Pergantian pucuk
pimpinan beberapa lembaga tinggi negara yang perannya sangat strategis telah
menyedot perhatian kita dalam beberapa minggu terakhir ini. Tidak habis-habis
diulas, dikupas, dibahas kualitas dan kompetensi pemimpin yang perlu dimiliki
oleh sosok yang nantinya akan mengisi jabatan tersebut. Apakah pemimpin perlu
tahu segala hal sampai ke detil? Ataukah lebih baik yang sekedar paham “big
picture”-nya saja? Apakah lebih tepat yang cepat ambil tindakan ataukah lebih
baik yang mau mendengarkan berbagai pendapat dan membuat pertimbangan yang
matang dalam tiap langkah? Bagaimana komposisi yang “pas”? Tidak hanya di
tingkat negara, namun di banyak perusahaan pun kita kerap melihat sulitnya
memilih dan menentukan sosok yang bisa mewakili harapan banyak pihak.
Dalam pembahasan
mengenai leadership, kita kerap membaca ulasan mengenai bedanya “manajer” dan
“leader”. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat bahwa pemimpin
punya “derajat” yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai
ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Sementara, pemimpin dipandang memiliki peran yang lebih strategis. Ia harus
punya visi ke masa depan, menentukan arah, memilih strategi dan sekaligus
memiliki kemampuan persuasi untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya bergerak
ke arah yang diinginkan. Ahli manajemen, Peter
F. Drucker pun berkomentar "Management is doing things right; leadership
is doing the right things." Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan pemimpin
dengan kemampuan
manajerial yang kuat atau manajer dengan kepemimpinan yang kuat?
Meramu Kompetensi
Manajerial
dan Kepemimpinan
Banyak nasehat yang beredar mengenai teknik
kepemimpinan untuk lebih melihat permasalahan secara menyeluruh, dari sudut pandang
helicopter dan melihat jauh ke depan. Padahal, di sisi lain, kita tahu Xerox tidak akan selamat dari keterpurukan bila Anne Mulcahy tidak membenahi setiap detil
perusahaan itu, pada masa-masa
awal kepemimpinannya. Di samping mimpi dan
visi yang jauh dan progresif, jagoan-jagoan seperti Francis Ford Coppola atau Steve Jobs pun ternyata adalah orang-orang yang sangat mendalami industri dan keahlian yang diperlukan dalam lini
bisnisnya dan selalu mempelajari semua persoalan secara in-depth. Ini berarti pemisahan antara
fungsi kompetensi manajerial dan kepemimpinan sudah tidak bisa kita lakukan
secara ekstrim. Bahkan, perlu kita
akui bahwa di samping kapasitas kepemimpinan yang harus digali dari seorang
manajer, seorang pemimpin juga perlu mewarnai kapasitas memimpinnya dengan hal-hal
yang berbau “how it will be done”.
Saya jadi
teringat nasehat seseorang yang sudah bisa tergolong begawan di dalam lini
bisnis telekomunikasi. Ketika seorang CEO baru berkunjung dan mempertanyakan
kegagalan-kegagalan pendahulunya. senior ini hanya menganjurkan untuk
berkunjung ke ‘pasar’ dan mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman pelanggan’ yang
sesungguhnya. Nasihat ini tentu menyadarkan bahwa pemimpin tidak akan bisa
membuat terobosan dan keputusan yang tajam, bila ia tidak menjiwai, merasakan
dan menghayati kebutuhan anak buah dan “pelanggan” di lapangan.
Harus
kita akui, banyak sekali pemimpin yang dianggap oleh anak buahnya sebagai “ahli
teori”, namun tidak mengenal keadaan anak buahnya sama sekali. Pemimpin tipe “big picture only” ini mungkin saja tersandung pembuatan
keputusan yang hanya berdasarkan data di kertas, namun tidak mempunyai akses
pada realita di lapangan. Tak heran bila kita pun sering mendengar komplain
adanya keputusan yang kaku dan “tidak mau tahu”. Ini juga tampaknya yang
mendasari tuntutan agar para pemimpin harus senantiasa ingat untuk “walk the talk”. Tidak bisa sekedar memberi instruksi perubahan atau
pengembangan di atas kertas, namun harus senantiasa mengikuti sampai implemetasinya.
Bukankah
ini juga yang
bisa kita pelajari dari Steve
Jobs.
Secara teratur ia mendatangi Apple store di
setiap kota yang dia kunjungi. Kedekatan dan pemahaman dengan kondisi di
lapangan inilah yang membuatnya bisa senantiasa mengambil keputusan dan
tindakan progresif yang terbukti membawa perusahaannya menjadi terdepan.
“Action”Tidak Bisa dipertukarkan dengan
Konsep
Seringkali pemimpin
berhadapan dengan masalah, berkutat membahas, menganalisanya berhari-hari. Pada saat menyusun
action plan, entah karena habis tenaga atau memang menganggap bahwa action
itu mudah dan ‘taken for granted’, perumusan tindakan pun digambarkan seadanya saja. Padahal action plan
pun harus ditelaah kembali, perlu betul-betul
dipastikan apakah memang akan bisa membawa perubahan signifikan atau tidaknya. Action plan juga dbutuhkan untuk menjamin follow up dan mempermudah pengecekan.
Bisa kita lihat sendiri betapa kebijakan kebijakan yang dibuat oleh penguasa
negara sering tidak berbuah perubahan, karena tindak lanjut yang tak jelas.
Dari sebuah simulasi kegiatan pada pelatihan kepemimpinan, tidak satu pun kelompok yang mendapat tugas merancang
perubahan, menyertakan time
frame dan action plan yang mendetil. Di sini kita bisa berkaca bahwa
sosok pemimpin yang dibayangkan seringkali adalah sosok yang tidak perlu ‘go
into details’. Padahal jarak
antara perancangan dan tindakan ini bagaikan jurang yang dalam yang bahkan
terkadang misterius. Dengan tidak diterjemahkannya konsep ke dalam ‘action’,
kita tidak bisa melihat nilai, konflik bahkan ketakutan-ketakutan apa yang
menghambat pelaksanaan perubahan. Setiap anak buah
pastinya menunggu-nunggu pernyataan pemimpin untuk menggerakkan perbaikan
proses,sumberdaya manusia, infrastruktur dan mental di lembaga yang
dipimpinnya. Semakin nyata instruksi mengenai sasaran, tindakan apa yang perlu
dilakukan, kapan dan seberapa besar cakupannya, akan semakin bisa kita menjamin
adanya langkah perubahan dan perbaikan proses. Sehebat-hebatnya visi pemimpin,
arahan tindakannya harus jelas. (Expert : ES&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar