Banyak orang mengklaim pekerjaan sebagai
sumber utama stres. Atasan yang tidak mau kompromi, pekerjaan yang menumpuk,
klien yang menuntut, persaingan bisnis yang sadis adalah beberapa gambaran
klise suasana dunia kerja. Terasa semakin sulit menemukan ‘comfort’ di
tempat kerja. Mendapatkan suasana tim kerja yang mesra jadi begitu langka.
Salah satu direktur di perusahaan klien, bahkan tidak tahu lagi bagaimana
caranya menghidupkan suasana rapat yang melempem.
Rapat diwarnai sajian data rutin saja, tidak
ada antusiasme seolah tidak ada persaingan dan tidak ada tantangan lagi yang
bisa dibicarakan. Lucunya, dalam situasi informal, seperti makan siang di
kantin, sikap dan aura langsung berubah menjadi mesra. Setiap orang terasa meng-enjoy
temannya dengan baik. Kita tentu bertanya-tanya, inikah yang dinamakan motivasi
kelompok alias “morale” dalam organisasi? Melihat kenyataan bahwa ‘kerja’
membuat suasana tidak hangat, bukankah kita juga langsung khawatir bahwa
tenaga-tenaga muda yang bersemangat akan merasa ‘tidak nyaman’ dalam suasana
yang tidak bermotivasi begini? Sudah pasti situasi ini tidak akan menguntungkan
bagi individu, tim dan organisasi.
Investasikan Emosi
Teman saya berkomentar tentang motivasi
kelompok:”Wah sulit juga ya. Menjaga motivasi satu orang saja sulit
apalagi satu kelompok”. Benarkah itu? Apakah dalam sebuah pasukan yang sedang
berperang, ada persyaratan agar semua orang ‘happy’ dulu baru kelompok bisa
maju? Ternyata tidak seperti itu situasinya. Seorang ahli manajemen mengatakan
: “good “morale” does not require people to be happy”. Syarat utama
tumbuhnya “morale” kelompok adalah bahwa anggota kelompok mengkontribusikan
emosinya ke dalam kelompok. Kontribusi emosi individu dalam kelompok ini jauh
lebih penting daripada menghitung kinerja masing-masing individu di
kelompoknya, karena justru emosi kelompok inilah yang melipatgandakan kinerja
tanpa perlu ada pemaksaan. Seorang atasan pernah berpesan pada orang yang baru
direkrut:”Kontribusi Anda di sini bukan saja kepada hal hal yang sudah
tercantum dalam Key Performance Indicator saja, tetapi juga
pada emosi Anda. Ini akan menghasilkan fokus dan dedikasi
yang lebih baik”.
Mudahkah itu? Bukankah lebih mudah
menyebarkan virus “Thanks God it’s Friday” atau “ Hore, libur tlah
tiba”. Bukankah lebih cepat mengumpat pelanggan yang memperlakukan
kita tidak manusiawi atau bahkan menyindir manajemen yang tidak bijaksana
dan berat sebelah? Namun, apakah malah tidak menjadikan pekerjaan kita semakin
melelahkan bila kita berfokus pada perasaan negatif dan menuntut kelompok atau
perusahaan membuat kita happy? Bagaimana pun, kita perlu sama-sama
berpikir dan mengatur strategi untuk membuat kerja kita lebih hemat energi dan
lebih enjoyable. Mengkontribusikan emosi secara total dalam bekerja,
memberi peluang kita melipatgandakan energi, sehingga kita tidak enggan untuk
melibatkan pikiran dan memeras otak saat bekerja.
Mengelola Harapan
Teman saya yang berhasil menjaga “morale”
kelompok di perusahaannya yang berskala menengah mengatakan: Kita betul-betul
perlu meyakinkan bahwa apa yang kita harapkan terbaca oleh seluruh karyawan,
sampai pada penjaga pintu di garda depan. Harapan ini bukanlah sekedar harapan
akan melipatgandakan keuntungan atau mencapai target penjualan. Namun, harapan
positif bahwa pekerjaan akan membuat hidup mereka lebih baik. Ternyata, semakin
karyawan dituntut bahkan didera oleh harapan yang positif, mereka
justru bersemangat untuk mengikutinya. Ambil contoh karyawan yang sedang
mengikuti program training yang intensif. Selain tetap berkontribusi
dalam bekerja, ia pun tidak keberatan untuk begadang membuat pe-er atau
tugas-tugas tambahan sebagai bagian dari program training. Ini membuktikan
bahwa semakin didera seseorang bisa semakin bermotivasi.
Kita juga sering lupa bahwa komunikasi yang
intensif antara atasan-bawahan merupakan sumber spirit yang manjur. Bila atasan
jarang menegur, bawahan malah bisa semakin tidak peduli terhadap pekerjaannya.
Sebaliknya, bila seseorang di tegur habis-habisan karena sikap ‘tidak peduli’,
dengan fokus pada kepentingan diri pribadinya, ia tentu tidak bisa mengelak
atau berdalih macam-macam. Dalam situasi sulit ataupun mudah, kita perlu
biasakan untuk menegur. Bukan hanya bila ia tidak menyelesaikan tugas, namun
termasuk menegur individu yang tidak memperingatkan temannya ataupun individu
tidak tahu bahwa temannya sedang kesusahan.
Komunikasi yang tampaknya biasa dan ‘taken
for granted” ini sangat penting untuk kita fokuskan bila ingin semangat
kelompok terpelihara. Bukankah kita sering menyaksikan atasan yang tidak
sanggup mengkonseling anak buah yang mendapat angka angka merah dalam rapor
kinerjanya. Padahal tugas atasan adalah mengembangkan anak buahnya. Komunikasi
dalam manajemen adalah suatu hal yang kritikal. Tidak mungkin kita mengelak
untuk menyampaikan berita yang kurang enak dengan mengatakan:”bapak sajalah
yang menyampaikan. Kalau saya pasti tidak dipercaya” . Ini adalah suatu gejala
buruknya atmosfir perusahaan. Bagaimana mungkin mencapai tingkatan “morale”
“everybody wins” kalau kita tidak bisa mengubah kelemahan menjadi kekuatan
seseorang?
Dalam artikelnya “Building “morale” is
Good Management”, Arthur F. Hull Jr. mengatakan bahwa ‘reward’ pun
perlu dipertimbangkan dalam pembentukan motivasi. Tidak ada salahnya atasan
atau manajemen memikirkan keuntungan bagi karyawan dari setiap kebijakan yang
diambil. Apakah itu penggantian seragam, tukar atasan, diskon karyawan dan
berbagai kebijakan yang bisa merangsang perbaikan suasana. Bicara mengenai
stress dipekerjaan, justru stres itu juga perlu diciptakan agar supaya ‘excitement’
terasa seperti halnya kita baru masuk kuliah atau kerja. Menegangkan, tetapi
mengasyikkan.(Expert : ER&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar