Terkadang kita dibuat bingung, mendengar
komentar-komentar para pejabat, wakil rakyat atau para public figure di
media. Apa yang disampaikan kemarin, bisa beda dengan yang diungkapkan hari
ini. Saat pernyataan dikonfirmasi atau dikonfrontasi lebih lanjut pada
kesempatan lain, ada individu yang berkelit, kemudian merasa tidak pernah
mengatakan hal dimaksud. Tak jarang, kita pun bengong dengan “adegan” perang
mulut, saling bantah atau bahkan juga ungkapan “no comment” dari pejabat
berkepentingan yang penjelasannya ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Ketika seorang pejabat baru-baru ini menyatakan kecewa
bahwa para wakil rakyat tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan secara
serius, kita pun bertanya-tanya, bisakah seorang yang memangku jabatan penting
sekedar “asal ngomong” saja? Bukankah sangat berbahaya jika kita punya pikiran
bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan “besar” di negeri ini
tidak bisa dipegang kata-katanya? Bagaimana dengan kita sendiri, yang
situasinya jauh lebih “mikro” daripada lingkup tanggung jawab para pejabat
negara?
Di dalam keluarga, di tempat kerja, seberapa sering kita menemui gejala ‘asal bunyi’ seperti itu? Pernahkah kita bicara, mengeluarkan usulan, kemudian keluar dari ruang rapat tidak kita follow up lagi, bahkan bersikap seolah-olah pembicaraan tidak pernah terjadi? Tak jarang pula, saat suatu rencana ketahuan macet atau gagal, kita mendengar individu mengeluarkan berbagai alasan “cerdas” untuk menghindar dari konsekuensi atau tanggung jawab. Dengan sikap seperti ini, bukankah kita malahan menodai integritas kita dan tidak menghormati diri kita sendiri? Padahal, sebetulnya kita punya peluang untuk membentuk karakter pribadi dan menganalisa “lesson learnt” dari setiap perkataan yang kita sampaikan dan tindakan yang kita lakukan.
Integritas = Ujian Konsistensi
Banyak
orang yang menyamakan integritas dengan kejujuran, padahal integritas adalah
sesuatu yang mendasar dan luas. Dalam berbagai rapat kita sering mendengarkan
para peserta rapat menyuarakan kata “setuju” dan komit untuk melakukan ‘action’
tertentu. Begitu dicek ulang mengenai apa yang akan dikerjakan, ia mengatakan
belum tahu caranya, bahkan tidak terlalu paham apa yang dimaksud dalam rapat.
Bukankah ini juga termasuk contoh tidak adanya integritas? Orang sering tidak
merasa bersalah bila ia tidak paham tentang suatu hal dan tidak mengakuinya,
bahkan membiarkan ketidakpahaman terebut menjadi dasar tindakannya. Hal seperti
ini sering tidak terdeteksi di banyak perusahaan padahal inilah pangkal tolak
dari tidak optimalnya kinerja individu, tim, bahkan organisasi.
Pengecekan
ucapan kita versus tindakan adalah pengukuran integritas yang paling mudah dan
paling tepat. Integritas langsung bisa dilihat melalui kecocokan apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan. Bila tidak mau dicap sebagai orang yang tidak
punya integritas, kita tentu harus betul-betul menimbang kata-kata “ya” yang
keluar dari mulut kita. Kita bisa menghormati diri kita sendiri dengan
betul-betul bersikap konsisten terhadap apa yang kita sepakati. Bila tidak bisa
melaksanakan atau molor dari waktu, bukankah lebih baik kita merevisi kata-kata
kita dan memikirkan kerugian apa yang sudah diakibatkan oleh ucapan kita itu. Seorang filsuf mengatakan :”Think for a moment about the Law of
Gravity: there is no such thing as ‘good’ or ‘bad’ gravity; like integrity, it
just ‘is’”.
Jangan Permainkan Integritas
Integritas
tentu saja bukan sekedar “atribut” tempelan pada kepribadian pegawai.
Integritas bukan sesuatu yang ‘nice to have’, melainkan keseluruhan
dan keutuhan kepribadian individu. Saat lembaga atau seorang pejabat
mengeluarkan sebuah komitmen atau pernyataan, misalnya saja tidak akan ada
pemadaman listrik terjadi di pulau Jawa, tentu saja kita meyakini bahwa hal ini
sudah melalui sebuah pengkajian dan pengujian yang matang, di mana para ahli
ini sudah tahu duduk perkaranya, bagaimana menyelesaikan dan bagaimana menjamin
bahwa komitmen ini tidak “as-bun” dan bisa dilaksanakan. Saat seorang
menyatakan komitmen di depan publik, ia tentu sadar bahwa dirinya mewakili
kepentingan orang banyak. Begitu sebuah komitmen diucapkan, kita harus sadar
bahwa jaminannya adalah keutuhan pribadi, di mana kita tidak bisa mengelak
sedikit pun dari komitmen yang telah kita sampaikan. Integritas tidak bisa
dilaksanakan setengah-setengah.
Saat
krisis tahun 1997, kita tahu banyak sekali perusahaan tidak bisa memenuhi
komitmennya untuk mensuplai barang, membayar atau melakukan langkah yang sudah
disepakati dalam kontrak. Kita jadi berpikir apakah komitmen dan integritas
bisa berkompromi pada saat kita terancam kerugian? Saya teringat seorang teman
yang menceritakan pengalamannya dengan sebuah maskapai penerbangan. Ia dan
keluarganya di upgrade ke kelas bisnis karena kesalahan pihak airline
yang melakukan overbook’ penumpang pesawat. “Keeping your word”
benar-benar menjadi ‘policy’ bisnis karena kesadaran bahwa sekali komitmen
dilanggar, reputasi, kepercayaan dan integritas bisa saja selama-lamanya tidak
kembali. Kesalahan tentu saja akan menimbulkan kerugian, namun di sekolah
bisnis mana pun, sudah pasti tidak ada pelajaran untuk mengingkari janji
sebagai kebijakan menghindari kerugian. Banyaknya perusahaan yang berlomba
menjual kredit tanpa agunan dengan bunga mencekik leher tanpa perhitungan yang
matang mengenai pengembaliannya tentu perlu berpikir ulang untuk tidak
bermain-main dengan integritas.
Menghormati Janji Pribadi
Di salah
satu akun facebook, seseorang menuliskan status “Bagaimana mengajarkan
kejujuran pada anak di situasi yang tidak menentu begini?” Sebenarnya kita
bisa kembali ke ‘basic’ saja, dengan mengajari anak untuk
menghormati apa yang ia katakan. Bila ia berjanji, maka janji tersebut
betul-betul harus dikatakan secara jelas, sehingga didengar dan dihayatinya
sendiri. Kita pun bisa memperkenalkan kepada anak-anak dan bawahan kita betapa
jauh lebih ksatria dan terhormat untuk mengakui kegagalan dalam memenuhi janji
atau target daripada bersikap defensif, berkelit atau “cuci tangan”. Kita
bahkan bisa ‘surprised’ bila menyadari betapa rasa percaya orang lain
bisa tumbuh lebih pesat bila kita mengakui kesalahan atau kealpaan kita secara
‘gentleman’. Merespek kata-kata sendiri betul betul merupakan praktik
yang diperlukan setiap individu untuk membentuk kepribadian diri yang kian
‘utuh’ dari hari ke hari. Seperti dikatakan orangtua
orangtua kita: “Watch your thoughts, for they become words. Watch your
words, for they become actions.Watch your actions, for they become habits.
Watch your habits, for they become character.Watch your character, for it
becomes your destiny.” (Expert : ER&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar