Senin, 24 Agustus 2015

K e r j a

Banyak orang mengklaim pekerjaan sebagai sumber utama stres. Atasan yang tidak mau kompromi, pekerjaan yang menumpuk, klien yang menuntut, persaingan bisnis yang sadis adalah beberapa gambaran klise suasana dunia kerja. Terasa semakin sulit menemukan ‘comfort’ di tempat kerja. Mendapatkan suasana tim kerja yang mesra jadi begitu langka. Salah satu direktur di perusahaan klien, bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menghidupkan suasana rapat yang melempem.



Rapat diwarnai sajian data rutin saja, tidak ada antusiasme seolah tidak ada persaingan dan tidak ada tantangan lagi yang bisa dibicarakan. Lucunya, dalam situasi informal, seperti makan siang di kantin, sikap dan aura langsung berubah menjadi mesra. Setiap orang terasa meng-enjoy temannya dengan baik. Kita tentu bertanya-tanya, inikah yang dinamakan motivasi kelompok alias “morale” dalam organisasi? Melihat kenyataan bahwa ‘kerja’ membuat suasana tidak hangat, bukankah kita juga langsung khawatir  bahwa tenaga-tenaga muda yang bersemangat akan merasa ‘tidak nyaman’ dalam suasana yang tidak bermotivasi begini? Sudah pasti situasi ini tidak akan menguntungkan bagi individu, tim dan organisasi.

Investasikan Emosi
Teman saya berkomentar tentang motivasi kelompok:”Wah sulit juga ya.  Menjaga motivasi satu orang saja sulit apalagi satu kelompok”. Benarkah itu? Apakah dalam sebuah pasukan yang sedang berperang, ada persyaratan agar semua orang ‘happy’ dulu baru kelompok bisa maju? Ternyata tidak seperti itu situasinya. Seorang ahli manajemen mengatakan : “good “morale” does not require people to be happy”. Syarat utama tumbuhnya “morale” kelompok adalah bahwa anggota kelompok mengkontribusikan emosinya ke dalam kelompok. Kontribusi emosi individu dalam kelompok ini jauh lebih penting daripada menghitung kinerja masing-masing individu di kelompoknya, karena justru emosi kelompok inilah yang melipatgandakan kinerja tanpa perlu ada pemaksaan. Seorang atasan pernah berpesan pada orang yang baru direkrut:”Kontribusi Anda di sini bukan saja kepada hal hal yang sudah tercantum dalam Key Performance Indicator saja, tetapi juga  pada  emosi  Anda. Ini akan menghasilkan fokus dan dedikasi yang  lebih baik”.

Mudahkah itu? Bukankah lebih mudah menyebarkan virus “Thanks God it’s Friday” atau “ Hore, libur tlah tiba”. Bukankah lebih cepat mengumpat pelanggan yang memperlakukan kita  tidak manusiawi atau bahkan menyindir manajemen yang tidak bijaksana dan berat sebelah? Namun, apakah malah tidak menjadikan pekerjaan kita semakin melelahkan bila kita berfokus pada perasaan negatif dan menuntut kelompok atau perusahaan membuat kita happy? Bagaimana pun, kita perlu sama-sama berpikir dan mengatur strategi untuk membuat kerja kita lebih hemat energi dan lebih enjoyable. Mengkontribusikan emosi secara total dalam bekerja, memberi peluang kita melipatgandakan energi, sehingga kita tidak enggan untuk melibatkan pikiran dan memeras otak saat bekerja.

Mengelola Harapan
Teman saya yang berhasil menjaga “morale” kelompok di perusahaannya yang berskala menengah mengatakan: Kita betul-betul perlu meyakinkan bahwa apa yang kita harapkan terbaca oleh seluruh karyawan, sampai pada penjaga pintu di garda depan. Harapan ini bukanlah sekedar harapan akan melipatgandakan keuntungan atau mencapai target penjualan. Namun, harapan positif bahwa pekerjaan akan membuat hidup mereka lebih baik. Ternyata, semakin karyawan dituntut  bahkan didera  oleh harapan yang positif, mereka justru bersemangat untuk mengikutinya. Ambil contoh karyawan yang sedang mengikuti program training yang intensif. Selain tetap berkontribusi  dalam bekerja, ia pun tidak keberatan untuk begadang membuat pe-er atau tugas-tugas tambahan sebagai bagian dari program training. Ini membuktikan bahwa semakin didera seseorang bisa semakin bermotivasi.

Kita juga sering lupa bahwa komunikasi yang intensif antara atasan-bawahan merupakan sumber spirit yang manjur. Bila atasan jarang menegur, bawahan malah bisa semakin tidak peduli terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, bila seseorang di tegur habis-habisan karena sikap ‘tidak peduli’, dengan fokus pada kepentingan diri pribadinya, ia tentu tidak bisa mengelak atau berdalih macam-macam. Dalam situasi sulit ataupun mudah, kita perlu biasakan untuk menegur. Bukan hanya bila ia tidak menyelesaikan tugas, namun termasuk menegur individu yang tidak memperingatkan temannya ataupun individu tidak tahu bahwa temannya sedang kesusahan.

Komunikasi yang tampaknya biasa dan ‘taken for granted” ini sangat penting untuk kita fokuskan bila ingin semangat kelompok terpelihara. Bukankah kita sering menyaksikan atasan yang tidak sanggup mengkonseling anak buah yang mendapat angka angka merah dalam rapor kinerjanya. Padahal tugas atasan adalah mengembangkan anak buahnya. Komunikasi dalam manajemen adalah suatu hal yang kritikal. Tidak mungkin kita mengelak untuk menyampaikan berita yang kurang enak dengan mengatakan:”bapak sajalah yang menyampaikan. Kalau saya pasti tidak dipercaya” . Ini adalah suatu gejala buruknya atmosfir perusahaan. Bagaimana mungkin mencapai tingkatan “morale” “everybody wins” kalau kita tidak bisa mengubah kelemahan menjadi kekuatan seseorang?

Dalam artikelnya “Building “morale” is Good Management”,  Arthur F. Hull Jr. mengatakan bahwa ‘reward’ pun perlu dipertimbangkan dalam pembentukan motivasi. Tidak ada salahnya atasan atau manajemen memikirkan keuntungan bagi karyawan dari setiap kebijakan yang diambil. Apakah itu penggantian seragam, tukar atasan, diskon karyawan dan berbagai kebijakan yang bisa merangsang perbaikan suasana. Bicara mengenai stress dipekerjaan, justru stres itu juga perlu diciptakan agar supaya ‘excitement’ terasa seperti halnya kita baru masuk kuliah atau kerja. Menegangkan, tetapi mengasyikkan.(Expert : ER&SS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar