Lima belas atau sepuluh
tahun lalu, begitu lazim senioritas dipakai sebagai dasar untuk menduduki
jabatan strategis, naik pangkat dan naik gajinya seseorang. Namun sekarang,
bila ada organisasi yang menaikkan jabatan seseorang semata karena lamanya masa
kerja, tentu saja bisa kita katakan ketinggalan jaman, bahkan membahayakan bagi
organisasi. Konsep ‘Performance & Competency Based’, kita tahu,
memang sangat masuk akal. Namun, merubah kebiasaan lama tentu saja
menjadi tantangan tersendiri. Di sebuah lembaga tinggi negara, program
implementasi ‘performance based culture’ ini membuat mayoritas karyawan
resah dan merasa terancam. Bagaimana tidak, karyawan sudah terbiasa naik
pangkat secara otomatis. Alhasil, upaya untuk mendorong karir pun lebih
banyak diarahkan pada hubungan baik dengan atasan, berpolitik ataupun
meraih gelar pendidikan lebih tinggi.
Banyak yang berasumsi
bahwa situasi ini hanya terjadi di lembaga milik pemerintah. Bagaimana dengan
perusahaan swasta? Kita bisa lihat bersama bahwa banyak sekali perusahaan
swasta yang diam-diam dengan cepat sudah memasuki fase ‘mapan’, mencetak laba
yang lumayan dan bisa menikmati kemajuan perusahaan tanpa harus susah payah
memeras keringat lagi. Terlepas dari usia karir ataupun usia seseorang, seorang
profesional bisa mudah terlena dan mulai tidak memacu dirinya untuk berkembang
lagi. Bagaimana kalau hal ini terjadi pada kebanyakan orang? Tentu saja kita
akan menyaksikan kultur perusahaan yang berkembang tidak sehat, tidak
produktif, suasana kerja pun biasanya tidak nyaman lagi.
Di tingkat organisasi,
hal yang paling nyata terlihat adalah lemahnya pengembangan produk dan sistem
baru sebagai hasil inovasi. Sementara, di tingkat individu, biasanyanya
orang-orang sibuk berpolitik, asyik mencari sasaran gosip, suka ‘cuci tangan’
dan merasa aman untuk tidak terlibat. Di
sebuah perusahaan terdengar keluhan :”Jenjang karir di perusahaan ini tak
jelas. Orang tidak tahu kapan dia naik pangkat”. Padahal di perusahaan tersebut
sangat terlihat kesulitan orang untuk mengambil tantangan yang lebih berat,
pekerjaan yang lebih menantang, apalagi mau berkorban untuk perusahaan.
Akankah kita membiarkan wabah ini
tumbuh subur dan menggerogoti ‘habitat’ kita?
Buat Apa Saling
Menyalahkan?
Kita bisa saksikan bahwa
orientasi paternalistik akan tumbuh subur bila dalam organisasi individunya
sudah malas bekerja keras, tidak lagi menunjukkan ‘sense of belonging’
maupun akuntabilitas yang nyata. Apa maksudnya? Individu akan menatap ke atas,
menunggu perintah dan membebankan tanggung jawab sebesar-besarnya pada atasan
dan manajemen. Segala macam kebijakan atau perubahan yang perlu dijalankan
biasanya akan berjalan dengan alot. Pertanyaannya, apakah kita sebagai bawahan
memang menginginkan tanggung jawab yang sedikit? Apakah kita memang merasa aman dan nyaman, walaupun tidak
dilibatkan? Apakah dalam karir kita memang kita tidak memilih bersusah susah
untuk belajar?
Kita bisa sama-sama
menyaksikan bahwa organisasi yang berisi individu
seperti diatas tidak mungkin awet
muda karena tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan, semangat dan spirit timnya.
Paling-paling kreativitas dan
kecermatan pemimpinnya yang bisa membuat organisasi ini survive.
Sebaliknya, tanpa pemimpin yang baik, organisasi akan melempem. Hal yang biasanya tidak terhindarkan adalah main tunggu-tungguan dan saling menyalahkan antara manajemen
puncak dan bawahan untuk membenahi organisasi. Fenomena salah-menyalahkan dan mencari kambing hitam
ini bisa kita lihat terjadi di mana-mana, karena inilah yang paling mudah
dilakukan. Karyawan di tingkat bawah paling mudah mencela pimpinan puncak,
tentang kebiasaannya yang suka marah, keputusan yang berubah-ubah atau
kesibukan pimpinan mengurusi hal-hal sepele alias “micro-management”. Sementara,
pimpinan frustasi dengan anak buah, karena bawahan tidak bersedia berkinerja
“all out”. Tempat kerja menjadi habitat yang tidak
nyaman lagi.
Individu yang punya
semangat maju, biasanya menyadari bahwa dalam diri kita masing-masing ada power
untuk menyelesaikan masalah. Tidak harus menunggu atasan, kita pun punya
kontribusi untuk membuat situasi organisasi jadi lebih kondusif. Sikap yang
sangat penting juga untuk disuburkan dalam diri dan lingkungan kerja adalah
menyimak, bertanya dan mendengar. Bagaimana kita akan sampai pada pemecahan masalah
bila belum-belum kita sudah memberi penilaian, mengambil kesimpulan, bahkan
langsung memberi nasehat, padahal akar masalahnya dan pokok persoalannya belum
tersentuh?
Konsisten Berkomunikasi
Positif
Seorang teman saya
mengaku ‘shock’ saat masuk ke sebuah perusahaan baru. Ia mengeluhkan betapa
semua orang seolah siap menerkam dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang
kritis dan tajam. Ketakutan tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan,
membuatnya sibuk mendalami tugas yang dihadapinya dan selalu memasang antena
untuk menganalisa apa yang sedang dilakukan. Beberapa bulan kemudian, saya
bertemu dengannya dalam kondisi yang begitu berbeda. Ia terlihat bersemangat
dan tampak begitu siap untuk merangkul tanggung jawab yang lebih besar. Para
profesional yang bermental sehat, pastilah mendambakan lingkungan seperti ini.
Lingkungan yang memberi tantangan, fair, memberi kesempatan dan peluang
untuk mengembangkan potensi.
Bisa jadi kita
seringkali tidak sadar bahwa menyuburkan budaya dan habitat yang ‘sehat’ hanya
bisa terjadi dari komunikasi yang positif dari ruang-ruang rapat sampai kantin
perusahaan. Pendekatan yang
tampaknya sederhana ini, ternyata tidak banyak dimiliki orang secara
konsisten. Teman-teman saya, sesama manajer, bisa dengan akrab makan bersama di kantin dengan anak buah dan rekan, bercanda, saling olok, namun tetap tidak
bisa mempersuasi mereka untuk menyetujui perubahan yang ia ingin lakukan. Jadi, hubungan
yang ‘friendly’ belum tentu kondusif.
Sebenarnya tidak selalu
harus memikirkan program “breakthrough” yang canggih dan mahal untuk
mengembangkan iklim kerja kondusif. Dengan menghilangkan sikap negativistik
sebetulnya kita bisa sekali membawa aura positif dalam tim dan organisasi kita.
Tentu saja kita perlu belajar berekspresi positif dalam setiap kesempatan,
sehingga fakta yang tidak menyenangkan dan kabar buruk bisa kita kelola menjadi
tantangan untuk membakar spirit individu dan tim. Orang yang konsisten
menyampaikan “magic words” dalam berkomunikasi, berkata: “Kita pasti bisa”, “Kita
cari cara lain”, “kita coba...”, akan senantiasa diterima dalam lingkungan
paling sulit sekali pun. (Expert : ES&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar