baru dalam tim, kita bahkan
seringkali absen membangun koneksi dengan orang yang sudah hidup dan bekerja
sama selama bertahun tahun.
Seorang peserta pelatihan berkali-kali menekankan pentingnya respek dalam
membangun koneksi. Saya juga setuju bahwa apresiasi bisa kita tunjukkan tanpa
pujian yang melambung, tetapi lebih pada upaya untuk memahami lawan bicara dan
berusaha menggali ‘point’-nya. Banyak orang merasa kikuk untuk membina hubungan
akrab di tempat kerja, bahkan menganggap hal itu hanya diperlukan dalam
hubungan informal dan hubungan kekeluargaan di luar bisnis. Upaya
pendekatan ke orang lain, terkadang dinilai hanya dibutuhkan oleh para salesman
dan humas. Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah kegiatan yang mengarah
pada hal-hal yang feminin. Padahal, banyak sekali potensi dan kesempatan yang
bisa kita raih demi kebersamaan tujuan, asal kita mau sedikit berusaha untuk
membangun koneksi satu sama lain. Bukankah kita sama sama menyaksikan, bahwa hal
yang paling ditekankan oleh menteri keuangan RI yang baru adalah semangat tim
Departemen Keuangan, sebelum masuk ke substansi bisnisnya?
KEJELASAN
Kita pasti bisa merasakan bila spirit individu dalam tim mengendur. Banyak
orang yang tidak mengerti mengapa personil yang pandai-pandai dan berdedikasi,
bisa tiba-tiba kehilangan semangat berbagi informasi, tidak disiplin, malas
ber-brainstorming dan seolah tidak henti memikirkan kepentingan diri sendiri.
Seorang karyawan yang berada dalam situasi itu berkomentar,”Kalau dalam tim,
satu orang dengan yang lain tidak jelas tentang standar kualitas dan
tindakan yang harus dilakukan, serta kabur akan sasaran kelompok, bagaimana
kita akan menyerahkan pikiran dan hati sepenuhnya pada tim?”
Tidak jelasnya prinsip dan arah perusahaan atau lembaga, memang sering
menyebabkan spirit kelompok menjadi kendur. Apalagi bila atasan pun
mencla-mencle, tidak mengedepankan koordinasi, bahkan sedikit-sedikit mengadu
domba. Orang hanya bisa menjadi ‘selfless’, bila tujuan organisasi sangat
‘clear’. Itu sebabnya, kita melihat turunnya semangat kerja tim pada perusahaan
yang sedang terguncang dan tidak memperjelas keadaan pada masa-masa
krisisnya. Sebaliknya, organisasi yang bertujuan jelas, bisa dengan mudah
meningkatkan kerja tim dan bahkan menciptakan kompetisi seru antar
kelompok-kelompok, baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan substansi
bisnisnya maupun di luar itu.
Bila individu satu sama lain sudah terkoneksi melalui rasa percaya dan
jelas terhadap tujuan kelompok dan organisasi, tentu tidak butuh energi besar
untuk mendorong tim mencapai kinerja terbaik. Bahkan, kita pun tidak usah
terlalu khawatir untuk mem-“bolak-balik” atau meng-“gunting copot” individu
dalam tim, karena secara otomatis tim punya kekuatan untuk dengan cepat me-“reorganize”
dirinya kembali.(Expert :ES&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar